UNTUK TEMAN
AKHIRNYA semua akan tiba pada hari yang biasa.
Pada sesuatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku?
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandala wangi….
Kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram.
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?
Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat…
Apakah kau masih akan berkata ; “kudengar detak jantungmu”?
Kita begitu berbeda di dalam semua, kecuali di dalam cinta…
Dedicated Soe Hok Gie
Mahameru…
Jujur, aku nggak kenal dekat dengan Soe Hok Gie seperti yang ada dalam tulisan kertas ini.. Aku juga nggak tau siapa orang yang sengaja atau mau bersusah-susah membawa kopian kertas yang kini ada di tanganku kemari, ke puncak Mahameru ini. Bermil-mil jaraknya dari permukaaan laut! Bayangkan, tinggi semeru 3748 meter dpl. Tapi, puisi yang kutemukan persis di bawah himpitan sebuah batu di Mahameru ini, begitu membuatku merinding.
Sekejap, aku coba melepaskan daypack yang sedari tadi berada di punggungku. Rasanya lebih lega sekarang. Sebotol air yang kubawa sejak dari kalimati, makin melegakan tubuhku yang berpeluh. Tapi, rasa dingin kini yang ganti menusuk hingga sumsum tulangku.. Termometer yang sengaja kubawa menunjukkan suhu lumayan dingin, 5 derajat celcius! Rasanya jaket bulu angsa yang kupakai ini tidak mampu mengusir hawa dingin yang terus dihembus-hembuskan angin yang lumayan kencang bertiup.
Basir kulihat mulai berjalan tertatih ke arahku. Sedari arcapada tadi, ia terus kutinggalkan di belakang karena mendaki terlalu lambat. Wajahnya kulihat juga mulai berubah pucat seperti kapas. Cuaca memang tidak begitu bersahabat bagi kami saat ini. Tapi perjalanan kali ini membuatku senang. Ini adalah adalah kali pertama Basir bisa mencapai puncak Semeru bersamaku. Pendakian lalu, ia menyerah di arcapada karena mengalami hypotermia.
“Kita.. jangan.. terlalu.. lama berada di sini.. Angin…terlalu …kuat bertiup. Mungkin..bakal ada… badaaaiiiiiii”, Basir yang sudah dekat segera menghempaskan pantatnya di sampingku. Nafasnya masih tersengal-sengal karena lelah. Ditambah lagi, oksigen memang terlalu tipis di sini.
Di ujung kawah sana, kulihat putaran angin memang berubah-ubah. Gas belerang yang keluar dari dalam kawah tersapu angin tidak beraturan. Itu artinya, waktu aman berada di atas Mahameru ini, mungkin tidak sampai pukul 08.00 pagi. Angin yang membawa asap beracun, bisa dengan mendadak bertiup ke arah puncak dan membahayakan kami berdua. Belum lagi lontaran batu panas yang setiap lima menit keluar dari kawah dan bisa saja melukai bahkan membunuh.
Kabut tipis kulihat juga mulai turun perlahan. Beradu dengan tiupan angin yang bertiup kencang. Arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi. Hitungan normal, masih ada waktu dua setengah jam lagi untuk berada di atas puncak ini sebelum semuanya menjadi suram oleh asap-asap tipis beracun bawaan kawah semeru. Perlahan, kubuka kembali lipatan kertas kopian di tanganku :
…
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandala wangi.
Kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram.
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?
…
“Mesra? Bah.. ini sudah hampir beku”, hampir tidak sadar aku bergumam sendiri.
“Apa yang kau baca, kertas apa itu?” Basir yang mulai normal dari kelelahannya, kelihatan bingung sambil menatapku..
– “Nih, ada orang iseng suka puisi yang membawanya sampai puncak. Kutemukan di balik batu itu”
.
+ “Ladalah.. Soe Hok Gie! Hok Gie kan mahasiswa UI yang mati di sini!” ini puisinya atau puisi orang yang nge-fans dia ya?
– “Entah.. tadi iseng saja kuambil terus kubaca. Tapi aku jadi merinding sendiri Sir. Isinya dalam sekali.”
Mendadak Basir mengembalikan kertas ke tanganku, kemudian beranjak bangkit. Temanku yang berbadan tambun itu tiba-tiba berteriak lumayan keras.
“ Hok Gie.. Hok Gie.. kamu di sini? Aku berhasil Gie.. berhasil. Aku di puncakmu sekarang, ha ha ha . akan kukatakan pada Anie di rumah kalau aku tidak selemah yang dikira ha ha ha , Joni juga, Gie.. Joni juga yang selalu meremehkan kemampuanku”. Basir terus berjalan sambil merentangkan kedua tangannya. Aku jadi tau, Basir girang karena berhasil menggapai puncak yang selama ini selalu diimpi-impikannya.
