Bioskop dan Koran
MENONTON film di bioskop dan membaca informasi di koran. Yang pertama untuk hiburan. Yang kedua untuk pemenuhan kebutuhan informasi. Dua-duanya jadi aktifitas yang jamak dilakukan orang banyak. Dari kebutuhan, kemudian jadi tren. Dua kegiatan itu jadi tren sekaligus kebutuhan.
Fenomenanya berkembang. Orang yang datang ke bioskop, misalnya. Tidak hanya mereka yang butuh hiburan menonton film. Tapi juga mereka yang ikut atau terjaring tren atau punya maksud memenuhi kebutuhan lain.
Di sana ada banyak orang bertemu. Alasan untuk datang ke bioskop jadi bervariasi. Walau endingnya mungkin sama.
Membeli karcisnya, kemudian duduk manis di deretan kursi dalam ruangan gelap sambil makan popcorn dan menyaksikan layar besar berisi berbagai rangkaian adegan.
Orang baca koran juga begitu. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan informasi. Kemudian berkembang. Koran juga jadi sarana promosi dalam industri media massa.
Orang yang mengakses koran tidak lagi hanya mereka yang butuh informasi. Tapi juga butuh untuk mengakses gaya hidup dan tren.
Jamak kita temui dulu, orang berlangganan dua hingga tiga surat kabar di rumah mereka. Padahal tidak dibaca seluruhnya. Mungkin cuma headline-headlinenya saja. Selebihnya, koran jadi penunjuk status dan kelas sosialnya di masyarakat. Koran juga jadi bagian kehidupan masyarakat moderen di zamannya.
———
AKTIFITAS menonton film di bioskop sempat mengalami tren menurun saat alternatif menyaksikan tayangan hiburan film mulai lebih bervariasi. Stasiun televisi makin banyak tumbuh dengan beragam kontennya. Orang juga makin mudah mendapatkan film baru dengan cara menyewa atau membeli kepingan CD versi bajakan.
Industri perfilman bioskop terganggu. Di banyak kota di Indonesia bahkan sempat mati suri. Beberapa gedung bioskop yang dulu ramai dikunjungi orang mulai sepi kemudian memilih tutup. Orang-orang mulai memenuhi kebutuhan hiburan menontonnya dengan cara yang lain. Dan itu lebih murah!
Mereka yang terlibat di industri film harus berpikir keras untuk tetap bisa mempertahankan lapak hidup mereka. Sementara banyak juga mereka yang selama ini cuma opportunis, memilih langsung hengkang.
Banting setir di industri hiburan lain yang sedang diterima pasar. Tren dan kebutuhan lain yang sebelumnya mengikuti kegiatan orang mengakses hiburan di gedung-gedung bioskop pun perlahan hilang.
Awalnya, mereka yang pilih bertahan di industri film menganggap sisi kualitas bisa mengembalikan orang datang ke bioskop lagi. Tapi tidak semudah itu. Film di bioskop tetap sepi. Orang yang memilih tetap datang, mungkin karena pertimbangan kebiasaan lama, mereka yang tetap penasaran menonton film di layar besar atau sekedar membangkitkan kenangan tentang aktifitas mereka mengakses hiburan di masa lalu.
Selebihnya, bangku-bangku bioskop kosong. Tren menonton film di bioskop sepertinya sudah berlalu.
——–
KEMAJUAN teknologi dan pola kebiasaan orang dalam mengakses hiburan menonton di media selain bioskop, kemudian malah menyelamatkan industri film bioskop itu sendiri. Dengan teknologi baru yang lebih canggih, para pelaku industri ini dan turunannya bisa memproduksi tayangan berbeda yang sulit diikuti industri hiburan di media lain. Pertimbangannya ada di bajet.
Di film industri untuk bioskop, para pelakunya lebih leluasa menggelontorkan bajet produksi dengan teknologi canggih yang mahal. Mereka bebas mengkalkulasi keuntungan dengan hitung-hitungan bisnis penjualan film mereka.
Sementara di industri sejenis di televisi, bajet anggaran sangat ditentukan harga pasar sponsor yang akan menopang biaya produksi dan keuntungan produsennya. Para pelaku industri film juga leluasa menghasilkan karya tanpa terlalu dibebani target kejar tayang. Berbeda dengan industri sejenis di televisi.
Ini membuat mereka bisa lebih memperhatikan faktor kualitas dan estimasi penerimaan pasar nantinya. Trus, bagaimana membuat orang tetap butuh menonton film di bioskop lagi?
