EGOIS

KALAU baca judul kolom di atas, anak kecil juga bakal tahu. Kolom ini jelas untuk kaum lelaki. Kenapa saya nulis membatasi diri hanya untuk lelaki? Jawaban yang paling gampang mungkin karena saya seorang lelaki!

Benar nggak sih lelaki itu makhluk yang paling egois? Parameter pembandingnya jelas hanya satu, wanita. Bagi saya yang alhamdulillah masih lelaki tulen, jawabannya ya. Tentu ini subjektif karena saya memberi penilaian sementara saya ada dalam bagian itu. Tapi toh jaman sekarang yang namanya subjektif juga sah-sah saja.

Ambil contoh anggota DPR. Dari pusat hingga daerah tingkat satu dan dua. Isinya notabene kebanyakan lelaki. Memang sih, isu kesetaraan gender mulai menempatkan wanita di dalamnya. Tapi, prosentasenya masih kecil sekali, kalau nggak mau dibilang hampir nggak ada arti dibanding suara anggota yang lelaki.
Di DPR RI, mereka punya kewenangan membuat undang-undang.

Di daerah tingkat satu dan dua punya taji bikin perda. Mereka meramu, menggodog rancangan undang-undang Atau rancangan perda-lah untuk yang lebih bawah. Karena label wakil rakyat, yang dibuat adalah dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak.

Padahal mereka sebenarnya juga bagian dari masyarakat banyak itu. Kemudian, mereka merumuskan hingga menjadi sebuah aturan baku. Rasanya masih ada bau-bau subjektif juga. Soalnya, nggak yakin deh kalau nggak ada sedikit pun ekses kepentingan pribadi di dalamnya,.

Mereka toh masih bagian dari masyarakat itu sendiri yang nantinya juga bakal ikut menjalani aturan yang dibuat. Pasti ada timbang-timbang pribadi tentang kecocokan hati. katakanlah nurani menurut orang-orang politikus.

Saya sih nggak mengganggap itu sebuah dosa. Nggak sampai sejauh itu, karena rasa egois muncul dari sebuah proses alamiah yang lumrah.

Lumrah kok karena lelaki masih manusia. Anggota DPR yang notabene kebanyakan lelaki, juga masih manusia..

Oh ya, masih soal egois. Saya pernah baca biografi ringkas tokoh kontroversi dunia, Adolf Hitler.

Terus terang “beliau” bukan tokoh idola saya. Tapi ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahu saya tentang kedigdayaan dan ketenarannya. Minimal, ia begitu dipuja oleh kaum NAZI-isme. Pun sampai puluhan tahun setelah kematiannya. Ke-aku-annya soal trah unggul bangsa Arya yang melebihi bangsa-bangsa mana pun di dunia, kebenciannya yang begitu dalam terhadap Yahudi atau cita-cita gilanya yang ingin jadi penakluk dunia, lahir dari dalam jiwanya. Dari rasa ke-aku-an seorang Adolf Hitler. Ia nggak begitu peduli dengan rasa kemanusiaan saat memutuskan membangun kamp-kamp konsentrasi sebagai “neraka” dunia bagi bangsa yahudi yang tertawan. Egois? Iya.

Sama dengan rasa egois lelaki pada umumnya pada saat ia terlecut untuk dapat mempertahankan apa yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran. Rasanya nggak berlebihan jika saya menebak bahwa lelaki mana pun di dunia pernah berada pada situasi yang demikian. Cuma mungkin porsi dan latar belakangnya saja yang berbeda-beda. Dengan ke-aku-an yang kita miliki, kita berusaha mempertahankan kebenaran yang kita percayai walau kenyataannya, kebenarannya sendiri masih absurt yang tidak dapat kita pastikan sebagai yang hakiki kecuali kebenaran Tuhan. (*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 9 April 2007 di blog saya yang lama : noesaja.wordpress.com

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search