“ Husss, nggak pantas kau panggil dia hanya nama saja. Kalau dia masih hidup, umurnya sudah sepantaran bapakmu”, timpalku sambil tersenyum.
“ Ha ha ha, benar benar. Om Gie, maafkan aku… maafkan aku. Aku datang ke puncakmu sekarang…”, Basir masih berjalan sambil terus merentangkan kedua tangannya seperti pemain bola yang berhasil menjebol gawang lawan. Udara dingin yang menusuk hingga sumsum tulang, tidak begitu diperdulikan. Juga ketakutannya soal badai saat awal tiba tadi.
Kubiarkan Basir dengan kegembiraannya. Aku sendiri mulai sibuk mencari notes dari dalam daypack-ku. Mencoba merekap kembali waktu perjalanan kami berdua dan mulai merencanakan jadwal kembali. Soalnya, cuti tahun kelimaku sudah hampir habis. Tapi aku puas karena bisa kembali ke puncak ini setelah lama disibukkan dengan pekerjaan harian di kantor.
————
Tak terasa, sudah cukup lama juga aku sibuk menulis di atas kertas notes-ku. Kalau saja tangan ini tidak terasa semakin beku dan dingin yang menusuk masuk pori-pori tidak semakin menggila, aku nggak bakal tahu bahwa cuaca sekarang memang sudah benar-benar tidak bersahabat. Kabut yang turun sudah semakin tebal. Sementara hembusan angin dari arah kawah sudah mulai mengarah ke puncak. Aku juga tidak lagi mendapati Basir. Pandanganku terhalang oleh tebalnya kabut. Rasanya, hanya satu – dua meter saja di depan mata yang dapat kulihat dengan jelas. Selebihnya, suram.
————
Arcapada…
Hampir siang ketika aku dan Basir sampai di Arcapada kembali. Tenda yang kami tinggalkan sejak dini hari masih kelihatan utuh. Begitu juga barang bawaan kami. Walau tidak sedingin di puncak, cuaca di sini juga tidak kalah membuat badan gemetaran. Beban berat karena menopang tubuh gendut basir, tidak cukup membuat suhu tubuhku naik. Wajah Basir sendiri kulihat lebih pucat dari yang kulihat saat ia baru tiba di puncak tadi pagi. Racun kawah yang sempat terhirup lama temanku ini serta hypothermia yang lagi-lagi menyerang membuat kesadarannya kolaps. Aku hanya berharap bisa terus membawanya turun hingga menemukan pertolongan yang bisa menyelamatkan nyawanya.
Persediaan air dalam botol minumku hanya tersisa seperempatnya saja. Kubuka tutup botol dan kubasahi sedikit tenggorokanku. Sisanya kuminumkan ke mulut Basir. Masih perlu perjalanan dua jam normal untuk bisa sampai di kalimati dan menambah persediaan air kami.
“ Tubuhku dingin sekali… dingin sekali …”, Ini sudah yang kesekian kali Basir merintih begitu. Padahal, aku sudah menambahkan satu lagi jaket bulu angsa untuk dipakainya.
Aku tidak mau terlalu berlama-lama di sini. Jarak perjalanan kami untuk sampai ke desa terakhir di Ranu Regulo, masih cukup jauh. Setelah kukemasi seluruh peralatan dan memindahkan sebagian barang bawaan Basir ke carrier milikku, kami segera melanjutkan perjalanan. Karena keterbatasan tenaga, sisa barang Basir terpaksa kutinggalkan. Tapi, huh…. lagi-lagi, aku harus berjalan sambil menopang tubuh gendutnya.
————
Kalimati…
Tulang-tulangku seperti mau lepas semua. Setelah merebahkan tubuh Basir di sebuah tanah datar berumput, aku sendiri langsung terbaring lemah. Nafasku tersengal. Setelah mengatur nafas, aku coba mengeluarkan peralatan P3K dan memberi beberapa obat lagi padanya. Sisa seteguk air yang ada di botol airku, kuminumkan habis untuknya. Setelah menyelimutinya dengan jaket yang kukenakan, aku segera bergegas turun ke sumber mata air kalimati untuk menambah air persediaan kami.
Sepanjang jalan, kukutuk habis sikap teledorku yang membiarkannya begitu saja di puncak tadi pagi. Seandainya sempat kucegah dan kularang untuk bergerak terlalu jauh,mungkin tidak begini keadaannya. Apalagi cuaca puncak memang tidak bersahabat. Tapi sudahlah.. semua sudah terjadi.
Di sumber air, sambil menunggu tetes demi tetes air mengisi botol-botol airku, iseng – iseng kubuka kembali kertas fotokopi yang kutemukan di puncak. Beberapa bait puisi yang tertulis kutebak sendiri dengan mengartikannya.
