THE PERSON
DARI kursi nomor 27F di kabin pesawat, aku terus memperhatikan wajah aneh yang terpaut dua kursi di depanku. Rasa-rasanya, wajah itu cukup familiar di kepalaku. Tapi, sulit sekali mengingatnya dengan jelas…
Sudah sejak di terminal keberangkatan bandara ini aku coba mengorek dan mengaduk-aduk isi kepalaku untuk mengingatnya. Wajahnya khas, ada tompel kecil di bagian kiri. Tampangnya sangar dengan kumis lebat yang menutupi hampirseluruh bibirnya yang kecil. Pria berusia lebih lima puluhan tahun itu begitu menyita perhatianku begitu tiba di bandara ini. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan wajahnya. Seperti dikenal, tapi sulit untuk menebak siapa dia.
“ Selamat siang pak, bisa dilihat tiketnya?” sapaan seorang gadis petugas di checking counter membuyarkan pemikiranku yang berusaha keras mengingat. Sementara pria tua aneh yang jadi perhatianku sudah mulai berlalu dengan bawaan koper kecilnya.
“ Oh iya, ini… jawabku sembari menyerahkan selembar tiket tujuan Balikpapan – Jakarta pada gadis yang kupandang-pandang ternyata manis juga…
“Ada bagasi?”
“Tidak, tas kecil ini biar saya bawa ke kabin saja”
Wajah manis gadis petugas di checking counter keberangkatan bandara ini, ternyata belum bisa sepenuhnya mengalihkan perhatianku pada wajah sangar yang kulihat tinggal punggungnya saja di kejauhan. Selesai dari konter pemeriksaan tiket, aku langsung bergegas menuju ruang tunggu bandara. Bapak tua sangar itu pasti punya tujuan sama denganku, Jakarta, begitu tebakku dalam hati.
Benar saja, ia terlihat di sudut ruangan. Sedang membaca sebuah surat kabar lokal kota ini. Aku mengambil posisi duduk tidak jauh darinya. Hanya berjarak tiga kursi saja. Dari sini, aku bisa kembali memandangnya sambil berusaha keras untuk mengingat siapa sebenarnya pria tua yang membuatku penasaran ini. Tapi rupanya agak sulit karena wajahnya selalu tertutup dengan lembaran koran yang dibaca.
Sesekali kulihat ia meraba bagian pinggang. Sementara pandangannya tetap serius mengamati huruf demi huruf koran lokal yang dibentang. Entah apa maksudnya. Aku hanya bisa menebak-nebak saja. Mungkin ada sesuatu barang yang disimpan di balik pakaiannya dan ia hanya ingin memastikan barangnya aman tersimpan di sana. Atau, mungkin ada alasan yang lain dan tidak kuketahui.
Beberapa kali aku terpaksa membuang muka ke arah lain untuk menghindari kecurigaan bapak tua itu dan juga penumpang-penumpang lain di sekitarku. Jujur, untuk mendekati langsung dan menanyakan identitasnya, rasanya kok kurang sopan…
Aku mencoba mengalihkan rasa penasaran dengan memeriksa kembali barang-barang bawaan di tas kecil yang sedari tadi kusandang. Pistol, ya barang ini hampir sama dengan fungsi celana dalam yang selalu kupakai. Jarang sekali aku bepergian tanpa senjata yang satu ini. Sebenarnya cukup riskan bawa-bawa senjata saat bepergian seperti ini. Apalagi peraturan penerbangan cukup jelas melarangnya. Tapi, dasar pemeriksaan petugas yang masih asal-asalan, saban bepergian dengan pesawat, pistolku selalu saja bisa lolos sensor. Hanya cukup dengan membalutnya dengan kain dan menyamarkan di dalam kotak besi berbentuk kotak. Sensor X-ray bandara di Indonesia masih payah juga rupanya….
Sembari memeriksa barang-barang bawaan di dalam tas, ekor mataku kembali memperhatian pria tua itu yang kembali meraba-raba bagian samping pinggangnya. Sementara matanya tetap fokus membaca.
Aku coba mengaduk-aduk kembali isi kepalaku untuk berusaha mengingat siapa lelaki tua menyeramkan di sampingku ini. Hampir lima tahun berada dan bekerja di proyek tambang pedalaman rimba kalimantan, aku tidak pernah menemui sosok wajah seperti itu. Kesimpulan sementaraku,, wajah menyeramkan itu berasal dari waktu sebelum lima tahun ini. Tapi siapa?
Oh ya, setelah kuperhatikan sejak awal melihatnya di pintu masuk keberangkatan tadi, pria itu berjalan timpang!! Ya, kaki kirinya lebih pendek dibanding sebelah kanan. Setiap menatapnya, timbul kegamangan tersendiri. Seolah-olah pria tua itu begitu menakutkan bagiku, tapi juga membuat penasaran….
