Cerita Omong Kosong ; Pemilihan Walikota Bacang

TERSEBUTLAH kota bernama Bacang di sebuah negeri Antah Berantah. Walikotanya sudah mundur karena sesuatu hal. Untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, telah ditunjuk seorang pelaksana tugas yang selama ini dikenal sebagai staff ahli dan orang dekat sang walikota. Beberapa bulan lagi, pesta demokrasi untuk memilih walikota yang baru akan segera digelar.

Ini adalah proses pemilihan walikota perdana yang langsung melibatkan warga kota Bacang. Asal memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh badan pemilihan walikota, semua warga bebas mengajukan calon atau bahkan mencalonkan untuk diri sendiri. Demam demokrasi langsung memang sedang menggema usai revolusi besar yang melanda negeri Antah Berantah. Banyak yang tertarik…

Contohnya saja si Obet, pedagang kain keliling. Ada juga Meneer Van Bronkos dan Jeans (baca : Zang) Philip Tulalit yang bertahun-tahun mengabdikan diri sebagai abdi praja di kota Bacang. Yang lain adalah Louis Jempol yang meng-klaim punya massa setia karena menduduki jabatan pimpinan di sebuah organisasi kemasyarakatan.

Kalau Obet, jujur saja, ia ingin merubah nasib. Termasuk harkat dan derajatnya. Siapa tahu dipercaya warga Bacang, begitu pikirnya. Menjadi seorang pimpinan, tentu akan banyak memperoleh kehormatan. Belum lagi fasilitas lainnya yang bikin hidup jadi lebih hidup…

Realita yang wajar bagi seorang kecil seperti Obet. Tapi tentu, mencalonkandiri sebagai calon walikota tidak bisa hanya modal dengkul saja. Paling tidak ia harus cetak kartu nama sebanyak-banyaknya supaya warga kota Bacang yang belum kenal, jadi familiar dengan seorang Obet.

Tetangga sekeliling di kampung Dodol –tempat tinggal Obet- banyak yang berpikir impian Obet sebagai hal yang naif dan tidak mengukur diri. Mau dibawa kemana kota ini kalau memang benar Obet yang terpilih jadi walikotanya, begitu pikir mereka.

Pailul, ketua RT kampung Dodol setengah mengumpat saat Obet bermaksud memperpanjang katepe-nya yang sudah tiga tahun mati sebagai pelengkap persyaratan di partai Lele. Obet sendiri begitu berharap dapat diusung sebagai kandidat dari partai berlambang kumis ikan lele tersebut.

“Aje gile lu Bet, emang lu punya ijazah sekolahan?”

“Masalah ijazah sih gampang mas Pailul. Aye udah pesen supaya dibikinin. Lagian aye udah berhasil ngeyakinin koh Ahong, juragan ikan asin terbesar itu untuk menjadi donator dalam pencalonan aye. Pokoknya beres dah, tinggal cari simpati orang-orang”.

“Berapa duit lu punya?”

“Kalo itu sih gak usah dipikirin. Pokoknya cukup!” ujar Obet sambil menyerahkan map berisi kartu keluarga, trus ngeloyor pergi.

——————————————–

Hari ini Obet tidak berjualan kain keliling. Ia benar-benar sibuk dengan urusan pencalonan sebagai walikota Bacang. Di rumah koh Ahong –donatur dan juga langganan kain jualan Obet selama bertahun-tahun- Obet lagi berembuk deal-deal politik. Ceile… begitu sih kata politikus.

“Pokoknya koh Ahong tinggal nyiapin dana aye untuk maju sebagai calon walikota, entar kalo udah jadi, aye gampangin deh urusan koh Ahong”, begitu kata Obet sambil tangannya bersedekap di dada kayak pejabat.

“Oe oe, gua minta distribusi ikan asin nanti jadi monopoli gua. Nggak ada yang boleh masukin ikan asin ke kota Bacang selain gua, gimana?”

“Oke dah atur saja, koh Ahong mo minta monopoli yang lain juga aye jabanin!” Obet langsung nyambar omongan koh Ahong dengan nada meyakinkan.

Sementara koh Ahong dengan semangat mirip Soe Hok Gie waktu jaman jadi mahasiswa orde lama getol-getolnya menyuarakan aspirasi rakyat, terlihat sibuk dengan sempoa di tangannya. Sudah terbayang keuntungan berlipat yang didapat bila hak monopoli distribusi ikan asin sudah dipegangnya.

