(Cuma Kilas Balik) Pembelahan Sel ala PKB

PKB itu saya ibaratkan seperti sel. Dari satu sel induk, membelah jadi dua sel baru. Yang satu hidup, satunya mati. Sel yang hidup kemudian membelah lagi. Yang satu hidup, yang lainnya mati. Turunan sel ketiga PKB, saat ini juga sedang dalam proses pembelahan lagi. Tapi belum tahu mana yang hidup, mana yang mati. Apa ada yang salah dengan PKB?

Padahal kalau dilihat awal pendirian PKB, basis dan cikal bakal partai itu bisa dibilang cukup kuat, Nahdlatul Ulama (NU). Saya bukan simpatisan, bukan kader, apalagi pengurus partai PKB. Jadi mohon maaf jika ada yang salah dalam pemaparan berikut. Saya cuma ingin memberi satu sudut pandang dari teropong kacamata orang di luar PKB.

Jika dirunut dari perspektif historis, sejarah NU yang lahir pada 31 Januari 1926 ini adalah bagian integral dari sejarah agama, tradisi, dan masyarakat Jawa yang dinamis, kenyal, dan penuh khasanah sosial-kultural. Bahkan sejak abad ke-20, sejatinya sejarah Jawa tak bisa dilepaskan dari peran organisasi Islam yang dipimpin KH Hasyim Ashari, kakek Abdurrahman Wahid.

Sebelum sampai dalam era belah membelah seperti sekarang, sebenarnya masih jelas dalam ingatan bagaimana partai yang memiliki basis awal warga Nahdliyin itu berdiri.  Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser keprabon sebagai akibat desakan arus reformasi yang kuat. Sehari setelah peristiwa itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air.

Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam. Ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan. Nama terbanyak yang diusulkan adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan Bangsa.

Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH M Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin. PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.

Namun begitu, ada beberapa kalangan NU yang langsung mewadahi keinginan warga Nahdliyin yang ingin punya partai baru berbasis NU. Akhirnya berdirilah partai seperti  Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon.

Menyikapi arus euphoria untuk bisa ikut dalam politik seperti sebelumnya, PBNU akhirnya mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah tanggal 3 Juni 1998. hasilnya membentuk Tim Lima yang diberi tugas memenuhi aspirasi warga NU.

Tim Lima ini diketuai oleh KH Ma’ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU).

Terlalu panjang kalau saya harus menjabarkan detil demi detil sampai terbentuknya PKB. Yang jelas pada tanggal 22 Juni 1998 (hampir 10 tahun dari sekarang, pen)  Tim Lima mulai mendapat kerangka untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Dari sanalah awal terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa. Peran Gus Dur tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Saya menyebut PKB awal ini sebagai sel induk.

Dalam perjalanan awalnya, partai ini cukup mendapat simpati massa. Pendukungnya juga tidak hanya warga Nahdliyin semata. Itu bisa terjadi karena walaupun partai Islam, PKB menerapkan sistem yang lebih nasionalis. Apalagi di bawah Gus Dur yang memang terkenal sebagai seorang demokrat. Payung PKB sejak awal berdiri terus membesar. Apalagi untuk basis massa di Jawa Timur.

Matori Abdul Jalil (Alm) jadi ketua DPP PKB. Tak bisa disangkal, hal itu bisa terjadi karena peran seorang Gus Dur yang ada di belakangnya. Awalnya semua lancar. Konsolidasi antar pengurus di pusat maupun di daerah juga cukup solid. Termasuk juga penggalangan simpatisan baru untuk memperkuat di basis akar rumput. Dengan Nakoda PKB di bawah Matori juga, Gusdur akhirnya bisa sampai di singgasana Presiden dalam persaingan sengit Sidang Istimewa MPR hasil Pemilu tahun 1999.

Tapi suhu politik cepat berubah. Konflik internal justru terjadi antara Matori dan Gus Dur. Saya tidak mau membahas terlalu dalam tentang penyebabnya. Yang jelas, dampaknya jadi besar. Muncul dua kubu. Kubu Gus Dur dan kubu Matori Abdul Jalil.

Fase pertama pembelahan sel  ala PKB terjadi. Gus Dur yang memajukan Alwi Shihab sebagai jagoan barunya, memenangkan konflik internal di tubuh PKB. Selanjutnya, Matori yang saat itu sudah menjabat sebagai Menteri Pertahanan, tenggelam bersama PKB versinya. PKB Matori akhirnya benar-benar hilang bersama dengan wafatnya beliau karena penyakit yang didera. Satu sel hasil pembelahan akhirnya mati…

Masalah ternyata tidak berhenti sampai di sana saja. Saya jadi teringat dengan cerita Ken Arok dengan keris buatan Empu Gandring. Kutukan Gandring terhadap Arok yang membunuhnya dengan keji terus berlangsung hingga tujuh turunan. “Kutukan” seperti itu kelihatannya juga mendera tubuh PKB. Entah apa sebabnya.

