berpikir dengan sel-sel kelabu otak

DULU saat masih kecil, saya sering diterangkan oleh guru tentang perkembangan batam yang bakal pesat ke depannya. Bagi saya yang sekolah di pinggiran batam dengan kondisi yang serba terbatas saat itu, sepertinya hanya dongeng saja. Dulu juga, waktu ditanyakan oleh guru tentang walikota Batam saat itu, saya agak kerepotan menjawabnya.

Yang lebih terhapal dalam benak saya malah kepala badan pengembangan daerah industri pulau batam atau Kabalak Otorita Batam. saat itu masih dijabat oleh almarhum bapak Soedarsono. Walikota, rasanya hanya sebagai simbol dan belum memiliki banyak pengaruh di pulau batam. Banyak hal yang masih bermuara ke Otorita sebagai otoritas pengelola pulau industri tersebut.

Yang saya ingat lagi waktu masih kecil, Cuma urusan KTP saja yang harus diurus ke jajaran pemerintah kota. Kecamatan khususnya. Selebihnya dan semuanya ditangani Otorita. Saya memang tidak begitu kenal dengan sosok walikota saya waktu itu. Hanya sekedar tahu dari cerita guru. Sekilas nama, Usman Draman. Itu tahun 80-an lalu. Cuma sebatas itu saja.

Hal demikian juga yang saya rasakan waktu meniggalkan pulau ini sepuluh tahun lalu.

Dengung reformasi saya dengar, lihat dan rasakan saat ada di tanah seberang. Semuanya berubah begitu cepat. Positifnya, banyak hal yang dulu seperti terbelenggu, mulai mendapat jatah porsinya masing-masing. Semua bebas menyalurkan suara. Semua bebas menyalurkan pendapat, aspirasi, termasuk juga pegawai negeri yang dulu begitu terdoktrinasi dengan kontrak politiknya.

Orang pintar bilang, “ini namanya reformasi dalam berdemokrasi di negara kita”. Sistem dan peta perpolitikan tanah air berubah. Kita jadi mengenal arti demokrasi secara langsung. Bukan demokrasi antara yang dibungkus nama demokrasi pancasila (itu yang saya pelajari dulu waktu sd)

Waktu kembali ke Batam lima tahun lalu, saya benar-benar meraskan magis dari penerapan undang-undang tentang otonomi daerah. Walikota di sini sudah punya gigi. Bukan sekedar simbol tanpa taji. Walau belum dipilih secara lagsung, walikotanya juga mulai jadi motor penggerak perubahan tentang era otonomi daerah. Banyak kebijakan yang sudah ditangani atau diambi alih dari pengelolaan awal Otorita Batam sebagai pioneer pembangunan di sini.

Tapi, perubahan terjadi karena reformasi. Saya nggak terbayang bakal seperti ini kejadiannya, jika reformasi tidak terjadi tahun 1998 lalu. Selain membawa perubahan sistem, kondisinya juga menyebabkan perubahan di banyak segi kehidupan. Semua memang telah berubah kini. Terutama bagi rakyat kecil yang merasakan harga-harga barang jadi membumbung tinggi. Angkatan Muda Pengangguran Indonesia juga ikut membludak!

Kata pakar ekonomi, kondisi ini karena pengaruh kurs tukar mata uang kita yang labil, serta kondisi belum stabilnya ekonomi nasional pasca reformasi. Saya pribadi mencoba maklum. Tapi bagaimana dengan masyarakat lainnya yang sudah bosan menunggu? Wow kesuen… belum lagi kebijakan pemerintah baru-baru ini yang menaikkan harga BBM dalam negeri hingga lebih 100 persen dari harga lama. Tapi sudahlah. Pemerintah pusat mungkin punya pikiran lain tentang itu. Kita coba sikapi secara arif saja supaya baik ke depannya.

Pemilihan langsung

KEMBALI ke masalah pemilihan langsung, sekarang ini kita punya presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Wakil-wakil rakyat kita yang duduk di DPR pusat hingga di daerah-daerah juga melalu proses pemilihan secara langsung. Seperti apa dan bagaimananya, bisa kita lihat sekarang. Kepala daerah juga menyusul dipilih secara langsung oleh rakyatnya belakangan ini. Lewat pilkada.

Kata teman saya, “ini demokrasi langsung bung!”

Kandidat calon bebas menyampaikan visi misi tentang program kerja bila nanti terpilih. Tapi kartu truf ada di tangan rakyat . Rakyat yang menentukan pilihan mereka sendiri tentang kepala daerah yang diharap mampu megembangkan daerahnya ke depan. kenyataan yang kita lihat belakangan, Pilkada yang digelar di banyak daerah berlangsung panas.

Malah ada yang anarkis. Banyak massa pendukung calon kepala daerah yang saling ribut satu sama lain. Demo penolakan hasil pilkada hingga melayangkan gugatan ke mahkamah agung tentang hasil yang dianggap tidak fair. Ada apa ini? Siapa yang salah? Apa sistemnya yang salah? Atau, memang kita yang belum siap menjalani demokrasi langsung secara dewasa?

Melihat kondisi ekonomi bangsa kita, pada satu sisi pemilihan kepala daerah yang digelar di berbagai daerah cenderung membawa sikap apatis sebagian masyarakat. Siapapun yang terpilih, banyak yang cenderung pesimis dan tidak mau tahu. Sisi lain, ada juga yang begitu menggantungkan harapan setinggi langit pada calon pujaannya.