——————————————–

Di sudut lain kota Bacang, sebuah mobil BMW merah tampak berhenti tepat di depan sebuah warteg yang selalu ramai pengunjungnya. Dari kejauhan muncul kepala kecil dengan tubuh dibalut setelan hem rapi. Saat menoleh, kumis tebal disisir klimis langsung terasa sangat familiar. Wajah ini sudah begitu sering muncul di media-media massa terbitan lokal kota Bacang.

Dialah Meneer Van Bronkos. Abdi praja, kepala salah satu instansi di sini. Badan kecilnya, memang tidak mampu menghalangi ketenarannya. Termasuk soal pro dan kontranya saat Van Bronkos memutuskan maju sebagai salah satu kandidat calon walikota Bacang. Yang tidak pernah lepas dari wajahnya adalah seulas senyumnya yang begitu berwibawa. Dengan senyum itu pula ia menyapa hampir seluruh pengunjung saat memasuki warteg.

Warteg itu adalah miliknya. Jadi wajar jika ia menebar senyum sebagai pertanda keramahan seorang tuan rumah. Begitulah ia selalu menyapa pengunjung di sepuluh warteg miliknya. Hampir saban makan siang, saat ini Meneer Van Bronkos selalu menyempatkan diri untuk berkeliling di setiap lokasi usaha wartegnya.

Ketelitian itu juga yang membuat usahanya bisa berkembang pesat hanya dalam waktu beberapa tahun saja. Faktor kesuksesan lainnya? Ehm… ehm… Sebagai seorang abdi praja, Meneer Van Bronkos memiliki kartu truf dan resep jitu untuk membuat usahanya semakin beranak pinak.

“Selamat siang Meneer, apa kabar nih?” sapa seorang pengunjung sok akrab.

“Baik-baik saja,” balas Meneer Van Bronkos seraya bergerak mendekati meja si penyapa. Lagi-lagi dengan seulas senyum yang seakan sudah melekat mati di wajahnya.

“Gimana nih kabar persiapan pencalonannya. Meneer benar-benar sudah yakin sepertinya?” lanjut si pengunjung dengan sikap ramah berlebihan.

“Yah sepertinya begitu, niat baik tidak boleh setengah-setengah, dik. Saya ingin memberikan seluruh kemampuan saya untuk membangun negeri ini, membuatnya semakin maju dan bla…bla…”

Sederetan kalimat yang diucapkan dengan rapi dan sistematis sekali meluncur dari bibir kecil Meneer Van Bronkos yang sedikit tertutup kumis tebalnya.

Ucapan seperti itu sebenarnya sudah sering diulang-ulang dalam setiap kesempatan pidato di depan khalayak ramai. Baik itu peresmian pasar, undangan kawinan dan acara-acara lain yang mengundang dirinya.

“…Pokoknya, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan”. Pungkas Meneer Van Bronkos dengan nada berwibawa sekali.

Si penyapa kelihatan mengangguk manggut-manggut mendengar penuturan Meneer Van Bronkos barusan.

“Wah, kalau begitu saya mendukung Meneer, semoga Meneer jadi pemimpin yang baik dan mampu membawa aspirasi masyarakat kecil seperti saya ini”. Sambil menyeka keringat di keningnya, si penyapa masih terlihat senyum dengan rasa hormat yang tinggi sekali.

Menner Van Bronkos hanya membalas denga senyum wibawanya. Ia menepuk-nepuk bahu sang penyapa kemudian bergegas jalan memanggil pelayannya.

“sssst… tolong yang di sudut itu jangan diminta bayarannya. Dia pendukung saya,” bisik sang Menner pada pelayannya….

Jeans (baca : Zang) Philip Tulalit adalah orang yang beruntung. Bagaimana tidak. Waktu kecil dulu ia sudah divonis oleh keluarganya tidak memiliki masa depan yang cerah. Selain karena hasil psikotesnya yang selalu menelurkan IQ yang jongkok, ia tergolong orang yang susah mencerna pembicaraan orang lain.

Cuma, ia berasal dari keluarga kaya. Makanya walau penuh dengan perjuangan diikuti dengan plus-plus yang lain, ia bisa menyelesaikan pendidikan S1-nya. Dengan modal ijazahnya itu juga dan faktor kedekatan orang tua dengan birokrat pemerintahan, Jeans Philip Tulalit bisa diterima sebagai abdi praja dengan pangkat golongan awal III-A.