…
Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
Apakah kau masih akan berkata ; “kudengar detak jantungmu”?
Kita begitu berbeda di dalam semua, kecuali di dalam cinta.
…
Di kepalaku langsung muncul sosok Basir. Ya, aku dan Basir memang begitu berbeda dalam banyak hal. Sejak kuliah dulu hingga sekarang satu kantor, hanya satu yang membuat kami bisa terus bersama. Kecintaan pada alam yang hijau, udara yang segar dan gunung-gunung tinggi yang menjulang. Selebihnya, kami lebih banyak berseteru dan berseberangan. Pun di dalam urusan pekerjaan. Ide-idenya yang sering dilontarkan dalam rapat kerja, bagiku terlalu mengangkasa dan tidak berpijak pada realita yang ada. Entah, apa yang ada di kepalanya tentang aku. Rasanya tidak akan jauh berbeda dari sikapku memandangnya. Basir adalah orang yang meledak-ledak. Sementara aku tidak. Ia juga tipe pemuja wanita yang rela menyerahkan kepalanya pada wanita yang disayang. Aku sendiri lebih berpegang pada prinsip untuk tidak ingin takluk di kaki wanita.
Ya, hidup memang aneh. Kami bisa satu jika sudah membicarakan tentang hutan, gunung, edelwijs yang cantik atau juga rangkaian perjalanan ke alam yang tidak pernah bosan kami lakukan dan terus ulangi. Pun di saat usia kami bukan lagi kelas mahasiswa dan sudah seharusnya sibuk mengurusi hidup masing-masing atau berumah tangga. Tidak ada yang bisa menghalangi kesenangan dan kecintaan kami pada alam yang hijau, rumput savanna yang membentang luas serta bermain-main di danau bening dengan sekumpulan bangau putih.
Tak terasa botol-botol airku sudah penuh terisi air semua. Aku jadi ingat lagi dengan Basir yang kutinggal sendirian di padang rumput. Oh, jangan-jangan dia sudah membeku kedinginan atau dimakan si kumbang penjaga hutan. Atau malah sebaliknya? Tiba-tiba punya energi tambahan dan sudah menyiapkan makan siang yang seharusnya kusiapkan? Entahlah. Aku bergegas menuju check point kami berhenti tadi.
————
Ranu Kumbolo…
Dari atas bukit, aku bisa melihat lembah danau kumbolo begitu menakjubkan dipandang. Sebentar kuperhatikan tiap sudut lembah yang bisa terekam semua dalam pigura pandangku. Sementara tubuh Basir yang berat kusandarkan begitu saja di sisiku. Memang lelah, tapi inilah hiburanku satu-satunya setelah 4 jam berjalan dengan terus menopang tubuh berat Basir dari kalimati. Pikiran kalutku karena terus mengkhawatirkan kondisi Basir, kubuang sejenak.
Aku ingat, lima tahun lalu aku dan Basir juga berada di tempat ini. Basir ada di sudut danau dan selalu terdengar tawa riangnya karena berkali-kali umpan pancing selalu sukses menghasilkan ikan. Malamnya kami pesta ikan bakar berdua. Menari-nari, mengitari api unggun yang kami buat…
“ Sir, sepertinya kita harus bermalam di sini. Sudah sore sekarang. Terlalu beresiko kalau terus melanjutkan perjalanan ke desa terakhir”, ujarku memecah kesunyian kami berdua di atas bukit.
Aku hanya mendapati sorot mata Basir saja yang mengiyakan. Ia sepertinya sudah pasrah dengan kondisi yang dialami. Jangankan untuk berbicara, melangkah saja berkali-kali harus kubantu dengan cara menyeret. Jujur saja, aku tidak mampu jika harus sampai membopong badan besar Basir.
Tenda yang kudirikan untuk bermalam kami berdua, hanya berjarak lima meter saja dari tepian danau Kumbolo. Selain memudahkanku mengambil air untuk keperluan memasak, dari jarak sedekat ini aku juga bisa menyaksikan kumpulan bangau putih yang sedang bermain-main di air menjelang maghrib. Basir sendiri telah kurebahkan di dalam tenda. Setelah kukenakan jaket bulu angsa di tubuhnya, ia kuselimuti dengan sleeping bag agar bisa membantu suhu tubuhnya bertahan di ambang normal. Tapi sepertinya, tidak banyak membantu. Wajahnya tetap pucat. Sementara bibirnya masih biru. Walau sering berseteru soal kerja dan prinsip, jujur aku takut kehilangan sahabatku ini. Terlalu banyak pengalaman bersama yang telah kami lalui. Aku takut cuaca tidak lagi bersahabat dengan kami malam ini. Kulihat mendung hitam menggayut di langit. Tidak juga ada bintang yang kelihatan.Sementara tiupan angin yang kurasakan, semakin mengencang sejak kami tiba sore tadi.
