Separuh Lelaki

GOLONGAN waria atau wanita pria. Saya lebih senang menyebutnya separuh lelaki. Ada yang sudah dapat menerima. Kemudian berbaur dalam kehidupan sosial sehari-hari. Banyak lainnya tidak. Alasannya karena status mereka merupakan suatu penyimpangan seksualitas. Lebih jauh, karena dilarang agama.

Hampir semua kitab suci tidak ada yang menyebut kehadiran kelompok itu sebagai suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Tapi kenyataannya, mereka ada dan memiliki profesi beragam di masyarakat. Sebagian kecilnya yang kurang beruntung, ada juga yang menggeluti profesi sebagai penjaja cinta jalanan.

Hampir di setiap kota, kelompok minoritas seperti itu selalu ada. Kadang, kita terkamuflase oleh dandanannya yang cantik seperti perempuan. Yang lain, tetap bergaya pria. Walau di baliknya tersembunyi sifat wanita.

Soal ini, saya punya cerita yang kadang membuat saya jadi senyum-senyum sendiri. Kadang juga sedih.

———————

BICARA soal kelompok separuh lelaki ini, hampir di banyak kota besar sebenarnya selalu ada komunitasnya. Dari yang golongan high class sampai kelompok jalanan.

Di Batam, tempat saya tinggal dan bekerja sekarang, komunitasnya juga ada. Kebanyakan tergabung dalam kelompok Gaya Batam (bentuk halus dan plesetan dari kata Gay, pen).

Seorang mantan ketuanya yang sekarang sudah almarhum karena virus HIV yang diderita, pernah bertutur lumayan panjang pada saya. Tidak etis jika saya menyebutkan namanya. Jadi kita panggil saja sang ketua.

Orangnya jauh dari kesan cantik. Penampilan sehari-harinya juga tidak glamour dan menor. Tidak seperti teman-temannya yang biasa mangkal di jalanan. Sang ketua memang cenderung lebih ekslusif.

Penampilannya lebih pria walau sebenarnya berhati wanita. Anggotanya tersebar di seluruh Batam. Profesi kerjanya juga beragam. Ia ingin membangun imej yang positif tentang keberadaan kelompoknya.

Saban akhir tahun dalam peringatan hari AIDS sedunia, ia juga aktif mengkampanyekan tentang bahaya penyebaran virus HIV dan AIDS, walau akhirnya harus meninggal karena penyakit itu. Tragis? Mungkin.

Menurut sang ketua, secara garis besar ada dua kelompok separuh lelaki yang bisa dibedakan.

Pertama, kelompok yang secara harafiah nyata sudah benar-benar kelihatan sebagai wanita. Baik dandanan, cara bicara maupun pembawaannya.

Yang lain, tersamar oleh penampilan sehari-hari sebagai pria. Orang awam menyebutnya sebagai kelompok gay. Mereka yang tersamar, sejatinya lebih bisa diterima di kalangan masyarakat, bisa bergaul luas dan jauh dari pandangan miring. Catatannya, sisi gelap hidupnya, hanya diketahui segelitir orang saja.

Mereka bisa saja ada di sekitar kita. Bisa rekan kerja, tetangga atau mungkin saudara kita sendiri.

Terkadang juga, kita bahkan tidak menyadari bahwa mereka itu sebenarnya berbeda. Jika kemudian akhirnya terbuka, orang akan berkata bahwa itu merupakan penyimpangan seksualitas. Yang lain lebih memilih menyebut sebagai masalah seksualitas.

Bagi saya itu cuma penyebutan saja. Jika mau dan sungguh-sungguh, penyimpangan kan bisa diluruskan. Masalah bisa ditangani.
—————–

SEMENTARA kelompok pertama, biasanya menjalani kehidupan yang jauh yang lebih repot. Harus menghadapi cibiran dan pandangan sebelah mata masyarakat. Aktifitas kerjanya juga terbatas. Ada yang bekerja di salon-salon. Tapi banyak juga yang beraktifitas di jalan sebagai penjaja cinta.

Di Batam, kelompok pertama ini sering menggunakan paling tidak tiga lokasi sebagai tempat mangkal sekaligus mencari nafkah. Daerah Batu Ampar mungkin bisa dikatakan yang terlama.

Entah kapan dimulainya. Yang jelas sejak lebih dari lima belas tahun lalu kawasan itu sudah sangat terkenal sebagai lokasi mangkal kelompok Separuh Lelaki yang siap memberikan layanan cinta kilat. Lokasi lain yang tumbuh belakangan adalah kawasan sekitar patung kuda Sungai Panas dan simpang jam Baloi.

Jika kondisi normal, mereka biasa beroperasi sejak pukul 21.00 WIB hingga menjelang dini hari. Dandanan menor dan penampilan seksi bak wanita sejati, memang jadi senjata andalan mereka untuk memikat pelanggan. Karena tuntutan kerja, saya sempat mengenal beberapa orang di antaranya.

Contohnya Cindy. Si montok asal Medan yang biasa mangkal di jalan depan halte Batu Ampar. Kalau malam, aktivitasnya memang lebih banyak dihabiskan di sana. Sementara jika siang, ia lebih memilih tinggal di kamar kost-kostan di daerah Pelita. Bergabung dengan beberapa rekan sejenis lainnya.

Walau terlahir sebagai lelaki, perilaku Cindy condong feminin. Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai wanita, ia rela memperbesar ukuran payudara hingga mendekati ukuran normal wanita. Sementara karena keterbatasan dana, alat vital yang dimilikinya hingga sekarang masih orisinil.

Yang agak eksktrim mungkin Julia, rekan Cindi. Selain rela memperbesar ukuran payudara, Juli juga telah melakukan operasi untuk mengganti alat vital asli yang dimilikinya!

Dalam menjalani profesi penjaja cinta, Batam ternyata hanya merupakan lokasi perlintasan sementara saja. Golongan ini sebenarnya lebih senang menjalani profesi tersebut di negeri orang.

Coket, suatu tempat di Malaysia, dianggap merupakan surga bagi golongan ini. Alasannya, apalagi jika bukan tarif. Pelayanan yang diberikan mereka bisa berlipat dan dihargai jauh lebih tinggi dari penghasilan di negeri sendiri.

Agnes, seorang separuh lelaki lainnya yang masih berusia belia, malah sudah melanglang buana ke banyak kota. Termasuk daerah Coket Malaysia.

Agnes yang baru menginjak usia awal 20-an tahun, terpaksa jadi penjaja cinta karena dibuang keluarga. Penyebabnya apalagi kalau bukan label penyimpangan yang ada dalam dirinya.

Ia seperti juga yang lainnya. Cuma menjadikan Batam sebagai kota transit saja.

Di Coket, sebenarnya tidak selalu menawarkan hal yang menggiurkan. Aturan dan persaingannya ketat. Yang terjadi, mereka biasanya selalu tertangkap. Kemudian “dilempar” kembali ke Batam. Tapi itu tidak membuat mereka jera. Sekali ada waktu dan kesempatan, mereka selalu akan kembali ke sana.

Ini seperti rotasi alam saja. Kelompok separuh lelaki dari jenis yang ini, biasanya selalu silih berganti kehadirannya. Jika ada yang sudah berhasil berangkat ke Coket untuk meraup ringgit di sana, tempatnya digantikan yang lain di sini.

Terus begitu hingga tidak terpakai lagi atau zaman sudah melindas mereka.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 11 Juni 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search