————-
“Maaf pak, silahkan dipakai safety belt-nya” teguran pramugari cantik di kabin pesawat membuyarkankan pandangan dan pikiranku tentang pria tua yang kini persis menatapku. Teguran pramugari cantik kepadaku ternyata cukup keras dan membuatnya memperhatikanku.
Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku benar-benar takut melihat sorot mata bapak tua itu. Cepat-cepat kualihkan pandangan dan mulai sibuk memasang seat belt seperti anjuran si pramugari. Kulihat dengan ekor mata, ternyata ia masih tetap menatapku tajam. Tajam seperti pisau yang coba mengiris-iris ulu hatiku….
Pandangannya baru beralih ketika pesawat mulai bergerak untuk proses take off. Aku menarik napas panjang-panjang. Bukan karena nervous dengan proses awal take off penerbangan yang bisa-bisa berujung celaka. Tapi lega karena sorot mata bapak tua itu sudah tidak lagi mengarah padaku.
Saat pesawat sudah berada di angkasa dan lampu indikator seat belt berubah hijau, pak tua aneh yang jadi perhatianku ini mendadak berdiri. Ia kemudian berjalan melewatiku dan terus menuju arah belakang pesawat. Jalannya timpang seperti tadi. “Mungkin ingin ke toilet,” pikirku…
Semenit, dua menit, tiga menit hingga lima menit berikutnya, orang tua aneh itu tidak kunjung melintasi jalur di samping kursiku kembali. Entah sedang apa ia di belakang? Apa ia tergolong orang yang suka berlama-lama saat buang air?
Mendadak pikiran jelekku muncul. Jangan-jangan dia seorang teroris yang sedang merencanakan pembajakan terhadap pesawat ini. Atau, mungkin sedang merangkai sebuah bom untuk diledakkan?? Wajah dan perawakannya sudah cukup mendukung untuk dideskripsikan sebagai seorang penjahat. Apalagi kumis tebalnya itu…. Wah wah jika benar begitu, kutembak dulu kepalanya dengan pistol yang kubawa dalam tas kecilku ini.
Selang sepuluh menit kemudian, aku dikejutkan dengan langkah seperti diseret yang mendekat ke kursiku, kemudian melintas dan kembali duduk dengan tenang. Si orang tua aneh ini sudah kembali rupanya. Tapi ngapain saja selama sepuluh menit lebih ia berada di toilet? Entahlah.. aku tidak menemukan jawabannya. Sama halnya dengan bayangan samar wajahnya yang seolah familiar tapi sulit sekali untuk kukeluarkan dalam bentuk kesimpulan identitas. Tanpa terasa aku pun tertidur dalam perjalanan Balikpapan – Jakarta.
————
Bandara Soekarno Hatta – Cengkareng ternyata tidak jauh berubah dengan saat lima tahun lalu kutinggalkan. Traffic penerbangannya tetap saja ramai. Aku segera menuju garbarata begitu pesawat yang kutumpangi sudah dalam posisi parkir di apron. Pak tua aneh yang begitu menyita perhatianku berjalan pelan beberapa meter di depanku.
Langkahnya semakin pelan dan mau tidak mau, akhirnya aku berada dalam posisi sejajar dengan dirinya. Mendadak jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan tuanya tiba-tiba memegangku dengan keras.
“Pegang barang ini,!!” ujarnya sembari menyodorkan sebuah bungkusan kecil yang mendadak dikeluarkan dari balik pinggangnya. Ucapannya tegas. Sangat tegas bila dibandingkan dengan postur tubuhnya yang mulai ringkih. Sementara sorot matanya sama seperti waktu tadi menatapku di dalam kabin pesawat. Tajam seperti mengiris ulus hati. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan menerima barang pemberiannya. Entah kenapa nyaliku jadi ciut dan aku begitu takut untuk menolaknya.
Sementara aku masih tercenung sembari berusaha memasukkan bungkusan kecil pemberiannya ke kantung celana, ia sudah berjalan kembali. Aku diam dan hanya memandangi punggung rentanya yang semakin jauh. Entah apa yang ada di balik kantung celanalku ini. Rasanya berat sekali. Tapi aku tidak berani memeriksanya….
————
Koridor luar terminal kedatangan domestik bandara Soekarno Hatta mendadak jadi ribut dan kacau. Dari kejauhan aku lihat beberapa orang berpakaian preman, mendadak bergerak menangkap seorang lelaki. Situasi ini memancing perhatian banyak orang yang berada di sana.
Pak tua aneh itu!! Ya , pria misterius itu ditangkap. Aku yakin pria-pria berbadan tegap yang mendadak memeganginya adalah petugas polisi!! Tapi kenapa? Apa dia diduga seorang penjahat seperti pemikiranku tentang dia di kabin pesawat tadi? Kupercepat langkahku untuk berusaha mendekati kerumunan orang yang mendadak jadi ramai di sekitar lokasi.