————
Aku terbangun karena terpaan keras yang kurasakan pada tenda. Pukul 01.00 dini hari saat ini. Dugaanku soal angin dan kemungkinan badai terbukti. Badai angin yang datang hampir saja menerbangkan tenda ini. Beruntung pasak yang kutanam sebagai penahan cukup kuat. Ditambah lagi, mungkin bobot kami berdua yang berada di dalam tenda. Kulirik ke samping, Basir masih pada posisi semula. Tetap diam dengan wajah dan bibir pucat. Mulutnya agak ternganga. Saat kuraba, tubuhnya sangat dingin. Dingin sekali seperti tidak ada lagi darah yang mengalir. Aku jadi begitu khawatir dengan kondisinya.
“ Basir, Basir”. Aku menepuk-nepuk pipinya berharap ada sedikit gerakan. Tapi Basir tetap diam. Mulutnya terus menganga dengan kelopak mata yang menutup. Aku semakin khawatir. Kusingkap beberapa bagian penutup tubuhnya dan meraba denyut jantung Basir. Rasa gusarku semakin menjadi-jadi karena tidak sedikit pun kurasakan denyut walau lemah.
Tanpa berpikir lebih jauh segera kusingkapkan semua penutup tubuh sahabatku ini hingga hampir telanjang. Aku kemudian melakukan hal yang sama. Melucuti seluruh pakaian yang jadi penghangatku malam ini. Cuaca yang semakin dingin dan hembusan angin kencang yang berusaha masuk lewat celah-celah tenda tak kuhiraukan. Segera kurangkul dan kudekap erat-erat tubuhnya dan membalut tubuh kami berdua dengan sleeping bag yang ada. Aku berusaha memindahkan panas tubuhku untuknya.
“ Ayo sir, bangun… bergeraklah… bergerak Sir”
“ Ayo, ingat Anie…. Lakukan untuk Anie, Sir. Dia menunggumu… bergerakkk lah untuk Jhoni juga, kau bukan orang lemah, ayyoooo”. Teriakku.
Aku terus memompakan semangat, memeluknya dan berharap dia masih bisa mendengar. Kupandangi tajam-tajam wajahnya yang kini sudah tidak berjarak lagi dengan wajahku. Aku terus mendekapnya dan berharap ada denyut jantung yang bisa kurasakan. Sementara di luar, badai angin terus saja berusaha membanting-banting tenda yang kami tempati..aku terus memeluknya, mendekapnya. Entah sudah berapa lama aku “bersetubuh” dengan sobatku ini.
“ Bangun, bangun Sir… bangun. om Hok Gie tidak akan suka melihat kau jadi lemah. Belum ada yang bisa kau banggakan padanya sebelum kita sampai di bawah,” asaku untuk berharap Basir untuk kuat, kini sudah mulai habis. Tanpa terasa air mataku keluar dan langsung membasahi wajah serta bibirnya yang pucat. Tapi Basir tetap diam membisu. Akhirnya, Aku juga terdiam. Samar-samar teringat lagi dua bait pertama puisi yang sempat membuatku merinding tadi pagi :
Akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa.
Pada sesuatu ketika yang telah lama kita ketahui.
………
Dini hari ini, aku hanya bisa tercekat sendiri di dalam tenda yang sepi. Di sampingku, hanya ada tubuh kaku Basir. Basir, temanku…
************************
Rabu – Kamis, 7 – 8 Februari 2006
PUISI : Sebuah Tanya – SOE HOK GIE
Katalog :
Arcapada : Base camp terakhir sebelum puncak mahameru, berjarak dua jam perjalanan ke puncak
Carrier : Ransel ukuran besar untuk membawa seluruh keperluan perjalanan
Dpl : Di atas Permukaan Laut
Daypack : Ransel/ tas punggung kecil
Edelwijs : Bunga yang hanya terdapat di pegunungan. Jika kering, bunganya tetap awet hingga bertahun-tahun
Hypothermia : Penyakit yang muncul di lokasi yang tinggi dan dingin karena minimnya oksigen
Kalimati : Lokasi sumber air terakhir di gunung semeru. Berjarak 4 jam perjalanan ke puncak mahameru.
Mahameru : Puncak gunung semeru
Notes : Buku catatan kecil
Ranu Regulo : Ranu = danau. Regulo adalah desa terakhir di kaki gunung semeru, ada danau yang disebut ranu regulo
Ranu kumbolo : Ranu = danau. Ranu kumbolo adalah danau yang terletak di sebuah lembah pegunungan semeru.