Jalan Kaki, Masak Sendiri, Sekamar Bertiga
Cara Pekerja Menyiasati Hidup di Tengah Krisis
KRISIS ekonomi global yang episentrumnya berada di Amerika Serikat, getarannya kini mulai terasa ke Batam. Sejumlah industri mengalami penurunan order. Pekerja kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan tambahan lewat uang lembur. Mereka harus memperbanyak jurus mengalahkan tekanan hidup yang kian berat.
Baru sebulan ini Dwi Handayani, pekerja PT Sun Creation Indonesia, di Kawasan Industri Tunas Batam Centre menerima upah Rp990 ribu. Padahal dua bulan lalu dan bulan-bulan sebelumnya, Dwi bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp2 juta setiap bulannya.
‘’Itulah, gara-gara krisis. Sekarang jadi tidak ada lembur lagi. Desember ini hanya terima gaji Rp990 ribu,’’ ujar Dwi.
Satu bulan terakhir ini Dwi masuk kerja pukul 08.00-17.00 WIB jika kebagian shift pagi. Kalau dapat shift malam, Dwi masuk kerja pukul 08.00 WIb dan baru pulang jam lima pagi. Beda dengan sebelum krisis terjadi, waktu kerja kadang bisa melebihi dari jadwal kerja yang biasanya.
Terasa pahit, di tengah harga-harga kebutuhan yang serba meningkat, justru upah yang diterimanya semakin mengecil, bahkan angkanya tidak sampai separuh dari penghasilannya sebelum krisis terjadi. Dalam hitungan normal, dengan penghasilan senilai upah minimum kota di masa sekarang, untuk memenuhi kebutuhan sendiri selama satu bulan memang serba kurang.
‘’Tapi gimana lagi, Ya dicukup-cukupin,’’ tambahnya.
Dwi tidak sendiri, ada lima temannya yang juga bekerja di PT Sun Creation Indonesia yaitu Elsi, Lusti, Yuli, Berna, Yanti dan bernasib sama dengannya. Mereka pun hidup serba hemat agar bisa tetap mengirim uang ke kampung seperti kebiasaan mereka selama ini.
‘’Kirim ke kampung Rp300 ribu, kalau sebelumnya kirim ke kampung Rp500 ribu,’’ ujarnya.
Segala kebutuhan yang menyedot biaya ditekan habis, mulai dari biaya tempat tinggal, biaya makan hingga transport. Untuk bisa menekan biaya tempat tinggal, Dwi bersama lima temannya memilih mengontrak rumah yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Pilihannya jatuh pada perumahan Mediterania, Blok F1 Nomor 26. Rumah tipe 30 dengan dua kamar itu ditinggali enam orang, dengan sistem kontrak per tiga bulan Rp1,8 juta.
‘’Rp1,8 juta itu belum termasuk listrik dan air,’’ ujar Dwi.
Di dalam kamar yang sempit mereka tidur bertiga demi untuk menekan biaya kos.
‘’Satu kasur cukuplah untuk tidur bertiga,’’ katanya.
Dengan cara seperti itu, masing-masing orang hanya mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal Rp100 ribu setiap bulan. Penghematan juga dilakukan dalam pengeluaran makan sehari-hari. Dwi dan Elsi yang masih saudara sepupu itu memilih memasak setiap hari. Begitu juga empat teman mereka. Masing-masing orang punya kompor minyak tanah.
Alhasil di dapur di rumah kontrakan mereka, tampak tiga kompor berderet. Untuk beras, mereka (Dwi dan Elsi) menjatahnya 15 liter per bulan. Untuk lauk pauknya, mereka berdua membeli sayur mayur dengan jatah setiap hari dipatok Rp10 ribu-Rp12 ribu lalu memasaknya sendiri, setiap hari.
”Kami masih saudara sepupu, makanya kami masak berdua,” ujar Dwi.
Jika dulu Dwi dan Elsi bisa makan di luar dan jajan, sekarang saat pergi kerja Dwi bersama teman-temannya lebih memilih membawa bekal makan dari rumah, baik saat bekerja shift malam ataupun shift pagi. Pengeluaran transportasi juga benar-benar ditekan. Bila sebelum krisis Dwi tinggal di Bengkong, sekarang dengan penurunan penghasilan yang drastis jadi memilih kos di dekat perusahaannya tempat bekerja yaitu di Mediterania. Saat pergi kerja, Dwi bersama teman-temannya jalan bersama-sama ke tempat kerjanya di depan perumahan Bida Asri 1.