Tapi tidak siap menerima hasil yang mengecewakan bila jagonya kalah. Ironis memang!! Umur republik ini sudah lebih setengah abad. Tapi kita tetap saja dihadapi masalah yang itu-itu juga. Ketidakdewasaan berpikir. Atau juga kepentingan golongan yang selalu lebih utama. Rasanya seperti siklus lingkaran setan yang terus saja berulang di negeri ini.

Beda dulu dan sekarang

APA sih bedanya pemilihan jaman dulu dan sekarang? Jaman dulu seluruh kepala daerah dipilih dari pusat. Istilahnya sentralisasi. Semuanya harus ada restu dari kementrian dalam negeri republik ini. Peluang?

Cuma terbuka bagi birokrat pegawai negeri golongan atas atau TNI yang dikaryakan. Jangan Tanya apakah kepala daerah itu perlu mendapat restu atau dukungan masyarakat setempat. Yang ditunjuk sudah pasti “diterima” karena memang belum jamannya menolak atau melakukan demo ketidakpuasan. Apalagi sampai gontok-gontokan atau tawuran antar pendukung seperti kompetisi sepak bola kita yang carut marut itu. Jaman sekarang?

Kalau menurut aturan di UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada prinsipnya semua warga boleh mencalonkan atau dicalonkan. Tapi tentu dengan batasan-batasan aturan teknis.

Seperti harus ada parpol yang mengusung atau mendukungnya. Parpol pendukung atau pengusung, juga harus yang memiliki kursi wakil rakyat di DPRD. Khusus pemilihan walikota, ya tentu parpol yang memiliki kursi di DPRD kota. Restu Parpol adalah mutlak untuk maju bersaing dalam bursa pencalonan. Malah, ada yang menerapkan kebijakan restu dari DPP-nya di Jakarta. Restu di daerah saja belum jadi modal kuat untuk maju sebagai kandidat calon.

Kalau ditilik, sepertinya sama-sama terpusat dengan sistem jaman dulu. Bedanya, dulu ke departemen dalam negeri, sekarang ke masing-masing parpol. Tapi yang jelas, setelah masa penjaringan parpol ini, ada proses yang langsung melibatkan masyarakat banyak, itulah pilkada!

Bagi saya dan mungkin juga masyarakat biasa lain, ini gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena kita dengan mudah dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan hati nurani kita sendiri. Susahnya, belum tentu pilihan kita itu merupakan suara terbanyak dan yang menjadi pemenang pilkada. Satu hal lagi, banyak dari kita yang belum mengenal secara utuh kandidat calon yang diusung.

Seperti membeli kucing dalam karung. Kita hanya dapat mendengar janji-janji mereka saat ini melalui media massa atau juga saat kampanye terbuka. Praktek nyata dari realisasi janji, baru dibuktikan bila calon terpilih. Tapi masalahnya, mulut siapa yang bisa dipegang? Deraan cobaan hidup yang bertubi-tubi dalam beberapa waktu terakhir, serta kebijakan pemerintah di pusat dan daerah yang sering tidak berpihak ke rakyat banyak, membuat sebagian ada yang merasa apatis.

Januari tahun depan, kalau jadi kita bakal menggelar pemilihan langsung walikota Batam. ini jadi ajang pemilihan langsung pertama di sini. Kita bakal punya walikota baru hasil pemilihan perdana. Mau seperti apa walikotanya, kita sebagai warga yang menentukan. Tentu yang memperoleh suara terbanyak. Tapi apa memang sesederhana itu? Siapa yang benar-benar layak dipercaya? Perlu kedewasaan berpikir tentunya.

Kalau saya boleh mengutip sedikt ucapan dari salah satu tokoh fiksi legendaris –Hercule Poirot- “kita sebenarnya hanya belum menggunakan sel-sel kelabu otak kita dengan baik dan benar untuk memecahkan persoalan dan pilihan”. Secara konteks, apa yang diucapkan Poirot soal sel-sel kelabu otak-nya memang beda peruntukan. Poirot bukan ahli politik. Bukan juga sosiolog atau ahli filsafat. Ia hanya seorang detektif fiksi hasil khayalan novelis Agatha Cristhie.

Diceritakan, ia kerap menggunakan sel-sel kelabu otaknya untuk mencari pemecahan terbaik setiap kasus-kasus kejahatan yang dihadapi. Caranya dengan merenung seorang diri. Berpikir dalam untuk mencari benang sari masalah dan menarik kesimpulan terbaik dari masalah yang dihadapi. Nah, menurut saya sel-sel kelabu otak setiap manusia khan tidak hanya digunakan untuk memecahkan kasus-kasus kejahatan seperti yag dilakukan Poirot.

Jadi bagaimana? Ya mungkin seperti yang diungkapkan Poirot tadi. Menggunakan sel-sel kelabu otak kita untuk menentukan yang terbaik. Dari calon-calon kandidat yang muncul, mungkin ada yang terbayang tentang sebuah wajah yang layak jadi walikota pertama warga di sini. Atau, malah tidak sama sekali karena tidak ada yang muncul dari sel-sel kelabu otak kita. Semoga bukan itu hasilnya.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 1 Mei 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search