Saat itu, orang tuanya hanya berharap Jeans Philip Tulalit memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Juga bekal tunjangan bila pensiun nantinya. Jadi tidak melulu merongrong dan merepotkan harta orang tua saja.

Tapi itu dulu. Lima belas tahun lalu. Nasib baik membawa Jeans Philip Tulalit yang sekarang sebagai salah satu kepala di sebuah instansi pemerintahan kota Bacang. Walau sering tulalit seperti namanya, Jean Philip Tulalit ternyata cukup pintar mengambil hati atasan. Apapun dilakukan untuk membuat atasan senang. Tidak heran, karirnya kini bisa setara dengan Meneer Van Bronkos di lingkungan pemerintahan kota Bacang.

Satu lagi, ia memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi. Pencalonannya sebagai calon wali kota Bacang juga berawal dari gosok-gosok kerabatnya. Sebagai seorang pejabat teras, Jeans Philip Tulalit dianggap layak untuk maju sebagai calon walikota. Apalagi modal keuangan lebih dari cukup. Hasil warisan orang tuanya yang pengusaha dan kedudukannya sebagai salah satu pejabat teras.

“Sudah waktunya pak Philip maju dalam pemilihan walikota Bacang sekarang. Bapak punya segalanya.
Modal, kedudukan…”, ujar salah satu kerabatnya dalam kesempatan bincang-bincang ringan di teras rumahnya yang mentereng.

“Yang perlu saat ini adalah memunculkan nama bapak agar dikenal orang. Bapak juga harus sering-sering muncul di media massa untuk memuluskan langkah politis bapak”.

Gosokan sang kerabat benar-benar membuat hati Jeans Philip Tulalit jadi berbunga-bunga.

“Lantas, apa yang harus saya lakukan?”

“Ini masih beberapa bulan lagi sebelum pemilihan digelar. Bapak tinggal menyediakan waktu untuk secara rutin bertemu wartawan. Dengan demikian, warga akan lebih mengenal bapak.. bla…bla…bla….”

“Sokongan dana juga jadi poin penting lainnya. Asal bapak percaya, saya akan urus semuanya”. Begitu saran panjang lebar dari si kerabat. Tapi yang disampaikan jujur saja malah membuat Jeans Philip tulalit kebingungan dalam mencernanya….

“Tapi, anda tahu sendiri kan, selama ini urusan pekerjaan banyak yang saya delegasikan ke staf saya.
Saya agak bingung dengan saran anda”.

“Tenang pak, bapak percaya saja dengan saya. Semuanya akan beres, bagaimana?”

Kerling nakal sang kerabat dianggap Jeans Philip Tulalit sebagai sinyal dukungan penuh terhadapnya.

“Oke, atur saja semua. Saya percaya anda”

————————————————————

Pasar Jorok terlihat ramai sekali hari ini. Bukan karena banyak orang yang sedang transaksi jual beli. Tapi lagi ada keributan dua kelompok preman. Masing-masing mengaku punya hak untuk mengutip uang keamanan dari para pedagang. Kelompok Jon Hebat yang selama ini menguasai wilayah selatan pasar Jorok, bersitegang dengan kelompok Mat Jago yang punya wilayah kekuasaan di bagian utara.

Pedagang pada lari ketakutan. Dagangan mereka banyak yang jadi korban. Diacak-acak kedua kelompok preman yang berantem. Informasi tentang tawuran massal tersebut, sampai ke telinga polisi. Puluhan petugas Dalmas dikerahkan untuk menetralkan suasana. Saat petugas tiba, kedua kelompok preman lari pontang-panting menyelamatkan diri.

Dari pada diseret jadi tersangka keributan, mending kabur. Begitu pikir mereka.

Situasi reda bukan berarti masalah selesai. Kali ini ganti puluhan pedagang yang mendatangi polisi untuk mengadukan soal barang dagangan mereka yang hancur akibat tawuran tersebut. Mereka juga minta ketegasan polisi untuk lebih mengamankan lokasi pasar Jorok dari oknum-oknum anak buah Jon Hebat dan Mat Jago. Rombongan penjabat walikota sementara kota Bacang –Aristoteles- juga tidak luput dari protes para pedagang…

“Gimana ini pak, dagangan kami rusak” seru seorang pedagang.

