Menanam Bibit untuk Masa Depan
SAYA kagum dengan cara beberapa orang Jepang mengajari anak mereka untuk cinta lingkungan. Terutama hutan bakau atau Mangrove yang di kalangan internasional sudah begitu dikenal sebagai salah satu penghasil oksigen yang penting untuk kehidupan. Bukan karena jauhnya jarak perjalanan untuk mendatangi salah satu negara dengan lokasi hutan bakau terluas di dunia, yaitu Indonesia. Tapi karena upaya gigih mereka yang berusaha mengenalkan langsung habitat lingkungan tersebut yang masih alami, menjelaskan fungsinya bagi kehidupan serta dampaknya jika hutan bakau makin menyusut atau punah. Dan yang terakhir, mereka mengajari cara bagaimana membuat hutan bakau untuk tetap bisa lestari dengan cara menanamnya kembali.
Juni 2008 lalu, saya ikut dalam kegiatan puluhan warga negara Jepang yang tergabung dalam program Project Mangrove in Indonesia. Misinya adalah penyelamatan hutan bakau di negara kantong-kantong habitat-nya. Salah satunya adalah Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang yang ditumbuhi hutan bakau. Sebuah data yang dimiliki kelompok itu menyebut panjang hutan bakau di Indonesia mencapai 90 ribu kilometer dan menjadi yang terpanjang pertama di dunia! Tapi sayang, hanya sekitar 30 persennya saja yang masih utuh. Sisanya, kalau tidak kena proyek reklamasi pantai, ya habis dibabat untuk bahan produksi.
Misi yang dibawa mereka adalah misi sosial untuk lingkungan hidup. Soal dana mungkin tidak menjadi masalah karena rata-rata yang tergabung dalam proyek itu merupakan pengusaha kelas menengah hingga atas di negara itu.. Yang jadi masalah mungkin hanya soal waktu. Makanya tidak heran, mereka baru bergerak saat musim liburan. Karena selain kalangan dewasa, mereka juga membawa serta anak-anaknya. Beberapa yang lain malah mengikutsertakan orang tua mereka yang sudah renta.
Akira Yamamoto, pria Jepang yang jadi pimpinan rombongan dalam proyek ini mengaku kegiatan sosial lingkungan yang dilakukan bersama puluhan rekan dan kerabatnya itu, awalnya dilandasi rasa prihatin terhadap kondisi lingkungan hutan bakau di Indonesia. Akira mengaku sering bolak-balik Tokyo – Singapura – Jakarta untuk urusan usahanya. Dalam setiap perjalanan dari Singapura menuju Jakarta, ia sering melihat gugusan pulau-pulau yang sudah jarang ditumbuhi tanaman Mangrove.
Di lokasi yang lain, ia malah melihat hutan bakau yang dibabat habis untuk kepentingan reklamasi industri. Padahal dari struktur tanah, daerah ini sangat cocok dan menjadi habitat hidup yang paling baik dari tanaman bakau. Selama ini, selain sebagai usahawan, Akira juga cukup aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Dari hasil risetnya ia mempertoleh data.
Ternyata bukan di wilayah Kepri saja yang kondisi hutan bakaunya memprihatinkan. Tapi di seluruh Indonesia. Dari total jumlah area hutan bakau yang dimiliki negara ini, hanya bersisa 30 persen saja yang masih perawan dan belum dijamah. Padahal, hutan di Indonesia termasuk hutan bakau merupakan penyumbang terbesar oksigen untuk dunia selain di Amerika Latin yang juga masih punya banyak hutan perawan.
Di Indonesia, kegiatan kelompok ini dikoordinir oleh seorang Jepang yang sudah cukup lama tinggal di Indonesia dan juga lumayan fasih berbahasa kita.
Namanya Naoto Okune. Okune mengelola lembaga internasional YL Invest dan fokus terhadap kelestarian dan keberadaan hutan-hutan bakau di beberapa propinsi Indonesia. Kerjasama yang dilakukan dengan beberapa pemerintah daerah adalah dengan sistem pinjam kelola lahan. Maksudnya, YL Invest mendapat alokasi lahan pantai untuk ditanami bibit bakau dari pemerintah setempat. Tenggang waktunya 30 tahun. Dalam waktu itu, mereka akan menanam, merawat hingga akhirnya lahan yang diberikan berubah jadi hutan bakau yang siap diserahkan kembali ke pemerintah daerah setempat untuk dilestarikan.
Tidak ada dana yang harus dikeluarkan pemerintah daerah. Seluruhnya menjadi tanggungan lembaga itu yang mendapat kucuran bantuan dana dari sejumlah badan dunia dan donator yang peduli dengan kelestarian lingkungan hidup. Kata Okune, proyeknya itu adalah untuk kelangsungan hidup anak cucu masyarakat dunia yang saat ini sudah dibayangi ketaakutan tentang pemanasan global (global warming), menipisnya lapisan ozon serta berkurangnya produksi oksigen untuk dunia.
