MEREPRO FOTO

SAYA menggebu-gebu saat memulai ini setahun lalu. Ada ratusan, atau bahkan ribuan bahan foto lama yang rencananya bakal diperbaharui dalam bentuk digital.

Rata-rata dokumen keluarga zaman dulu. Ada juga foto kegiatan pribadi. Semuanya masih berbentuk lembar-lembaran kertas foto.

Untuk memulai, saya juga merasa perlu untuk berkonsultasi dengan seorang teman baik yang jago fotografi. Namanya Imannuel Sebayang. Seorang fotografer di Batam. Saya biasa memanggilnya Nuel.

‘Wah itu butuh waktu dan kesabaran, bang. Satu-satu. Aku juga lagi merepro foto-foto lama’, katanya sekitar setahun lalu.

‘Pakai aplikasi atau manual. Difoto lagi, maksudnya?’

‘Kalo mau bagus ya manual. Difoto satu per satu. Pakai kamera yang bagus lah. Pencahayaannya juga perlu diatur supaya hasilnya memuaskan. Kalo bisa malah dikerjakan di ruangan khusus.’

Nuel kemudian memberi saya beberapa tips tentang cara merepro foto-foto lama ke format digital. Sebagai orang awam, saya mendengarkan petuahnya dengan seksama. Saya selalu senang berteman dengan orang-orang seperti Nuel ini. Mereka orang pintar dan memiliki skill khusus di bidangnya.

Saya coba mempraktekkan teori singkat yang diajarkan Nuel. Ternyata tidak segampang yang dibayangkan.
Apalagi ini, bahannya bertumpuk dan saya juga tidak punya ruang khusus untuk mengerjakannya. Belum lagi mempelajari teori pencahayaan yang baik.

Pilihan jalan pintas saya ambil. Saya pilih melakukan proses scanning saja bahan-bahan foto lama yang seabreg itu. Kemudian mengumpulkannya dalam bentuk file-file pdf. Saya abaikan pertimbangan kualitas. Yang penting, foto-foto lama itu bisa diselamatkan dalam bentuk digital.

Dengan cara begitu, saya sukses merepro ratusan dari ribuan bahan foto lama. Tapi karena amatir, saya lupa menatanya dalam folder-folder agar rapi!

Sialnya lagi, file project yang saya pikir tidak bermasalah, juga lupa disimpan! Alhasil, dari ratusan foto yang sudah direpro, hanya puluhan yang bisa diselamatkan dalam bentuk digital.

Duh, saya harus memulainya dari awal lagi!
————-

SUDAH berbulan-bulan saya tinggalkan keinginan untuk merepro ulang bahan-bahan foto lama di rumah. Setiap saya melihat tumpukan album-album foto itu, langsung terbayang kerja sia-sia yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Rasanya malas untuk memulai kembali.

Belum lagi kesibukan kerja. Obsesi merepro foto-foto lama akhirnya terpaksa ditahan sementara waktu. Saya hanya mengumpulkan perangkat seperti yang dianjurkan Nuel.

Pikir saya, saat mood itu tiba-tiba datang, paling tidak sudah punya perangkatnya yang lebih lengkap untuk bisa memulai lagi.

Dan saat itu tiba, harusnya lebih baik dari sebelumnya.
————-

MOOD itu datang saat cuti awal tahun ini. Ini sebenarnya cuti yang telat. Seharusnya, cuti saya itu sudah diambil di akhir tahun sebelumnya. Telat, karena saya pilih mengalah dan mendahulukan rekan-rekan sekerja untuk menghabiskan jatah cutinya yang belum diambil.

Saya tidak kemana-mana. Cuma di rumah, berkumpul lebih lama dengan istri dan anak-anak.

Karena punya banyak waktu luang, saya juga memanfaatkan untuk merapikan rumah yang kami tinggali saat ini. Sisa waktu yang lain saya manfaatkan untuk melakukan kegiatan yang selama ini terhalang kesibukan kerja. Salah satunya, ya agenda merepro bahan-bahan foto lama itu.

Saking bersemangatnya, saya mengulangi lagi langkah seperti sebelumnya. Melakukan proses scanning bahan-bahan foto lama tersebut. Setelah beberapa puluh foto, saya ingat teori yang diajarkan Nuel.

Ah, kenapa tidak dicoba? Kan sekarang saya sudah punya perangkat yang lebih baik dari sebelumnya?

Walau tidak memiliki ruang khusus seperti Nuel, saya mulai melakukan proses repro foto dengan cara manual. Memfoto ulang satu per satu bahan yang saya miliki.

Dimulai dengan foto-foto keluarga sejak tahun 60-an yang masih hitam putih. Kemudian ke era 70-an yang sudah mulai berwarna walau masih sederhana. Era 80-an yang sudah banyak menggunakan kertas foto mengkilat (glow) sampai di dekade 90-an yang masih memiliki kualitas rata-rata baik.

Untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, sekarang saya mulai mengelompokkan file-file foto hasil repro tersebut dalam folder-folder. Disesuaikan dengan tema foto atau tahun produksinya.

Untuk memperbaiki kualitas foto yang terlanjur rusak karena termakan zaman, saya coba menggunakan aplikasi sejuta umat, Adobe Photoshop.

Tapi, karena dikerjakan oleh orang yang amatir, hasilnya nggak terlalu bagus lah.

Saya menyimpan seluruh file versi digital foto-foto hasil repro di sebuah hard disk eksternal yang sengaja saya siapkan sebelumnya. Untuk cadangan dan mempermudah akses sewaktu-waktu dibutuhkan, saya juga berencana mengunggahnya di situs-situs penyedia layanan penyimpanan gratis seperti google drive atau di server jejaring sosial dan blog.
———

WAKTU cuti ternyata tidak cukup lama untuk bisa menyelesaikan semua. Maklum, saya masih harus nyambi dengan kesibukan lain di rumah. Obsesi merepro foto-foto lama itu akhirnya baru benar-benar beres seluruhnya baru-baru ini.

Saya belum bisa mengunggah seluruhnya untuk disimpan secara virtual di banyak fasilitas Cloud dan server-server jejaring sosial serta blog.

Tapi paling tidak, saya sudah berhasil mengkonversinya ke versi digital dan disimpan di hard disk. Mungkin lain waktu, saya mulai mengunggahnya dengan cara dicicil sebagai kloning dan cadangan dari file digital yang sudah ada sekarang.

Nuel benar. Kerja ini butuh kesabaran. Juga waktu yang tidak sebentar.

Saya merasa beruntung karena bisa jadi orang yang dapat menikmati detil demi detil prosesnya. Bukan sekedar menuntaskannya saja.

Hidup itu ternyata indah jika dinikmati, ya.

(*)  

Nb : Oh ya, saya juga iseng membuat video dokumentasi singkat tentang bapak saya dari bahan-bahan foto lama yang sudah dikonversi.
Postingan ini pertama kali diunggah pada 13 Desember 2016 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search