“Iya pak, siapa yang harus menggantinya. Anak kami butuh makan, kami sekarang tidak bisa jualan!!” seru yang lain.

Suasana yang semula mulai reda jadi kembali ribut. Para pedagang mulai berteriak minta keadilan dan perlindungan.

“Sabar bapak-bapak, tenang ibu-ibu… Semua ada penyelesaiannya. Terus terang kami tidak bisa mengganti barang dagangan bapak-bapak dan ibu-ibu yang rusak. Tapi kami jamin bahwa peristiwa seperti ini tidak akan terulang kembali. Kami akan menindak tegas para pelaku kerusuhan. Saya jamin itu!!” Seru penjabat walikota Bacang –Aristoteles- untuk meredam suasana.

Ia menggunakan sebuah toa yang memang sengaja dipersiapkan dari kantor.Wajahnya tampak memerah dan berkeringat karena waktu berbicara tadi setengah berteriak. Batere toa yang dipakai ternyata sudah separuh soak dan lupa diganti. Tapi para pedagang sepertinya tidak terima dengan jawaban sang penjabat walikota tersebut. Mereka mulai merangsek maju dan berteriak-teriak semakin riuh. Polisi Dalmas terpaksa membuat barisan rapat untuk melindungi Aristoteles dan rombongan dari kemungkinan amuk massa.

Namun mendadak, dari tengah kerumunan massa muncul satu rombongan kecil yang langsung mengambil alih situasi.

“Saudara-saudaraku yang tercinta, jangan khawatir tentang nasib dagangan kalian. Saya, Louis Jempol akan mengganti semua barang dagangan kalian yang rusak. Saya melakukannya karena saya peduli dengan nasib kalian sebagai rakyat kecil yang sering tertindas, bla… bla… bla…”

Seorang pria empat puluhan tahun dengan menggunakan toa yang hampir sama dengan milik Aristoteles, beritikad baik mengganti semua barang dagangan pedagang yang rusak. Ia tampak begitu percaya diri dengan dikelilingi oleh belasan pemuda berbadan tegap.

“Hidup Louis Jempol, hidup pengayom orang kecil”.

Entah siapa yang memulainya, suara mengelukan Louis Jempol langsung ramai terdengar. Di tengah suasana riuh karena kegembiraan para pedagang, Louis Jempol segera merangkul seorang anak buahnya.

“Sssst… jangan lupa bagikan selebaran itu”.

Kemudian dengan sigap dan trampil, seorang anak buah Louis Jempol langsung bergerak membagi-bagikan selebaran kepada para pedagang yang tengah diliputi kegembiraan. Isinya :

“LOUIS JEMPOL, PENGAYOM ORANG KECIL
KANDIDAT WALIKOTA BACANG TERBAIK
MOTTO : BERSATU TEGUH MEMBELA YANG MISKIN”

———————————————————-

Beberapa bulan kemudian…..

Hari ini tanggal 5 kliwon tahun Jadul. Waktunya gawe besar pemilihan kepala daerah secara serentak digelar di seluruh negeri antah berantah. Obet, salah satu kandidat yang akhirnya bisa meyakinkan partai Lele untuk mengusungnya, berpasangan dengan Ando Bibir sebagai wakil walikotanya. Ando adalah fungsionaris partai Lele yang sengaja dipasangkan dengan Obet. Saat ini soal donatur bukan masalah bagi Obet.

Obet yang saat ini menyandang predikat mantan pedagang kain keliling, mulai merasakan nikmatnya hidup dari berbagai sumbangan donatur yang mengalir melalui media center yang didirikannya beberapa waktu lalu.

Kabar baiknya lagi, koh Ahong ternyata bisa meyakinkan rekan-rekan bisnisnya yang lain untuk mendukung pencalonan Obet sebagai calon walikota Bacang. Tapi tentu bukan dukungan kosong begitu saja. Ada deal-deal yang harus dipenuhi Obet jika terpilih nantinya.

Keyakinan sepertinya terpancar dari wajah Obet. Bagaimana tidak, survey terakhir dari polling yang diadakan partai Lele di sejumlah kantung pemilihan, popularitas Obet melejit belakangan ini.

Kata tim sukses Obet, itu karena Obet menuruti saran untuk mendekati massa pemilih secara langsung di lapangan. Taktik serangan fajar tadi pagi, diyakini juga bisa ikut mengatrol perolehan suara Obet hari ini. Keberhasilannya? Wallahuallam…..

