Membaca ; Inspirasi & Keyakinan

(Tentang Seorang Kenalan) …

SAYA percaya membaca bisa membuka cara berpikir kita, menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Membaca juga bisa merubah arah pandangan kita terhadap sesuatu objek yang jadi sumber atau inspirasi pikiran. Tapi, saya juga percaya membaca bisa menjadikan kita sesuatu yang awalnya jauh dari bayangan kita sendiri. Merubah seluruh pola hidup sehingga kita sendiri tidak sadar telah menjadi orang yang sama sekali asing dari sebelumnya.

Untuk menjadi sarjana strata satu, seorang kenalan yang umurnya jauh di atas saya mengaku sampai harus “menghabiskan” 1000 lebih buku dan bahan referensi. Untuk hal itu ia melakukannya selama setahun penuh. Secara kasat mata, hasil akhir sebenarnya sama saja. Sama seperti sarjana-sarjana yang lain yang mungkin meraihnya dengan jalan pintas. Beli ijazah, pesan skripsi pada orang lain atau “sarjana” tembak 6 bulan yang memperoleh gelar dari “perguruan tinggi kelas jauh” yang banyak memberikan gelar instan.

Kenalan saya itu toh akhirnya memang dapat gelar S1 dan berhak mencantumkan singkatan gelarnya sebagai tambahan di depan nama. Sama dengan sarjana-sarjana yang lain. Oh ya, dia seorang sarjana teknik sipil yang dapat gelar Insinyur lebih dari 20 tahun lalu dari Universitas Indonesia. Untuk penentuan tema dan judul skripsi sebagai bahan proposal yang disusunnya dulu, kenalan saya itu ternyata sudah menghabiskan sekitar 100 buah judul buku.

Separuh jalan penyusunan skripsi, ia “menghabiskan” hampir 400 judul buku. Dan, akhirnya 1000 lebih judul buku dan bahan referensi ia “lalap” untuk jadi sarjana!

Usia kenalan saya itu sekarang sudah kepala lima lebih. Saya tanya bagaimana bisa ia melahap sedemikian banyak buku dan bahan referensi untuk bahan skripsinya itu? Apa tidak sulit dan malah membingungkan? Saya saja saat menyusun skripsi S1, “cuma” menggunakan tidak lebih dari 100 buah buku pegangan dan referensi.

“Tidak,” jawabnya.

“Wah, itu hebat. Tapi anda bercanda kan?”, Tanya saya.

“Tidak”.

Untuk menjelaskan pertanyaan saya itu, ia kemudian menjelaskan soal kemampuan membaca dan menyerap isi buku. Menurutnya kemampuan membaca dan menyerap isi sebuah buku dari tiap orang berbeda-beda.

“ Iya kalau itu saya tahu” sela saya.

Benar, berapa kemampuan anda dalam menyerap bahan bacaan setiap menitnya?” tanyanya.

“Tergantung, karena saya sendiri sebenarnya tidak pernah menghitung kemampuan membaca dan menyerap isi bacaan,” jawab saya.

“Anda seharusnya harus tahu. dari sana anda baru bisa mengetahui kemampuan dan mengukur pola berpikir anda” ujarnya lagi.

“Saya mampu membaca dan menyerap isi bacaan lebih dari 100 kata per menit”, katanya.

Saya terdiam. Dalam beberapa tema bahan bacaan yang agak “berat”, saya malah perlu mengulang kata-kata yang sebenarnya sudah terlewat dibaca untuk menyerap maknanya. Apalagi jika itu bahan bacaan saduran atau terjemahan asal luar negeri. Sel-sel kelabu otak saya memang tidak terlalu tajam untuk mencerna berbagai bahan bacaan dengan begitu mudahnya seperti dia.

Untuk menghabiskan satu judul buku saja misalnya. Sangat tergantung mood yang ada di kepala. Untuk urusan membaca, sebenarnya saya memang selalu membiasakan membaca “apa saja” setiap hari. Tapi, otak saya tidak bisa dipaksa untuk terus membaca sebuah tema jika isi kepala sedang tidak ingin. Yang terjadi, banyak buku di rumah yang baru saya baca separuh-separuh saja. Kadang, bahkan sering, saya membeli buku untuk kemudian hanya sebagai penghias rak buku. Baru setelah sebulan dan kadang setengah tahun, buku itu saya buka dan baca. Tapi jika sedang ingin, saya juga betah semalaman memelototi halaman demi halaman hingga tuntas terbaca seluruhnya.

