Babah & Bunda ; Biar Nggak Manja
SAYA mencari-cari pola keterkaitan antara sapaan anak untuk orang tua dengan perkembangan mental psikologi-nya. Untuk anak kami. Walau belum menemukan riset, penelitian atau apa-lah namanya untuk menjelaskan pola keterkaitan itu, saya bersama istri tetap yakin, pasti ada hubungannya selain pola ajar dan pengasuhan sejak dini yang ditanamkan pada anak.
Sejak anak masih dalam kandungan, kami berdua sudah menderetkan beberapa sapaan orang tua untuk dipilih. Mulai bapak – ibu; ayah – ibu; papa – mama; papi – mami atau ayah – bunda. Istri saya juga sempat mengusulkan untuk mencari sapaan yang unik lainnya. Mungkin bisa diambil dari istilah suku bangsa di belahan negara lain yang masih asing digunakan di Indonesia.
Tapi, sampai akhirnya anak kami lahir, sapaan itu belum ditentukan. Bingung? Iya juga. Beberapa teman yang datang mengunjungi kami saat anak lahir, sempat bertanya :
“ Jadi panggilannya apa?”
Kami berdua cuma bisa menjawab sambil senyum :
“Belum, masih dicari”.
Saat proses mencari, istri saya mengusulkan panggilan Bunda.
“ Sudahlah, bunda saja biar nggak manja.”
Saya langsung setuju usulnya. Benar, bunda saja biar nggak manja. Kami memang menginginkan anak lelaki kami jadi orang yang kuat, mandiri dan tidak gampang menyerah. Untuk itu juga saya memberinya penggalan nama sebuah gunung : Krakatau.
Panggilan bunda rasanya juga cocok untuk disandingkan dengan panggilan abah. Panggilan yang sudah saya inginkan sejak masih kuliah dulu. Tapi saat pasangan nama itu : abah dan bunda saya sampaikan, istri saya malah tidak setuju.
Abah itu seperti aki-aki, kesannya tua. Yang lain saja”. Katanya.
Tapi penolakannya saya abaikan dulu. Untuk menguatkan pilihan, saya akhirnya melakukan pengamatan kecil-kecilan terhadap 45 keluarga saudara, teman atau kenalan dengan masa perkawinan antara 2 – 20 tahun. Mencari tahu apa sapaan anak untuk mereka dan bagaimana pola kecenderungan perkembangan mental anak-anak mereka.
Saya tidak tahu metode statistik apa yang saya gunakan untuk pengamatan itu. Random Sampling? Ah, mungkin lebih tepat dikatakan Random Ngawur. Yang jelas, rasa penasaran saya harus terpuaskan! Dan, hasilnya :
– 51 % keluarga yang punya sapaan ayah dan bunda atau bapak dan ibu atau ayah dan ibu, memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja.
– 36 % keluarga yang punya sapaan papa dan mama memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja. Dan yang terakhir,
– 17 % keluarga yang memiliki sapaan papi dan mami memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja.
———–***———–
NAH, saya sekarang sudah punya pegangan untuk menjatuhkan pilihan. Tapi masalahnya, tidak ada satu pun keluarga yang saya jadikan sampel pengamatan memiliki panggilan orang tua lelaki = abah.
Itu juga yang menguatkan istri saya untuk menolak usul abah sebagai panggilan saya untuk anak kami. Katanya, daripada abah mendingan bapak atau ayah.
Saya ambil jalan tengah. Usul saya panggilannya adalah Babah. Perpaduan antara bapak dan abah. Pokoknya masih ada sisa bah-nya, pikir saya.
Babah, wah kayaknya cocok juga dan terkesan unik. Beda dari yang lain. Saya memang senang sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak biasa dan bukan pasaran.
Hampir semua pilihan yang saya ambil atau putuskan biasanya memang berbeda dari yang lain. Saya tidak begitu peduli atau mau ambil pusing dengan komentar orang. Misalnya yang menyebut saya ini orang aneh, nyeleneh, kampungan atau sulit ditebak.
Eh, tapi saya sebenarnya bukan orang yang suka sesuatu yang benar-benar beda. Soal keputusan penyebutan Babah untuk saya misalnya. Terus terang, ini juga terinspirasi dari seorang teman bapak. Saat kecil dulu, kami sempat bertetangga. Hubungan kami dekat sudah seperti saudara sendiri. Saya menyebutnya om Abu. Nama panjangnya Abu Bakar MC. Dulu, sempat mengira itu sebuah gelar pendidikan, seperti SH, SE, MM atau Msc. Tapi dari bapak, akhirnya saya tahu itu adalah singkatan nama ayah om Abu.
Anaknya tiga, perempuan semua. Ia membiasakan panggilan untuk dirinya Babah. Saya tidak tahu apa latar belakangnya. Tapi terkesan unik dan gagah. Yang lebih membuat terkesan adalah pola ajarnya untuk ketiga anak-anaknya itu. Ia tidak selalu memanjakan, sesekali tegas . Tapi sikapnya tidak membuatnya jauh dari ketiga buah hatinya. Di dalam keluarga, Babah Abu tahu kapan bersikap tegas dan menerapkan aturan berdisiplin untuk anak-anaknya.
Pernah suatu kali saya melihat Babah Abu memarahi anak-anaknya karena enggan belajar. Untuk membuat anak-anaknya patuh, ada sebuah gesper kulit yang dipegangnya. Di lain waktu, saya juga sering mendengar Babah Abu bersenandung untuk anak-anaknya di kala malam untuk mengantar mereka tidur.
Bertahun-tahun kemudian, saya menyaksikan ketiga anaknya tumbuh jadi tiga wanita cantik yang baik budi pekertinya. Berhasil dalam pendidikan hingga ke jenjang sarjana. Mereka juga jadi anak-anak yang begitu menyayangi orang tuanya yang sekarang sudah mulai tua.
———**———-
DARI buku karangan Abdul Chaer – Pengantar Semantik Bahasa Indonesia – saya dapat masukan bahwa penamaan atau panggilan adalah merupakan sebuah perlambangan suatu konsep untuk mengacu pada referensi di luar bahasa. Mengingat bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, maka penamaan jadi suatu kesatuan kebahasaan menurut lambang.
Sementara sebuah makalah bahasa yang ditulis oleh Wasiyati Kristina – Refrensi, Makna dan Denotasi – menyebutkan bahwa penyebutan nama merupakan fungsi semantik dasar dari kata-kata. Nama memiliki dua fungsi karakteristik yaitu referensial dan vokatif. Nama biasanya digunakan untuk menarik perhatian atas kehadiran seseorang yang diberi nama itu atau untuk mengingatkan relevansi orang yang diberi nama.
Inspirasi Babah Abu, akhirnya memang jadi alasan pilihan saya untuk penyebutan sapaan bagi anak kami. Secara karakteristik ini memang cocok untuk saya dan secara vokatif juga sangat mudah dalam penyebutan.
Rasanya, Anak saya juga tidak perlu belepotan menyebutkannya walaupun masih dalam tahap belajar bicara. Saya yakin, selain pola ajar dan cara pengasuhan sejak dini yang ditanamkan pada anak, pemilihan sapaan untuk orang tua juga menjadi faktor lain yang juga perlu untuk diperhatikan.
Seperti “perlambangan” kita baginya.
(*)
Postingan ini pertama kali diunggah pada 29 November 2008 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com