Di lokasi berbeda…
Rasa yakin yang tinggi juga terlihat dari raut wajah Meneer Van Bronkos pagi ini. Ia yakin, program makan gratis selama sebulan penuh di sepuluh warteg miliknya, memiliki pengaruh yang besar merangkum suara pemilih hari ini.Menurut Van Bronkos, massa pemilih tentu beranggapan Van Bronkos adalah pribadi yang murah hati. Ini penting untuk membangun imej di tengah-tengah masyarakat kota Bacang.

Untuk maju dalam pemilihan kali ini, Meneer Van Bronkos rela merogoh kocek hingga menyusutkan tabungan di rekeningnya. Ia diusung oleh partai Gurem yang berlambang kutu untuk maju sebagai walikota Bacang. Pasangannya adalah Sir Kawat Gigi yang tercatat sebagai sekretaris partai Gurem.

Tekad sang Meneer sepertinya sudah bulat. Walau untuk itu, ia harus rela menanggalkan jabatan sebagai abdi praja di kota Bacang. Pro kontra soal pencalonannya hingga dugaan penggunaan uang negara untuk proses pencalonannya, tidak begitu dipedulikan.

Sekali maju pantang surut ke belakang. Begitu mottonya…..

Bagaimana dengan Jeans Philip Tulalit? Abdi praja yang satu ini ternyata tidak memperoleh cukup dukungan partai pengusungnya untuk maju sebagai orang nomor satu di kota Bacang. Namun, kekayaan yang diperoleh semasa menjabat sebagai abdi praja dan hasil warisan orang tua, masih bisa diandalkan sebagai penyokong dalam berduet dengan louis jempol. Mereka berdua diusung oleh koalisi partai Tahu dan partai Tempe….

————————————————–

Di lokasi-lokasi pemungutan suara, warga kota Bacang mulai menggunakan hak pilihnya. Penjabat walikota Bacang, Aristoteles berkeliling dari satu lokasi TPS ke lokasi TPS lainnya untuk memastikan pemilihan berlangsung lancar dan aman. Siapapun yang terpilih bukan masalah baginya. Ia sudah memutuskan untuk mengantarkan sampai pemilihan ini saja. Selanjutnya, Aristoteles memilih untuk pensiun dan bermain dengan cucu di rumah.

Waktu senggang lain menurutnya, akan dipergunakan untuk bercocok tanam. Menyalurkan kembali hobinya yang selama ini terlupakan karena kesibukan sebagai abdi praja. Sebagai seorang abdi praja tulen, ia memang enggan terlibat dalam hiruk pikuk dunia politik. Itu adalah pilihannya yang tidak bisa ditawar lagi.

Saat tengah berkeliling memeriksa lokasi TPS, mendadak ponselnya berdering…

“Ya kenapa, wah itu kan di kota anda. Di Bacang masih kondusif kok. Semua berjalan lancar… oh begitu, iya…”

Aristoteles mendapat kabar bahwa saat ini di berbagai kota di negeri Antah Berantah, proses pemilihan kepala daerah yang digelar berlangsung rusuh. Imbasnya, di ibu kota negara –Trombosit- aksi penolakan terhadap penerapan undang-undang baru otonomi daerah jadi dipersoalkan ribuan mahasiswa.

Menurut mahasiswa pendemo, negeri Antah Berantah belum siap untuk menerapkan secara penuh undang-undang otonomi daerah. Menurut mereka lagi, masyarakat negeri Antah Berantah belum siap menerima proses demokrasi langsung. Rusuh pemilihan kepala daerah di berbagai tempat jadi barometernya.

Mereka minta agar presiden negeri Antah Berantah, Hakul Yakin dan wakil presiden Selamat Sentosa untuk segera mengambil langkah darurat berupa pembekuan sementara undang-undang otonomi di daerah dan menghentikan proses pemilihan kepala daerah yang saat ini tengah berlangsung rusuh di mana-mana.

Baru saja Aristoteles memasukkan ponsel ke sakunya, mendadak gelombang massa dalam jumlah besar bergerak cepat memporak-porandakan lokasi TPS yang baru dikunjunginya. Massa marah dan membakar lokasi karena proses pemilihan yang dianggap dan diduga sarat kecurangan. Saat itu juga Aristoteles segera lari menyelamatkan diri dari amuk massa. Dari laporan yang diterimanya setelah itu, keributan juga terjadi di berbagai lokasi kota Bacang….

