Harpitnas : It’s the time to be BOLOS!! (I)
ANDA yang pernah jadi siswa sekolah di akhir 70-an atau era 80-an, mungkin sudah tidak asing dengan istilah Sabtu Krida yang diberlakukan saban Sabtu akhir pekan. Kegiatan belajar mengajar di ruang kelas, diganti dengan kegiatan yang bersifat massal secara outdoor di lingkungan sekolah.
Yang paling sering dilakukan adalah menggelar kegiatan gotong royong atau membuat pra-karya secara berkelompok. Tapi sebagian siswa sering memplesetkan hari krida dengan istilah Harpitnas ; Hari Kejepit Nasional. It’s the time to be BOLOS!!
Jujur, saya termasuk salah satu siswa yang sering memanfaatkan momen Harpitnas untuk kegiatan yang tidak terpuji tersebut, bolos sekolah. Saat SD, Sabtu pagi seperti biasa, saya tetap berangkat sekolah. Tidak membawa tas berisi buku pelajaran. Biasanya cuma ember kecil atau sapu lidi, sesuai perintah guru wali kelas yang disampaikan satu hari sebelumnya.
Ke sekolahnya jalan kaki bersama teman-teman lainnya dengan menempuh jarak sekitar 5 kilo meter dari rumah. Berduyun-duyun, mirip parade anak sekolah. .Saya termasuk beruntung karena setiap barang yang diminta untuk dibawa, sudah langsung disiapkan ortu.
Disuruh bawa ember kecil tapi belum punya? Bapak langsung beli ke warung cina dekat rumah. Disuruh bawa sapu lidi, tinggal melepas sedikit perkakas sapu yang ada di rumah. Keluarga saya bukan orang berada, tapi orang tua selalu berusaha peduli dengan kebutuhan anak-anaknya.
Bayangkan dengan teman-teman saya yang lain. Disuruh bawa ember ke sekolah, ada yang hanya mampu membawa kaleng cat bekas. Diminta bawa sapu lidi untuk bersih-bersih sekolah, mereka harus mengulitinya dulu dari pelepah daun kelapa! Jadi yang dibawa adalah ruas-ruas daun kelapa yang masih berwarna hijau.
Di sekolah setelah di-absen, biasanya kami langsung melakukan penugasan yang diberikan majelis guru. Sebagian besar anak-anak memang patuh mengikutinya. Tapi, saya bersama beberapa anak, kadang bertindak nakal. Ember atau sapu kami sembunyikan di salah satu tempat. Kemudian pergi keluar dari lingkungan sekolah yang memang hanya berpagar kayu tiup-tiup. Gampang untuk diterobos!
Apa yang saya lakukan saat Harpitnas seperti itu? Yang jelas suka-suka. Kadang saya main ke hutan dekat sekolah, mencari manggis atau salak hutan (era 80-an, di daerah saya batu 11 Bintan, masih banyak buah yang seperti itu, red). Kadang juga mandi di sungai. Pokoknya, “Harpitnas” jadi hari bebas bagi kami.
Saat SMP, Sabtu Krida dihapuskan. Sabtu tetap masuk dan belajar seperti biasa. Tapi bukan berarti era Harpitnas habis. Istilah Harpitnas jadi berganti untuk hari yang berada diantara tanggal merah yang mepet dengan hari Minggu. Misalnya hari Jumat tanggal merah karena perayaan Isa Almasih. Sabtu masuk seperti biasa dan Minggu libur. Sabtu-nya pasti jadi “Harpitnas”. Yang memanfaatkan “Harpitnas”, biasanya tergolong siswa nakal di sekolah.
Sekarang, setelah belasan tahun saya meninggalkan bangku sekolah, “Harpitnas” saya pikir masih tetap ada. Harpitnas masih tetap dirayakan oleh sekelompok siswa atau orang. Mereka menyambutnya dengan sukacita, dengan segudang rencana suka-suka.
(*)
Postingan ini pertama kali diunggah pada 7 Mei 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com