Egosentris (1)

EGOSENTRIS, mengacu pada istilah yang pernah diperdebatkan kalangan ilmiah dan gereja pada abad ke-16 soal heliosentris atau geosentris sebagai pusat tata surya kita, saya lebih senang mendeskripsikan egosentris sebagai pola kecenderungan sikap untuk menempatkan keinginan/ kemauan diri sendiri sebagai pusat atau hal yang utama dan prinsip. Sosok Heinrich Harrer, seorang Austria yang hidup dalam kurun waktu 1912 – 2006 mungkin cocok. Paling tidak dalam beberapa kurun waktu perjalanan hidupnya.

Heinrich Harrer lahir pada 6 Juli 1912 di Huttenberg, Austria, dekat pegunungan Alpen. Dalam beberapa cerita, ia selalu menolak dikatakan sebagai orang Jerman walau hidup dan beristrikan orang dari bangsa Arya tersebut. Ia adalah seorang ekspeditor. Kisah hidup Harrer yang dituangkannya dalam tulisan-tulisannya memang penuh dengan petualangan yang menarik. Harrer adalah anggota dari tim 4 orang yang melakukan pendakian pertama di dinding utara Eiger yang sulit. Ia berhasil menggapai puncak setinggi 13.400 kaki di Bernese Alps, Swiss.

Selain seorang petualang, Harrer ternyata seorang penulis. Salah satu buku pengalaman dan perjalananannya : “Seven Years in Tibet” menjadi salah satu buku laris saat pertama kali diluncurkan tahun 1954.

Kisah perjalanannya yang paling dramatisir, mungkin adalah saat ia memutuskan bergabung dalam tim Jerman yang akan menaklukkan puncak dunia ; Nanga Pharbat. Puncak setinggi 26.000 kaki di Pakistan sekarang. Harrer meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung anak pertamanya yang berusia delapan bulan pada tahun 1938!

Anda yang juga mengenal Harrer melalui biografi atau buku-bukunya, mungkin bisa tidak sependapat dengan saya. Tapi pendapat saya, Harrer adalah seorang pribadi keras kepala, egois dengan pikiran yang selalu dipenuhi obsesi-obsesinya sendiri.

Usia Harrer saat mengawali ekspedisi Nanga Pharbat-nya adalah 26 tahun. 5 tahun lebih muda dari saya saat menuliskan cerita ini. Saya jadi berandai-andai berada dalam posisi Harrer saat itu. Kebetulan juga, kami sama-sama memiliki seorang istri yang sedang mengandung anak pertama berusia 8 bulan! Prediksi dokter, anak saya sama dengan anak Harrer, laki-laki…

Sekarang, saya coba berada dalam posisi Heinrich Harrer di tahun 1938 :

Lokomotif uap sudah menunggu di stasiun kereta api kota Berlin. Siap memberangkatkan tim ekspedisi Jerman untuk menaklukkan puncak dunia ; Nanga Pharbat. Ini bukan sekedar petualangan. Tapi lebih pada prestise Negara. Negara dari bangsa Arya yang selalu mengklaim diri sebagai ras paling unggul di dunia! Saya, walaupun keturunan Austria, sudah dianggap sebagai bagian Arya karena berdomisi di Negara berpaham Naziisme itu.

Istri saya, Khatarina Haarhaus bersama Rolf –calon anak saya- yang berusia 8 bulan dalam kandungan, ikut mengantarkan kepergian ini. Entah sudah beberapa kali ia berusaha mencegah agar saya tidak ikut bergabung dalam tim. Tapi keinginannya jelas sia-sia.

Saya sudah berhasil menjadi yang pertama menaklukkan dinding utara pegunungan Eiger yang terkenal sulit. Berhasil menggapai puncak setinggi 13.400 kaki di Bernese Alps, Swiss. Nanga Pharbat yang dikenal sebagai atap dunia, adalah obsesi tertinggi saya. Tawaran kesempatan itu sekarang ada di depan mata!