Untuk mendatangkan orang ke bioskop lagi karena kebutuhan mengakses hiburan seperti dulu adalah sesuatu yang sulit. Zaman sudah berubah. Tapi, untuk mendatangkan kembali alasan-alasan orang mau mengunjungi bioskop, ternyata bisa direkayasa!
Kebutuhan baru zaman sekarang bisa diciptakan dengan mengarahkan tren orang kembali menghampiri bioskop. Promosi dan kampanyenya toh sudah lebih leluasa. Bisa lebih masif di berbagai media. Tawaran ekslusifitas untuk menyaksikan film produk baru dengan teknologi baru yang lebih canggih dan tidak bisa diakses di media lain juga jadi andalannya. Dan, lagi-lagi kemajuan teknologi menyelamatkan industri ini!
Paling tidak sampai sekarang. Industri film bioskop masih berkibar setelah melalui fase mati suri dan recovery beberapa tahun sampai menemukan bentuknya yang baru sekarang.
——-
KORAN belum mati suri. Paling tidak untuk saat ini di negara berkembang seperti Indonesia. Tapi, teman saya menyebut suasananya sekarang menjelang magrib dan sebentar lagi gelap, hehe
Serbuan media digital beberapa tahun terakhir dan pilihan akses informasi yang beragam, membuat posisi koran kurang bagus. Banyak informasi ke masyarakat yang seharusnya bisa mendongkrak penjualan koran, jadi basi karena sudah lebih dulu muncul di media pesaing yang lebih fresh, online!
Mungkin dalam beberapa tahun ke depan, akan banyak yang mati suri kalau nggak mau dikatakan meninggal karena terlindas kemajuan teknologi.
Di negara maju, fenomenanya sudah terjadi. Di Amerika Serikat, koran seperti Tribun Co dan Rocky Mountain News memutuskan untuk menghentikan produksi cetaknya sejak beberapa tahun lalu. Begitu juga di Inggris. Koran Independent memutuskan berhenti memproduksi koran cetaknya. Mereka memilih fokus ke bisnis online saja. Edisi terakhir koran Independent terbit pada 20 maret 2016 kemarin.
Di Indonesia sendiri, koran Sinar Harapan yang bermetamorfosa ke bentuk baru pada 2001 sejak dimatikan pemerintah tahun 1986 silam, akhirnya memutuskan hal serupa. Mati lagi. Kali ini mematikan diri sendiri!
Begitulah. Selalu saja ada yang memilih hengkang duluan di saat-saat yang tidak lagi menguntungkan. Tapi, saya kok yakin akan ada saja mereka yang idealis dan terus mempertahankan lapaknya. Yang sanggup menjalani waktu isya yang gelap sambil berusaha dan menunggu waktu subuh tiba. Sampai akhirnya mereka atau turunan mereka menemukan kembali bentuk baru yang diterima pasar.
Koran besar asal Singapura The Strait Times (TST), misalnya. Memilih terus bertahan. Baru-baru ini bahkan melakukan ekspansi distribusi koran mereka di Indonesia dengan melakukan proses cetak di Batam untuk TST edisi Indonesia. Atau, coba ingat strategi bisnis MNC grup yang membuat keputusan mengejutkan untuk membuat koran Sindo di saat mereka sebenarnya sudah sangat enjoy mengembangkan bisnis media televisinya? Koran Sindo muncul di saat situasi katanya sedang tidak bersahabat dengan media cetak.
Bisnis koran memang belum masuk fase mati suri di sini. Masih ada yang optimis di saat banyak yang pesimis. Mereka-mereka ini mungkin yang bakal melewati masa recovery di saat banyak yang mati suri nantinya. Mereka akan bertahan dengan mencari celah inovasi-inovasi baru untuk tetap dibeli dan dibaca orang.
Saya kok percaya, koran tidak akan benar-benar mati. Mereka tetap ada sampai nanti dalam bentuk baru yang bisa lebih diterima pasar. Mereka akan hadir dalam segmentasi khusus yang tidak terjangkau oleh media pesaingnya. Seperti juga bioskop.
Dan saat itu terjadi, mungkin sekali akan muncul lagi pemain-pemain baru meramaikan pasar yang mulai ramai tersebut.
(*)
Foto : Lukisan karya Pawel Kuczynski
Postingan ini pertama kali diunggah pada 27 Maret 2016 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com