—————————————————

Malam hari, keributan sudah reda….

Tapi, sedikit dari dokumen pemilihan yang bsa diselamatkan. Badan pemilihan walikota Bacang hanya berhasil mengumpulkan sisa-sisa kertas suara yang habis dibakar massa. Pemilihan ini mau tidak mau dinyatakan gagal. Hampir tidak ada kertas suara yang bisa dihitung untuk menentukan pasangan calon yang menang.

Di saluran televisi, pemerintah pusat negeri Antah Berantah melakukan blocking time semua jam tayang stasiun televisi untuk sebuah pengumuman penting ;

Presiden Hakkul Yakin didampingi wakil presiden Selamat Sentosa mengumumkan suatu maklumat tentang pembekuan seluruh hasil-hasil pemilihan kepala daerah di seluruh kota negeri Antah Berantah…

Keputusan ini sekaligus mengabulkan tuntutan ribuan mahasiswa yang melakukan demo sejak siang hari. Presiden berkesimpulan bahwa rakyat negeri Antah Berantah belum dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Dan yang lebih jauh lagi, para kandidat di daerah belum bisa bersikap arif dan bijaksana dalam melihat proses demokrasi langsung.

Keputusan yang disampaikan menurutnya, berlaku secara nasional dan tidak dapat diganggu gugat hingga terbitnya keputusan baru yang merevisi keputusan ini. Untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah, presiden Hakkul Yakin tetap menunjuk kepala daerah lama atau pelaksana tugasnya untuk menanggulangi situasi dan pemerintahan.

—————————————————

Di kampung Dodol kota Bacang, Obet sedang memperhatikan dengan serius maklumat yang dikeluarkan presiden melalui televisi. Sorot matanya kosong. Sejak sore tadi, ia resmi terusir dari kediaman yang dipinjamkan Koh Ahong padanya.

Koh Ahong dan kawan-kawan langsung menarik dukungan mereka begitu mengetahui situasi yang tidak lagi kondusif di kota Bacang…..

Meneer Van Bronkos juga begitu. Ia menyesali keputusannya keluar dari abdi praja kota Bacang. Sepuluh warteg yang dimilikinya kemungkinan bakal disita bank untuk melunasi pinjaman kredit yang disalahgunakan untuk proses pencalonannya. Sementara rekening tabungannya, sudah jauh terkuras dan belum terisi kembali. Sepertinya Meneer Van Bronkos harus memulai dari bawah dengan keringatnya sendiri sebagai seorang wiraswasta murni tanpa embel-embel jabatan abdi praja yang dipegangnya bertahun-tahun.

Jeans Philip Tulalit? Yang pasti bernasib sama dengan Meneer Van Bronkos. Namun saat ini, ia masih sulit menerima dan mencerna maklumat yang disampaikan presiden Hakkul Yakin melalui pesawat televisi. Kerabat yang jadi orang kepercayaannya, masih sibuk menerangkan maksud maklumat yang dikeluarkan presiden…

Louis Jempol adalah orang pasar. Ia tidak begitu peduli dengan hasil kacau pemilihan walikota Bacang dan juga kota-kota lain di negeri Antah Berantah hari ini. Toh menurutnya, dana pemilihan yang dikeluarkan selama ini adalah uang orang lain. Bukan uangnya sendiri yang harus perlu diratapi. Kegagalan saat ini, tidak begitu membuatnya patah semangat.

Sementara itu, di rumah dinas penjabat walikota Bacang, Aristoteles masih termenung mengingat kejadian tadi siang. Ia tidak mengira warganya bisa berubah jadi begitu brutal karena mengikuti hawa nafsu. Membela kandidat yang dijagokan, tanpa berpikir lebih dalam lagi. Namun, Aristoteles adalah seorang abdi praja yang baik. Ia sudah memutuskan untuk mentaati maklumat yang dikeluarkan presiden Hakkul Yakin untuk menjalankan roda pemerintahan di kota Bacang sampai keluarnya keputusan baru.

Itu artinya, ia harus menunda keinginan untuk bermain bebas dengan sang cucu atau menyalurkan hobi bercocok tanam di halaman belakang rumahnya yang luas.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 1 Mei 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search