Memang, ini sebuah kondisi yang sulit. Pergi sekarang untuk menggapai Nanga Pharbat atau melihat dengan sukacita kehadiran Rolf ke dunia. Saya pilih yang pertama ; Nanga Pharbat! Saya masih bisa bertemu Rolf sepulang dari sana.

“Ini keputusan akhirmu, Harrer?” Khatarina separuh putus asa saat menanyakan hal itu untuk yang terakhir kalinya.

“Ya, Nanga Pharbat adalah sebuah obsesi besar. Pulanglah!” saya terpaksa mengatakan ini. Obsesi Nanga Pharbat tidak bisa dibuang begitu saja. “Kapan anak ini akan lahir?’

“Saat kau berada di pos I”.

“Baiklah, tiga bulan dari sekarang saya pasti kembali”.

Kemudian, dari kejauhan di balik jendela lokomotiv yang sekarang kunaiki, Khatarina berjalan menjauh. Sesekali ia terlihat sesenggukan sambil menyeka air matanya. Saya tidak pernah tahu bahwa setelah momen ini, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa kembali menemuinya bersama Rolf. Itu juga dalam suasana yang sudah sangat jauh berbeda!

—————————————-
Satu bulan lewat 5 hari dari saat keberangkatan.

Tim saya yang beranggotakan 5 orang ditambah 4 man supply dari warga setempat sudah berjalan 6 jam dari posko pertama menuju puncak Nanga Pharbat. Jalur yang kami lalui sekarang adalah jalur batu dengan kemiringan 45 derajat. Peter Aufschnaiter, rekan saya yang Jerman asli sekaligus kepala tim ekspedisi, bertindak sebagai leader. Kami tidak menerapkan system pengamanan berkelompok menggunakan tali karena menganggap kemiringan ini bisa diatasi dengan mudah.

Tapi, apa lacur. Ini mungkin jadi pertanda awal kegagalan kami. Saya terpeleset dan harus terbanting belasan meter ke bawah. Semua rasanya gelap. Saya baru sadar ketika merasa pergelangan kaki terasa sakit sekali. Ada darah segar yang mengucur….

Musibah lain terjadi. Badai salju menghambat perjalanan kami. Peter memutuskan agar tim kembali dulu ke posko satu sampai batas waktu yang tidak bisa diperkirakan. Menunggu saat badai diperkirakan sudah mereda. Ini jelas jadi momen yang tidak menguntungkan. Saya menentang keputusan Peter dan meminta anggota tim lain untuk tetap melanjutkan perjalanan. Keinginan itu disanggah Peter dengan ancaman saya akan dikeluarkan dari tim jika terus membangkang.

Terbayang lagi wajah puncak Nanga Pharbat di kejauhan, bergantian dengan wajah mungil Rolf. Ya, Rolf sekarang mungkin sudah lahir ke dunia. Saya tidak bisa membayangkan harus kembali menunggu di posko satu sampai batas waktu yang tidak jelas. Pilihan sudah saya ambil untuk bisa sampai di atap dunia ; Nanga Pharbat. Meninggalkan Khatarina, meninggalkan si kecil Rolf – Rolf Harrer! Tapi kini…

Petaka buruk itu akhirnya benar-benar terjadi. Saat tim kami tiba di posko satu, sepasukan Inggris bersama pasukan Ghurka-nya sudah menanti. Perang di Eropa ternyata benar-benar meletus. Gesekan politik antara Jerman bersama Nazi-nya dan sekutu inggris melahirkan perang. Awal perang dunia II….

Imbas yang terjadi, warga negara musuh yang berada di tanah musuh mereka, akan jadi tawanan perang. Termasuk juga tim ekspedisi Jerman ini. Kami kemudian dibawa ke India. Rasanya, Nanga Pharbat semakin jauh saja. Begitu juga dengan Khatarina dan Rolf! Tapi, Obsesi itu tidak bisa dimatikan begitu saja.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 28 Mei 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search