Karena rombongan “Project Mangrove in Indonesia” difasilitasi Okune, maka tidak heran yang jadi tujuan aksi sosial lingkungan kelompok itu adalah area yang jadi tanggung jawab YL Invest untuk dikelola jadi hutan bakau. Salah satu yang jadi tujuan mereka adalah sebuah pulau kosong yang bisa ditempuh dengan perjalanan laut menggunakan perahu bermesin tempel dari daerah Dapur 3 pulau Rempang di propinsi Kepri. Jarak tempuhnya cuma 20 menit saja.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan karena rata-rata mereka sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Termasuk juga sepatu khusus untuk berjalan-jalan di tanah berlumpur. Bentuknya lucu dan memiliki leher sepatu yang panjang hingga lewat di atas mata kaki. Sangat efisien untuk dipakai dan dapat menghindarkan kaki dari menginjak karang tajam atau hewan laut seperti ikan lepu yang memiliki bisa mematikan. Hampir seluruh anggota rombongan ternyata sudah mempersiapkannya untuk digunakan saat berada di lapangan. Sementara saya bersama beberapa rekan lainnya yang Indonesia, harus mau bertelanjang kaki saja karena tidak punya sepatu yang begitu. Tapi, itu bukan masalah. Saya toh sudah cukup terbiasa berjalan-jalan di tanah berlumpur sebelumnya.
Oh ya, dalam kelompok “Project Mangrove In Indonesia”, saya mengklasifikasikan pesertanya sebagai berikut :
Pertama, adalah kelompok dewasa usia produktif. Mereka inilah yang jadi anggota aktif rombongan dan tentunya yang memiliki inisiatif untuk melakukan perjalanan sosial lingkungan penyelamatan hutan bakau di Indonesia. Pandangan mereka tentang kelestarian lingkungan juga sudah lebih maju. Mereka menilai, tetap lestarinya hutan bakau di Indonesia, tidak hanya menguntungkan warga negara Indonesia saja. Tapi juga warga dunia, termasuk Jepang Hutan di Indonesia khususnya mangrove merupakan salah satu sumber produksi oksigen untuk dunia yang harus dipertahankan.
Kedua, adalah kelompok dewasa usia senja. Mereka ikut dalam rombongan karena hubungan keluarga dengan kelompok pertama. Kelompok kedua ini juga punya minat yang tinggi terhadap lingkungan karena dasar kecintaan..
Ketiga, adalah kelompok anak-anak. Saya menilai, mereka ikut dalam rombongan karena ingin sekedar jalan-jalan. Tapi, penjelasan dan pengertian yang diberikan masing-masing orang tua tentang kelestarian lingkungan cukup menjadi hal yang mujarab untuk membuat mereka tetap bersemangat. Ya bersemangat. Saya memang melihat anak-anak Jepang yang bersemangat untuk ikut kegiatan ini.
Kami akhirnya sampai di sebuah pulau kosong tanpa penghuni yang berjarak 20 menit perjalanan laut dari pelantar di Dapur 3 pulau Rempang. Sebagian besarnya sudah tertutup dengan tanaman bakau. Tapi, masih ada beberapa puluh hektar lagi yang masih berupa tanah lumpur kosong. Di sini, saya melihat orang-orang tua Jepang yang senang bisa mengenalkan lingkungan yang berbeda dari lingkungan sehari-harinya yang sangat megapolitan pada anak-anak mereka. Mereka juga antusias mengenalkan tentang habitat hidup tanaman bakau Indonesia pada anak-anaknya, membimbing, menjelaskan fungsi dan juga dampak jika tanaman bakau hilang atau punah dari bumi.
Di tanah berlumpur dengan sinar matahari yang menyengat terik, saya jadi senyum-senyum sendiri saat melihat mereka. Entah sadar atau tidak, saya mulai membanding-bandingkannya dengan gaya beberapa rekan yang juga punya anak hampir sebaya. Saya tidak menyalahkan mereka yang lebih senang mengenalkan budaya berbau glamour dan secara tidak langsung mengajarkan anak-anaknya berpola hidup konsumtif dengan sering mengajak anak-anak berwisata di mall. Mungkin mereka punya alasan sendiri melakukan hal-hal seperti itu. Tapi, saya punya angan-angan untuk membawa anak saya pergi ke tempat-tempat seperti ini, kelak. Mengenalkannya sejak dini dengan lingkungan dan mengajari cara mencintainya…
Oh ya, dalam perjalanan ini, rombongan kami juga membawa ratusan bahkan mungkin ribuan bibit tanaman bakau untuk ditanam. Bibitnya kami dapatkan dari hasil budidaya para nelayan di sekitar lokasi. Para nelayan senang karena kami ikut membantu mereka melestarikan tanaman-tanaman bakau di sekitar perairan itu.. Bila tanaman-tanaman bakau kembali lebat, mereka berharap hasil tangkapan di laut akan kembali berlipat. Jika tidak untuk saat ini, mungkin nanti untuk anak cucu di masa mendatang. Orang-orang Jepang itu juga senang karena mereka sudah punya andil untuk menjaga dan berusaha melestarikan tanaman penghasil oksigen itu tetap bisa berproduksi cukup. Kalaupun kemungkinan terburuk tentang pemanasan global dan kemungkinan pengurangan jumlah oksigen di dunia benar-benar terjadi, mereka tetap punya harapan tanaman-tanaman bakau yang mereka tanam ini bisa punya andil untuk memberi suplai oksigen ke negaranya. Untuk mereka, untuk anak cucu mereka….
Semuanya memang masih sekedar harapan. Tapi, harapan yang disertai usaha akan lebih baik daripada hanya berpangku tangan. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika bibit tanaman-tanaman itu ternyata tidak bisa tumbuh dan jumlah hutan bakau semakin menyusut. Di lain pihak, kondisi bumi semakin tidak nyaman untuk didiami. Kelak anak dan cucu harus hidup dengan tabung-tabung oksigen yang dibeli untuk tetap bisa bertahan hidup. Tapi mudah-mudahan bukan begitu ending-nya.
(*)
Postingan ini pertama kali diunggah pada 16 Oktober 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com