Saya tidak menyangkal ucapannya. Ia memang orang yang “gila” baca. Sampai sekarang pun saya pikir ia masih meneruskan hobinya itu. Tapi jujur saja, ia bukan orang yang rapi. Bukunya berserak dimana-mana di dalam rumah!

Di meja ruang tamu, di meja kerja, ruang tengah hingga dapur!

Kebetulan memang tidak ada yang membantunya untuk membereskan buku-bukunya itu. kenalan saya itu memang masih seorang bujangan di usianya yang sudah menginjak kepala lima lebih. Jadi ia membereskan jika sedang sempat saja.

Hobi membaca, tidak hanya membuatnya jadi seorang yang expert di bidang sipil bangunan sesuai jurusan yang didalami saat kuliah. Tapi sudah melebar kemana-mana. Ia juga jago ilmu fengshui, hongshui termasuk tata letak dekorasi rumah (walau yang satu ini tidak benar-benar direalisasikan untuk rumahnya sendiri, pen). Dalam perjalanan hidupnya, ia juga seorang yang paham dalam ilmu ramal-meramal, pengobatan dan juga senang main kartu remi, terutama bridge. Ia menggabungkan seluruh ilmunya dalam penerapan sehari-hari! Menurutnya (ini yang sampai sekarang tidak bisa saya pahami, pen), semua yang dipelajari punya benang merah keterkaitan satu sama lain: Matematika, terutama ilmu ukur ruang atau geometri!

Untuk menjelaskan keterkaitannya, Ia harus menjelaskannya beberapa kali dengan hitungan-hitungan di atas kertas sampai saya mengangguk anggukkan kepala. Tapi, sampai sekarang sebenarnya saya tidak pernah mengerti. Terlalu rumit dan mbulet!

Kesenangannya yang lain adalah membaca dan mendalami berbagai kitab suci agama berikut buku-buku turunannya. Ia seorang Chinese. Agama yang dibawanya sejak kecil sebenarnya Nasrani. Tapi, jika sekarang ditanyakan apa kepercayaaannya, ia akan lebih banyak menjawab dengan senyum. Walau punya latar belakang Nasrani, ia cukup fasih saat membacakan surat pertama yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW, Al Alaq berikut terjemahan artinya. Ia juga cukup fasih menjelaskan konsep hidup Budha Gautama dan tujuan Nirwana dalam Wedha serta Hindu dengan Tripitaka-nya.

Oh ya, tentang status bujangan yang masih setia disandangnya, saya harus katakan hal itu juga tidak terlepas dari kegemarannya membaca. Selain hal-hal yang saya sebutkan tadi, kenalan saya itu punya ketertarikan tinggi terhadap komponen lain selain panca indera, yaitu indera keenam.

Saat berusia 30 tahun, ia bahkan sudah meramal tentang kematiannya sendiri di usia 33 tahun! Saat itulah ia memutuskan untuk tidak akan menikah karena hanya akan menimbulkan kesedihan bagi wanita yang akan jadi pasangan hidupnya. Pada kenyataannya, ia tidak meninggal. Ia mengaku hanya mengalami fase “hilang”.

Usia 33 tahun menjadi titik awal lagi dalam fase hidupnya. Saking heran dan bingungnya, ia akhirnya memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda selama beberapa tahun. Mendalami konsep lain tentang keyakinan.

Tapi, keputusannya untuk tidak menikah dan tetap hidup sendiri, tetap dijalaninya hingga sekarang ia memilih menetap di Batam. Ia juga masih setia dengan hobi membacanya.

Di kalangan beberapa anak jalanan, ia cukup dikenal. Sebutannya “ Bapak Hantu Sinterklas”. Ia sering datang tiba-tiba untuk mengunjungi anak-anak tersebut di jalanan, memberikan “sesuatu” yang membuat mereka senang kemudian pergi begitu saja. Begitu terus dari jalan ke jalan. Tapi tidak pernah diketahui kapan ia akan kembali datang lagi. Bisa pagi, siang, sore atau malam hari.

Dia salah satu orang unik yang pernah saya temui dan kenal. Saya tidak menyebut namanya. Namun, jika suatu saat anda berkenalan dengan seorang pria usia 50-an tahun, memberikan sebuah kartu nama yang hanya mencantumkan nama dan kode DNA dirinya di satu sisi dan sebuah susunan kartu bridge yang terdiri dari : north – south –west – east di sisi yang lain, mungkin itu dia.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 22 Oktober 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search