‘’Jalan paling 15 menit,’’ katanya. Untuk biaya pulsa, diirit Rp20 ribu saja setiap bulan. Dengan kondisi seperti saat ini, Dwi tetap bertekad untuk terus bekerja di perusahaannya dalam beberapa tahun ke depan.
‘’Ya pinginnya sampai uang Jamsostek keluar. Setelah itu mau pulang kampung saja. Ingin ngumpul bareng sama keluarga,’’ tuturnya.
Meski demikian, untuk kepastian ke depannya Dwi sendiri memang belum tahu. ‘’Tapi kalau nanti jodohnya di sini dan takdirnya tetap di Batam, ya berarti saya tinggal di Batam,’’ ujar wanita yang masih lajang ini. Di tengah krisis seperti ini, jangan berharap pekerja PT mendapatkan uang lembur lagi. Justru ancaman besar jadi pengangguran kian menganga, Gara-gara perusahaan mengadakan pengurangan tenaga kerja gara-gara sepi order, imbasnya masa kontrak kerja para pekerjanyapun tidak lagi diperpanjang.
Meski harus berhemat, Dwi lebih beruntung ketimbang Lina. Desember lalu, mantan pekerja di sebuah perusahaan di Kawasan Industri Tunas itu putus kontrak.
‘’Tidak diperpanjang, katanya sih karena perusahaan ada pengurangan pekerja. Jadi yang sudah habis masa kontrak kerjanya tak diperpanjang lagi. Kontrak kerjanya per enam bulan. Kami sekali saja tanda tangan di atas materai pas kontrak pertama, kontrak selanjutnya enggak pakai materai,’’ ujarnya.
Bukan hanya pekerja PT yang mesti berhemat, para pekerja yang bekerja di tenan-tenan pusat perbelanjaan juga harus mengencangkan ikat pinggang. Soalnya sebagian besar mereka menerima upah setara UMK Rp960 ribu, kalaupun ada lembur upahnya jadi Rp1,1 juta. Salah satunya Angga (22), karyawan di Matahari Mega Mall Batam Centre.
Ia memilih kos di GreenLand, yang dinilai cukup dekat dengan Mega Mall. Biar bisa menghemat transport. Untuk menekan biaya kos, ia memilih mengajak temannya untuk tinggal berdua dalam satu kamar.
‘’Sewa kosnya Rp350, karena berdua jadi bayar Rp175 ribu,’’ katanya.
Tidak jarang untuk menekan biaya transpor banyak teman-teman Angga yang memilih pulang berjalan kaki ke GreenLand, tempat mereka kos.
‘’Percuma kalau pulang ke GreenLand naik Angkot. Kalau turunnya di simpang My Mart, tetap jalan juga ke dalamnya (GreenLand), terus kalau ke GreenLandnya naik angkot jurusan Mukakuning, tetap turunnya di halte Batam Pos, terus jalan juga ke GreenLandnya. Ya lebih baik jalan rame-rame, enggak terasa cape kalau rame-rame jalannya, ‘’ujar Disa, penjaga toko Posh Boy, di Mega Mall Batam Centre.
Para pekerja yang ingin menghemat transpor tidak hanya dilakukan dengan cara berjalan. Mereka yang single khususnya yang punya pacar memanfaatkan transportasi antar jemput pacar. Seperti Heni, SPG di salah satu tenan di Mega Mall.
‘’Untuk transport, saya dijemput pacar pakai motor,’’ ujarnya. Dengan cara seperti itu Heni yang kos di Legenda Malaka jadi bisa lebih irit untuk biaya transpot. Sedikit beruntung dengan Leni, SPG di Toko Espresso, di Mega Mall.
Meski berpenghasilan UMK, ia tidak terlalu berat. Pasalnya ia memiliki suami yang punya usaha menjahit pakaian di Bengkong.
‘’Cukuplah,sejak menikah jadi bisa nabung, soalnya untuk makan ada dari suami,’’ ujarnya.
Berbeda ketika Leni bekerja di PT Winindo Citra Buana dan PT Flexus di Mukakuning. ‘’
Dari PT kabur. Habis waktu itu perusahaannya down, gajinya UMK, Kalau sebelumnya sih bagus, kita dapat lembur,’’ ujar Leni mengenang.
Dengan penghasilan UMK, Leni tidak bisa menabung. ‘’Uangnya habis untuk kebutuhan sehari-hari,’’ ujar Leni.
(*)
Postingan ini pertama kali diunggah pada 23 Januari 2009 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com