Drama Sekolah ABG Di Bali

INDUSTRI sinematografi kita, baik itu film atau sinetron, rasanya tidak akan pernah maju secara kualitas jika pakem yang digunakan masih saja sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Yang lebih parah pagi, tema dan para pemain yang diangkat jauh dari unsur mendidik dan masuk akal..

Terus terang, latar belakang tulisan ini karena desakan rasa muak saya dengan tayangan sinetron yang belakangan banyak beredar di layar-layar tv. Memuakkan karena pembodohannya benar-benar nyata di depan mata. Belum lagi komersialisasi yang sudah mengabaikan hak-hak pemirsa untuk mendapatkan tayangan bagus yang bermutu.

Drama Sekolah

Anda pernah memainkan sebuah tokoh dalam pentas drama sekolah? Atau mungkin jadi penontonnya? Di Sekolah Dasar saya dulu, pentas drama sekolah biasanya digelar dalam beberapa even. Misalnya pada peringatan hari pendidikan, hari anak nasional atau menjelang penerimaan raport catur wulan sebagai bagian kegiatan murid setelah sepekan menjalani ujian.

Siapa yang jadi pemainnya? Ya, para murid atau siswa sekolahnya. Misalnya tema yang diangkat adalah cerita Malin Kundang Anak Durhaka. Yang jadi si Malin biasanya murid atau siswa kelas 2, 3 atau 4. Sementara yang jadi ibunya adalah siswa kelas 5 atau 6. Usia para pemain drama biasanya tidak terlalu jauh berbeda. Yang membedakan cuma tampilan kostum mereka.

Murid yang jadi ibu, akan mengenakan kostum layaknya orang tua. Wajah dipoles make-up agar terlihat seperti keriput dan rambut diberi bedak biar putih seperti uban! Yang jadi anak, juga akan diberi kostum sesuai usia dalam peran mereka. Penonton drama sekolah sangat tahu, peran yang dimainkan para siswa tidak akan bisa natural seperti deskripsi cerita di buku-buku karena usia mereka sebenarnya tidak pas untuk membawakan peran orang tua Malin atau bahkan si Malin-nya sendiri. Tapi ya sudahlah, itu toh sekedar hiburan di sekolah sekaligus mengasah bakat mereka.

Nah sekarang, coba simak sinetron-sinetron kita sekarang. Fenomena yang sama juga dilakukan para para “penghasil sinetron” indonesia yang kemudian disuguhkan pada kita di rumah. Penilaian saya, yang paling keterlaluan adalah sinetron yang ditayangkan di SCTV. Saban hari, mulai pukul 18.00 WIB, kita akan langsung disuguhkan dengan sinetron jenis ini secara estafet, sambung menyambung. Pemainnya yang jadi anak, tidak jauh berbeda umurnya dengan yang jadi ibu atau bapaknya. Saya tidak menyarankan anda untuk menonton sinetron “cucu menantu”. Tapi coba simak yang jadi pemeran ibu Salamah dan menantunya yang bernama Vina.

Alur cerita yang diangkat, juga terkesan didramatisir, dipanjang-panjangkan untuk memenuhi kontrak episode yang sudah ditandatangani. Lihat saja sinetron Cinta Fitri yang sudah masuk season 3. Bayangkan jika tokoh Fitri di sinetron itu langsung saja membeberkan tentang kebusukan rivalnya ; Miska. Memberitahukan kebohongan-kebohongannya selama ini, dan itu sebenarnya meruakan hal yang sangat mudah dilakukan.

Dampaknya, cerita jadi habis! Sinetron Cinta Fitri akan tamat! Kesan komersilnya kentara sekali. Dan yang lebih membuat saya geleng-geleng kepala adalah unsur tidak masuk akalnya.

Saya bukan penggemar sinetron jenis ini, tapi saya miris saat menyaksikan sebuah adegan di sinetron Cucu Menantu tanggal 27 Januari 2009. Di salah satu adegan ada seorang polisi yang mendapatkan laporan dari anak buahnya tentang keberadaan buron yang bernama Nadia. Si polisi kemudian memerintahkan seluruh jajarannya untuk mencari Nadia menggunakan sebuah telepon seperti sedang berbicara dengan alat komunikasi two way handy talky! Bayangkan, Siapa yang bodoh? Polisinya atau sutradaranya? Dimana sisi kualitasnya?

ABG

Stasiun tv sekarang membuat kita semua jadi anak ABG! Nggak pagi, nggak siang, nggak malam, tayangan sinetron yang dimunculkan selalu bertema Anak Baru Gede atau paling tidak memajang bintang-bintang ABG untuk berperan menjadi tokoh yang sebenarnya belum layak mereka bawakan. Mau contoh? Simak saja sinetron Kepompong yang tayang saban hari, atau Cinta Fitri yang memajang artis-artis ABG yang nggak pas untuk peran yang mereka mainkan.

Saya tahu, trend sinetron ABG sekarang memang sedang digemari. Tapi ya itu tadi, kembali ke pendapat saya :. Industri sinematographi kita, baik itu film atau sinetron, rasanya nggak akan pernah maju secara kualitas jika pakem yang digunakan masih saja sama dari tahun ke tahun. Dari generasi ke generasi! Selalu meniru trend yang sedang in dan terus menyuguhkannya kehadapan pemirsa sampai titik jenuh dan tidak ada lagi order iklan yang masuk. Yang lebih parah pagi, tema dan para pemain yang diangkat sekarang ini jauh dari unsur mendidik dan masuk akal..

Di Bali

Saya tidak tahu apa latar belakang rumah produksi membuat sinetron lepas sekarang ini yang sering kali mengambil seting lokasi di Bali. Mungkin ada kerjasama khusus dengan Pemda setempat atau resort-resort di sana. Yang jelas, hampir setiap hari kita selalu disuguhi sinetron lepas dengan seting latar belakang Bali! Sekali, dua kali, tiga kali mungkin masih bisa maklum. Tapi jika terus-terusan disuguhi cerita dengan latar belakang yang sama, gedung-gedung yang sama, lokasi pantai yang sama dan para pemain yang juga hampir-hampir sama, bagaimana? Jawabnya pasti jenuh. Tapi rumah produksi yang membuatnya dan stasiun televisi yang menayangkannya seperti tutup mata dan kuping tentang hal ini. Lagi-lagi pemirsa di rumah yang jadi objek penderitanya.

(*)

Postingan ini pertama kali diunggah pada 30 Januari 2009 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search