Sampah Digital

DALAM sehari, saya bisa membuang paling tidak 20 gambar dan 4 hingga 5 video di ponsel. File-file itu memang tidak diinginkan untuk disimpan. Tapi muncul dan tersimpan secara otomatis.

Akhirnya, mereka jadi sampah yang perlu dibuang. Zaman maju seperti sekarang, sampah juga bisa bertransformasi secara digital, ya.

Biasanya, gambar dan video yang tidak kita inginkan ada di ponsel, bisa kita saring melalui pengaturan di aplikasi yang kita gunakan. Contohnya aplikasi Blackberry Messenger (BBM).

Ada opsi bagi kita untuk tidak menyimpan gambar dan video yang biasa berseliweran di grup yang kita ikuti. Jika tertarik, kita bisa ambil opsi menyimpan secara manual saja.

Tapi di WhatsApp, opsi seperti itu sepertinya ngga ada. Bolak-balik saya periksa pengaturan aplikasinya. Cari tahu. Mana tahu ada opsi seperti di BBM. Gambar dan video yang disebarkan oleh teman-teman di grup aplikasi chat, bisa kita saring. Hanya gambar-gambar dan video yang kita inginkan saja yang tersimpan di ponsel.

Yang lain? Biar numpang lewat dan tersimpan di server besar aplikasi hebat itu.

—————

SECARA pribadi sebenarnya tidak ada masalah. Gambar-gambar dan video yang tersimpan otomatis itu, sebagian merupakan file pendukung kerja. File-file gambar dan video itu sebenarnya cuma perlu diakses sekali saja. Setelah itu tidak diperlukan lagi.

Yang lainnya berisi gambar atau video lucu. Dikirim oleh teman-teman di grup chat dengan maksud bercanda sambil terus menjalin silaturahmi di dunia maya.  Kebanyakan merupakan gambar-gambar meme yang diberi kalimat yang menggelitik. Kadang nakal. Atau, video-video lucu dan plesetan yang mengundang senyum.

Jika lagi sial dan dimasukkan ke dalam grup jual beli atau bisnis online, file-file sampah itu juga bisa berarti tawaran promo produk dalam bentuk file jpeg atau mp4 yang nyelonong masuk ke ponsel kita tanpa permisi, hehehe

Hanya perlu beberapa langkah tindakan untuk mengeksekusinya!

Buka gallery – pilih gambar dan video yang tidak diinginkan – pilih tong sampah atau opsi delete. Selesai!

Eksekusi seperti itu, kita lakukan paling tidak agar kapasitas penyimpanan ponsel kita tidak menjadi penuh. Cukup simpel.

Sampah-sampah digital itu toh juga tidak menimbulkan dampak fisik seperti efek polutan di lingkungan sekitar. Tidak juga perlu dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), kan?

————-
SAYA adalah pria dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Anak-anak saya atraktif dan ingin tahu banyak hal. Saya cenderung tidak membatasi sepanjang itu positif.

Walau kadang kesal, saya membiarkan saja mereka berkreasi di rumah hingga membuat situasi seperti kapal pecah. Mengambil barang perabot yang mereka anggap asing dan mempertanyakan fungsinya. Kemudian setelah bosan, menggeletakkan begitu saja.

Lima atau paling lambat sepuluh tahun ke depan, saya mungkin rindu suasana begitu. Rindu mereka melakukan hal- hal begitu lagi.

“Bah, tantenya joget-joget!”

Kata anak kedua saya, Yura. Yura memperlihatkan sebuah video dari ponsel saya.

Saya melirik ponsel di tangannya. Ponsel itu sebenarnya sudah saya letakkan jauh dari jangkauannya. Entah bagaimana ceritanya, Yura bisa mendapatkan dan melihat-lihat gallery foto dan video yang tersimpan di dalamnya.

Itu video yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya juga yakin tidak pernah mengunduh atau mengkloningnya dari sumber lain. Itu video yang sama sekali tidak saya ketahui!

Adegannya lucu, menarik tapi berbahaya bagi perkembangan mental dan psikologis anak seusianya. Atraksi dua wanita cantik yang memperagakan goyang yang erotis dengan dandanan yang seronok.  Mereka menggerak-gerakkan bagian sensitifnya dengan cara yang mahir sekali. Saya akhirnya meminta ponsel itu dengan dalih meminjam sebentar.

“Kok Babah hapus lagi?”

Tanyanya begitu saya mengambil opsi menjadikan video tersebut sampah yang harus dibuang.

Ini sudah kali kesekian saya terpaksa melakukan di depannya. Sebisanya, saya membersihkan file gambar dan video yang tidak saya inginkan seperti itu secara berkala. Sebelum dua anak saya menguasai ponsel saya yang pintar itu.

Tapi, gambar dan video seperti itu ternyata sulit diprediksi kapan masuknya, kan?

—————
SEPERTINYA ada perbedaan mendasar antara aplikasi BBM dan WhatsApp. Terutama soal pemanfaatan server besar mereka untuk lalulintas harian penggunanya.

Blackberry sepertinya menyediakan server besarnya sekaligus juga untuk menyimpan lalulintas kiriman dari para penggunanya. Jika pengguna menginginkan, bisa mengunduh atau mengkloningnya.

Saya tidak tahu detail teknisnya. Tapi, WhatsApp sepertinya langsung menyasar ke pengguna. Mungkin server besar mereka cuma menjadi terminal sementara untuk interaksi antar pengguna. File gambar dan video yang dikirim, biasanya langsung masuk ke ponsel pengguna yang menjadi tujuan.  Begitu juga dengan kiriman file serupa di grup aplikasi tersebut.

Salah? Tidak. Itu kan kebijakan yang diberlakukan mereka dengan pertimbangan-pertimbangan teknis.  Pengguna seharusnya tahu itu saat awal memutuskan untuk menggunakan aplikasinya.

Mungkin yang salah apabila kita tidak bijak memanfaatkan kemudahan teknologi yang ditawarkan. Bayangkan, berapa ribu atau bahkan jutaan file gambar dan video seperti itu yang berseliweran di ponsel-ponsel pengguna setiap hari dan akhirnya harus menjadi sampah digital!

Sampah digital seperti itu, mungkin tidak terlalu berdampak secara fisik. Misalnya jadi virus dan penyakit atau polusi di lingkungan sekitar. Tinggal dimusnahkan, selesai.

Tapi, bagaimana dengan psikologis pengguna dan orang-orang di sekitar yang terlanjur sering mengakses karena terpapar di hadapan mereka dan kita malas membersihkannya secara berkala?

Bagaimana dengan revolusi perubahan perilaku mereka ke depannya?

(*)

Foto : Gambar anak kedua saya, Yura sedang belajar selfie.
Postingan ini pertama kali diunggah pada 3 Maret 2016 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search