Pria dengan tompel di samping kiri dan kumis lebat yang hampir menutupi sebagian bibir kecilnya itu, terlihat langsung digiring menuju sebuah mobil. Ada beberapa orang lagi mengikutinya di belakang sembari berusaha memasukkan benda seperti pistol ke balik punggung. Tidak salah lagi, dia jelas orang yang diincar polisi!! Tapi untuk kasus apa? Belum jelas rasa penasaranku tentang identitas samar yang rasanya ada di kepalaku, kini aku kembali dibuat penasaran dengan soal penangkapannya.
Aku berusaha semakin mendekat ke mobil yang akan membawanya. Kulihat pria aneh itu seperti memutar pandangan ke sekeliling dan kemudian berhenti tepat di arahku. Sebentar ia seperti menyeringai. Detik berikutnya, dengan sebuah goyangan kepala, ia seperti menyuruhku pergi menjauh. Setelah itu, kepalanya dibenamkan beberapa petugas untuk memasuki mobil dan berlalu……
————
Sudah sehari aku berada di Jakarta. Ingatanku masih terbayang dengan wajah tua menyeramkan yang begitu menyita perhatianku saat berangkat dari Balikpapan kemarin. Bungkusan kecil yang diberikan padaku belum kusentuh-sentuh lagi. Isi di dalamnya juga belum kuketahui. Seperti ada ketakutan yang dalam untuk membukanya. Sama seperti ketakutan yang muncul setiap ia menatapku.
Iseng-iseng aku coba membolak-balik surat kabar hari ini yang tergeletak di meja. Tapi pandanganku langsung tercekat. Ada gambar pria tua itu!!
“Tanpa barang bukti, polisi akhirnya lepaskan Bandar Besar Narkoba”
… pria bernama Felix, seorang yang diduga sebagai Bandar besar narkoba dibekuk petugas di bandara. Pemantauan terhadap yang bersangkutan sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir. Informasi kedatangan felix ke Indonesia diperoleh via informasi Interpol internasional. Yang bersangkutan menggunakan jalur laut dari Malaysia timur, kemudian menggunakan bandara Sepinggan di Balikpapan untuk masuk ke Jakarta kembali…. Tapi sayang, penangkapan ini jadi sia-sia karena tidak ditemukan seserbuk pun barang haram heroin. Felix akhirnya dilepas kembali hari ini….
Aku tertegun sejenak. Kemudian secepat kilat segera kuraih kantung celana yang kupakai kemarin. Barang itu masih ada…. Di dalamnya kutemukan secarik kertas dengan tulisan singkat :
Ken, kutunggu kau di pancoran dua hari setelah ini….
“Ken? Lagi-lagi dia tahu namaku… “
“Felix…. Felix…. Ya ampun….. om Felix…. !!!” ingatanku langsung terbayang pada masa dua puluh tahun yang lalu. Ya, pria tua menyeramkan itu ternyata tetanggaku sendiri.
Om Felix, pria misterius yang dulu tinggal di ujung gang ini. Orang yang selalu menyendiri dan selalu membuatku ketakutan karena wajah seramnya…. Ya aku ingat sekarang. Pria itu adalah orang yang begitu kutakuti di masa kecilku karena wajah seram dan tompel di pipi kirinya. Jangankan untuk berbicara, sekadar berpapasan saja, sudah membuat jantungku rasanya mau copot. Aku lebih memilih lari terbirit-birit menjauhinya…
Tapi, dia juga dewa selamatku!! Dia rela menubrukkan diri ke arah mobil yang melaju kencang saat aku berusaha lari menghindarinya. Kaki kirinya diamputasi karena kejadian itu. Kemudian, ia seperti menghilang. Aku tidak pernah lagi menemuinya di ujung gang. Aku juga tidak pernah merasa ketakutan lagi sejak kepergiannya.
Wajah dan rasa ketakutan itulah yang sebenarnya kurasakan saat perjalananku dari Balikpapan ke Jakarta kemarin. Kenapa aku begitu bodoh? Wajah om Felix sebenarnya masih sama seperti dulu, menyeramkan. Hanya saja sekarang ditambah hiasan kumis tebal yang menutupi hampir seluruh bibir kecilnya dan juga kulitnya yang makin keriput.
————
Sore hari di Tugu Pancoran…..
Ini adalah hari ketiga sejak kedatanganku kembali ke Jakarta. Sudah sejak pukul 13.00 siang aku berada di seputaran tugu ini. Rasanya seperti orang bego. Celingukan dari tadi, tapi yang dicari-cari tidak pernah ketemu. Tambah nervous lagi karena ada “sesuatu” barang dalam kantong celanaku. Beratnya paling tidak sampai sekilo, tapi rasanya seperti mengantongi beras satu karung…..