Alwi Shihab yang digadang-gadang sebagai palang terdepan Gus Dur, ternyata malah berseteru dengannya. Muncul lagi dua kubu PKB. Kubu Gus Dur dan kubu Alwi Shihab. Lagi-lagi jargon  lama : “Jagoan Pasti Menang” terbukti!

Fase kedua pembelahan sel ala PKB terjadi lagi. Alwi Shihab bersama PKB versi-nya tersingkir dan tidak terlegitimasi. Dalam fase ini, Gus Dur sudah punya jagoan baru lagi.
Tidak jauh-jauh, Gus Dur menjagokan keponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar untuk memimpin sel baru  PKB hasil “pembelahan sel” sebelumnya.

Analisa saya (tapi, sebenarnya saya juga tidak yakin, pen), Gus Dur berusaha memperkecil proses pembelahan PKB kembali dengan memajukan orang yang sudah sangat dipercayainya. Siapa lagi kalau bukan orang yang dekat dengannya dan masih ada hubungan darah. Muhaimin Iskandar!  Saya membayangkan Gus Dur berpikiran  bahwa kontrol organisasi bisa lebih mudah dan minim gesekkan di bawah Muhaimin yang notabene keponakan sendiri. Masak keponakan berani melawan uwak?

Tapi, “pembelahan” itu terjadi kembali. Fase ketiga pembelahan sel ala PKB kali ini melibatkan uwak dan keponakan sendiri. Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Kali ini, entah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi saya masih percaya jargon di atas : “Jagoan Pasti Menang”. Dalam konteks ini saya menempatkan Gus Dur sebagai jagoannya. Terserah anda menyebut Muhaimin Iskandar sebagai apa.

Dua kubu kemudian sama-sama menggelar Musyawarah Luar Biasa (MLB). Ini juga terjadi dalam proses pembelahan sebelumnya. MLB PKB kubu Gus Dur pada 29-30 April 2008 di Bogor. Hasilnya: penetapan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum DPP PKB. Ia didampingi “putri mahkota” Gus Dur, Yenny Zanuba Chafsah.  Kedua, MLB PKB kubu Muhaimin  Iskandar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara 2 Mei 2008 lalu. Muhaimin berduet dengan politisi PKB asal Riau, Lukman Eddy yang sejak awal ditunjuk jadi menteri tidak pernah dapat restu resmi dari Gus Dur.

Kenapa Ali, bukan Yenny? Analisa saya (yang lagi-lagi belum tentu benar, pen), Ali lebih mumpuni dalam dunia politik daripada Yenny. Secara kedekatan, Ali Masyur juga sangat dekat dengan sang pendiri partai berlambang bumi, 9 bintang dengan latar warna hijau tersebut. Pertimbangan lain, Yenny adalah seorang perempuan. Walaupun Gus Dur seorang yang demokrat, tidak bisa dipungkiri bahwa Basis terbesar PKB adalah warga Nahdliyin yang notabene Islam.

Secara umum saya juga melihat proses pembelahan sel ala PKB kali ini, bukan sekedar pembelahan biasa seperti sebelumnya. Saya menyebutnya sebagai pembelahan sel ala keluarga besar Hasyim Ashari (pendiri Nahdlatul Ulama, pen).  Yang benar, yang salah atau yang memang dan yang kalah, masih harus kita tunggu sama-sama. Hasilnya sudah pasti absurd. Maksud saya, yang benar bisa jadi bukan benar secara hakiki dan yang kalah sebenarnya mungkin tidak kalah di hadapan Tuhan..

Umur PKB baru memasuki satu dekade pertama. Tapi konflik yang terjadi justru kian  rumit. Di sebuah situs berita yang membahas tentang konflik PKB, ada analisa  yang sempat saya baca. Konflik internal di tubuh PKB masih akan terus terjadi selama Gus Dur masih hidup. Wah, apakah dengan begitu pembelahan masih akan terjadi lagi? 

Sampai berapa pembelahan PKB bisa mapan? Ataukah  PKB tidak akan pernah mapan dan terus membelah? Jangan-jangan dalam proses pembelahan yang kesekian kalinya, ternyata tidak ada satu sel hasil pembelahan pun yang hidup. Betapa mirisnya jika memang begitu.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 3 Juni 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search