Kampung Kardus Sei Tering

KAMPUNG Sei Tering di Batam, letaknya strategis karena tepat berada di tengah-tengah areal industri berat Batu Ampar. Tapi, di era 70-an silam, lokasinya termasuk daerah pinggiran. Orang dulu mengenal lokasi itu dengan nama Kampung Kardus. Soalnya, rumah warganya dibuat menggunakan kardus sisa hasil produksi perusahaan di sekitarnya. Penduduknya juga heterogen karena terdiri dari kaum buruh pabrik dari berbagai daerah di Indonesia.

Kalau anda warga Batam, atau kebetulan berada di Batam. Kemudian punya waktu senggang, tidak ada salahnya mampir ke lokasi kampung Sei Tering. Lokasinya ada di kawasan industri berat Batu Ampar. Dilihat sepintas, memang tidak jauh berbeda dengan pemukiman padat penduduk lainnya.

Jalan menuju lokasi masih tanah. Sudah agak lumayan karena diratakan. Tapi, kalau panas bisa menimbulkan debu yang beterbangan kian kemari. Sementara jika hujan jadi lebih parah. Jalan yang belum diaspal, jadi mirip sawah. Kalau melihat topografinya, daerah ini dulunya rawa-rawa. Pandangan itu tidak salah. Beberapa rumah memang masih ada yang dibangun dengan konsep panggung di atas rawa-rawa yang tersisa. Karena perkembangan zaman, sebagian besar rawa-rawanya sudah ditimbun. Di atasnya didirikan rumah-rumah konvensional yang sudah tidak menggunakan tiang panggung lagi.

Kampung Sei Tering, masuk dalam kelurahan Tanjung Sengkuang kecamatan Batu Ampar. Menurut cerita orang-orang tua di sini, lokasi itu mulai didiami warga pada awal tahun 1970-an, saat Batam mulai berkembang jadi kota industri. Berbeda dengan kampung-kampung tua lainnya di Batam yang rata-rata banyak didiami oleh masyarakat suku Melayu atau Bugis Selayar, penduduk di kampung Sei Tering lebih Heterogen. Maklum, saat awal-awal didiami, penduduknya rata-rata merupakan buruh pabrik yang merupakan warga pendatang dan bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di Batu Ampar.

Yang sempat menjadikan daerah ini unik adalah penyebutan istilah Kampung Kardus oleh orang-orang di sekitarnya pada era 70-an. Ya, kampung Sei Tering zaman dulu memang lebih dikenal dengan nama begitu. Alasannya sederhana saja. Dulu, sebagian besar rumah di sini menggunakan kardus sebagai dinding rumahnya.

Cerita seorang warga bernama Rokayah, selain warga asli yang bekerja sebagai nelayan, banyak juga pekerja dari perusahaan yang eksis beroperasi di kawasan industri tertua Batu Ampar juga tinggal di lokasi itu.

Dulu, mereka lebih mudah mendapatkan kardus sisa produksi perusahaan ketimbang bahan baku rumah seperti papan atau batako. Maklum, kondisi Batam zaman dulu memang beda 180 derajat dibandingkan sekarang. Jadi, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mendirikan rumah kardus. Akhirnya daerah ini terkenal dengan nama kampung kardus selama hampir dua dasarwarsa awal hingga akhir 80-an.

Rumah-rumah kardus zaman dulu, sebenarnya tidak layak disebut rumah. Bentuknya seperti pondokan-pondokan kecil yang didirikan di pinggir rawa-rawa. Untuk tiang penyangga rumah, warga kampung kardus biasanya menggunakan kayu hutan atau batang pohon pinang. Atapnya menggunakan lembaran aspal hitam.

Rokayah juga merupakan salah satu warga yang sempat merasakan tinggal di rumah kardus. Menurutnya, saat itu adalah masa-masa sulit baginya dan keluarga. Bahan kardus bukan material bangunan yang permanen atau tahan lama. Jadi setiap beberapa bulan sekali, kegiatan “renovasi” rumah untuk mengganti dinding rumah kardus harus dilakukan. Dinding kardus cepat lapuk karena terpanggang matahari atau diguyur hujan. Suaminya-lah yang biasanya rajin membawa kardus-kardus “baru’ dari perusahaan tempatnya bekerja untuk mengganti “dinding” rumah mereka yang lama.

Sekarang semuanya memang sudah banyak berubah. Daerah yang dulunya rawa dan terpencil, malah strategis karena dikelilingi banyak perusahaan industri. Rumah warganya rata-rata juga banyak yang permanen dan terbuat dari beton. Mereka sudah tidak tinggal di atas rawa-rawa. Rawa-rawanya sudah ditimbun dengan jalan swadaya oleh mereka sendiri seiring dengan membaiknya ekonomi dan berkembangnya Batam.

Sekarang, lokasi itu juga banyak dilirik oleh para investor untuk dikembangkan sebagai lokasi usaha mereka. Modal mereka adalah surat penetapan lokasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki Otoritas atas lahan di seluruh Batam, Badan Otorita Batam. Hal itulah yang rentan menimbulkan konflik horizontal. Karena di lain pihak, rata-rata warga yang tinggal di kampung Kardus Sei Tering, tidak punya bekal surat legalitas tanah yang kuat kecuali penetapan lokasi itu sebagai salah satu daerah kampung tua oleh pemerintah daerah setempat serta selembar surat kepemilikan zaman dulu dari seseorang yang pertama kali membuka wilayah itu sebagai daerah pemukiman.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 8 Juli 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search