Baju hem yang kupakai sudah tidak bisa lagi dibilang rapi. Selain kucuran peluh, debu-debu jalan yang sedari tadi beterbangan rasanya membuat semakin lengket saja. Tapi mendadak……
“Ken, apa kabar”, sebuah suara berat dari dalam volvo hitam yang mendadak berhenti, mengagetkanku. Itu suara om Felix seperti yang kudengar beberapa hari lalu.
Benar saja, dari jendela mobil yang kini dibuka lebar, aku dapat melihat kembali wajah seram yang selama ini begitu menakutkan. Wajah seram om Felix.
“Masuklah, “, ujar om Felix sambil membuka pintu mobil dari arah dalam. Sejenak aku tercekat. Tapi detik berikutnya kuiyakan ajakannya. Tidak berapa lama kami sudah melaju membelah jalan besar kota Jakarta.
“Masih takut padaku?” pertanyaaan Felix langsung memecah kebisuan yang sempat terjadi. Terus terang aku jadi gelagapan.
“Oh… tid… tidak om”,
“Ha ha ha, baguslah…. Om kan tidak pernah jahat padamu Ken….
“Masih kau simpan barang itu? Lanjut om Felix sambil menepuk-nepuk bahuku.
Terus terang, waktu itu om sudah punya firasat tidak bagus begitu sampai di Jakarta. Kebetulan, om sudah melihatmu sejak di kabin pesawat. Matamu… matamu itu Ken yang membuat om langsung hapal bahwa itu kau. Matamu yang penuh rasa ketakutan rasanya begitu familiar om kenal. Wajahmu memang sudah jauh berubah, tapi mata tidak bisa dibohongi, kan….
“Iy… iy… iya om, tapi kenapa barang itu om? Tanyaku terbata-bata.
“Itulah pilihan hidup Ken.. kita harus berani ambil resikonya… di dunia ini yang putih belum tentu benar-benar putih… begitu juga yang hitam. Tidak selalu seperti yang kelihatannya…. Kalau pun barang itu sudah kau buang, tidak apa-apa. Yang jelas, kau sudah menyelamatkan om. Dan ingat, itu bukan sebagai tindakan balas jasa karena om pernah menyelamatkan nyawamu, kau dengar itu Ken….?” Ujar om Felix sambil menepuk-nepuk lagi bahuku hingga aku terguncang.
“ Om tidak pernah menyesali kaki om yang jadi seperti ini, itulah hidup Ken, kita tidak pernah tahu bagaimana di depannya,” om Felix mengangkat satu ruas celananya. Terlihat jelas ia hanya menggunakan satu kaki asli untuk bertopang. Kaki lain digantikan fungsinya dengan yang buatan.
Aku merogoh bagian dalam celana dan meraih bungkusan yang seharian ini begitu membebaniku. Kuletakkan bungkusan itu persis di hadapannya. Kemudian, aku menatapnya….
“Aku tau ini salah om, tapi aku harus menyerahkan ini kembali. Ini jalan hidupmu… aku turun di halte depan sana om, ujarku.
Volvo hitam yang kutumpangi kini sudah berhenti tepat di depan sebuah halte bis. Om Felix terlihat memandangiku lama.
“Ken, jadilah orang yang benar… dan, lurus….” Ujar om Felix singkat.
“Kapan kita bertemu lagi?”, Tanyaku, kini aku tidak lagi merasakan bayang ketakutan yang selama ini kurasakan. Dalam posisi sedekat ini, aku bisa melihat air muka yang lain di balik wajah seramnya. Air muka om Felix yang merasa sendirian dalam hidup…. Ya, pria tua yang sendirian….
“Selama aku masih bisa melihat matahari terbit dari timur, kita akan bertemu lagi Ken… jalanilah kehidupanmu dengan baik…. yang harus kau cam-kan baik-bak, tidak selamanya yang putih itu benar-benar putih dan tidak selamanya yang hitam itu terlihat seperti asalnya. Jaga dirimu, anak muda,”
Aku turun dari volvo itu. Perlahan aku melihat kendaraan itu mulai melaju semakin jauh. Jauh dan kemudian hilang ditelan lalu lintas kota Jakarta yang padat. Sampai kini sebenarnya aku belum tahu banyak tentang om Felix. Om Felix yang jadi bayangan ketakutan masa kecilku. Om Felix yang jadi juru selamatku. Yang jelas, bayangan ketakutan itu sekarang sudah hilang. Aku tidak pernah menyesal pernah menolongnya lepas dari jeratan hukum negeri ini. (***)
…Juli 2007…
Postingan ini pertama kali diunggah pada 30 April 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com