Jadi Kades 40 tahun
PAK Karno memimpin Indonesia selama 22 tahun sampai dilengserkan lewat sidang istimewa MPRS tahun 1968. Pak Harto membangun Indonesia selama 32 tahun sampai masa reformasi. Kemudian ada pak Habibie yang sempat mencicipi kursi presiden Indonesia selama 18 bulan sampai tahun 1999.
Nah, Saya pernah mengenal seorang kepala desa di tempat terpencil yang berkuasa di tiga era presiden tersebut! Gajinya cuma dari sepetak lahan “bengkok” yang dikuasakan padanya. Tapi entah, bagaimana nasibnya sekarang.
Saya mengenalnya 10 tahun yang lalu, tahun 1998.
Tapi sayang, cuma sebentar, hanya hitungan hari. Itu juga karena kebetulan mengunjungi desa-nya di Kebo Ireng-kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Yang membuat saya geleng-geleng kepala, sampai dengan tahun tersebut, ia ternyata sudah “berkuasa” selama 40 tahun di desa yang tidak bisa dibilang subur makmur.
Kalau dihitung mundur ke belakang, ya sekitar tahun 1958! Baru belakangan ini saya teringat lagi dengannya. Tapi mohon maaf, karena sudah lewat satu dasawarsa, jujur saja namanya sudah lupa.
Awal cerita, kenalnya saat akan melakukan ekspedisi pemanjatan tebing besar saat mahasiswa dulu. Tebing yang dipilih adalah di salah satu sisi gunung Tanggul di desa Kebo Ireng. Yang saya ingat saat itu, bersama 4 orang teman, kami kemalaman.
Tiba di desa Kebo Ireng, hari sudah sangat larut. Selain cuma punya modal sedikit uang, modal lain cuma keberanian dan nekad (kecuali peralatan panjat yang memag saya persiapkan komplit).
Dari tanya sana-sini, kami jadi tahu di mana rumah pak Kades-nya. Rencana sih memang mau numpang menginap. Tapi, saya sama sekali tidak menyangka prosesnya bisa berjalan lancar. Kami langsung diterima dengan tangan terbuka. Yang saya ingat lagi, sosoknya adalah seorang pria tua. usia sekitar 60-an menjelang 70 tahun. Tubuhnya masih kokoh dengan urat-urat menyembul keluar tanda sering digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya fisik.
Pak Kades Kebo ireng sudah memimpin desa itu selama 40 tahun. Ia merasakan pemerintahan dari tiga presiden Indonesia. Sukarno, Suharto dan BJ Habibie. Entah saat ini karena saya sudah tidak punya kontak dengannya. Yang lebih membuat saya geleng-geleng kepala saat itu, jabatannya ternyata merupakan warisan dari orang tua!
“Mas, di sini nggak ada yang mau jadi kepala desa. Lihat saja sendiri, di sini bukan desa yang subur. Nanam juga cuma bisa jagung sama tebu!. Laki-laki dan anak mudanya lebih senang merantau keluar desa,” ujar pak Kades saat itu.
“Lha, lantas kenapa mau jadi kepala desa terus-terusan?” Tanya saya.
Jawabannya, ternyata karena pak Kades begitu mencintai tanah kelahirannya dan ingin bisa mengabdi. Klise? Mungkin. Tapi toh memang tidak ada yang diharapkan selain sepetak tanah “bengkok” yang dikuasakan padanya untuk diusahakan. Dari tanah itulah ia mendapatkan penghasilan. Alasan lain? Karena amanat orang tua!
Rumah pak Kades terbilang luas. Khas rumah orang desa. Lantainya tanah yang sudah diratakan. Ruang tamunya hanya diisi satu set kursi kayu yang sudah reyot dan gambar poster murahan Presiden pertama RI, Soekarno dan Presiden kedua Soeharto . Gambar presiden ketiga RI, BJ Habibie tidak ada (dalam hati saya menebak, mungkin karena saat itu pak Habibie masih baru menjabat sebagai presiden, atau mungkin pak Kades kesulitan mendapatkan poster murahan presiden Habibie,)..
Pak kades tahu, jika cuma mengharapkan tanah bengkok yang hanya bisa ditanami jagung dan tebu, mungkin tidak cukup untuk hidup keluarga. Makanya, ia juga punya pekerjaan sampingan, mengumpulkan rekahan batuan andesit dari gunung Tanggul. Gunung yang salah satu sisinya akan kami panjat hanya untuk kesenangan dan kepuasan saja! Miris. Tapi kenyataan itu baru saya sadari bertahun-tahun usai pertemuan dengannya.
(*)
Postingan ini pertama kali diunggah pada 2 Mei 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com