In-Depth yang Berbayar, Lugas yang Gratis

KORAN ini masih berkibar di tengah serbuan informasi berbasis digital online. Harian METRO yang terbit di Malaysia ini dikelola oleh kelompok media The New Straits Times Bhd.

Sekarang, mereka terbit 64 halaman dan masih laku dijual dengan banderol 1,5 ringgit.

Itu sekitar Rp 4.500,- uang kita. Secara umum, koran ini terbit sore hari setiap hari. Tapi, di beberapa negara bagian tertentu, harian METRO beredar pagi hari.

Di salah satu pusat keramaian jalan Dato Sulaiman Johor setelah magrib kemarin, masih banyak warga setempat yang memegang koran ini. Saya sempat heran. Soalnya, rerata warga yang membaca harian METRO, juga mengantongi ponsel pintar di sakunya.

Dengan gadget sakti itu, ‘seharusnya’ mereka tidak begitu butuh lagi membaca surat kabar. Toh, informasi sudah bisa didapat melalui ponsel cerdas mereka. Tapi kenyataaannya, menurut hasil audit Bureau of Circulations, Malaysia, koran ini masih memiliki oplah jual harian mencapai 179.231 eksemplar. Oplah sebesar itu menempatkan mereka sebagai koran dengan oplah terbesar di Malaysia.

Dari sisi banderol harga, nasib harian METRO di Malaysia ini, jauh lebih baik dibanding koran serupa di Singapore : THE NEW PAPER. Koran metro yang terbit di Singapura.

Koran metro Singapura yang dikelola oleh Singapore Press Holdings itu, bahkan sudah dibagikan secara gratis kepada warga di pusat-pusat keramaian seperti Mall dan stasiun MRT. Mereka menyajikan informasi dan dinamika harian kota Singapura. Informasi yang disajikan cenderung lugas dan mengarah ke peristiwa.

Adik saya, Sultan Yohana yang tinggal di Singapura, sempat saya tanyakan saat ia menerima begitu saja koran NEW PAPER di sebuah stasiun MRT di sana beberapa waktu lalu.

“Lho, gratis ya Ton?” Tanya saya.

“Iya, di sini sudah dibagi secara gratis”, katanya. THE NEW PAPER ternyata memang sudah dibagikan gratis sejak desember 2016 kemarin.

Dengan kebijakan gratis itu, koran THE NEW PAPER mungkin sekali tinggal berharap keuntungan dari sektor pendapatan iklan saja. Tapi, melihat tampilan koran mereka, rasanya koran itu masih cukup kuat untuk bertahan dengan pendapatan tersebut. Iklannya lumayan banyak.

Yang penting, koran tetap bisa terdistribusi luas dan menjangkau banyak pembaca. Ini kunci utama untuk meraih simpati pemasang iklan, kan?

Di laman wikipedia, THE NEW PAPER ternyata memang punya target penyebaran hingga 300.000 eksemplar per hari.

————————
HARIAN METRO Malaysia mengklaim diri masih punya jutaan pembaca. Oplah mereka tersebar mulai Malaysia Barat (Semenanjung Malaya, pen) hingga Sabah dan Sarawak.

Saya penasaran. Bagaimana koran ini tetap bisa bertahan dan katanya tetap menguasai pasar di tengah maraknya informasi yang disajikan secara online?

Iseng-iseng, saya pinjam koran METRO milik seorang penjual nasi goreng di salah satu kawasan pusat keramaian jajan di Johor. Kertasnya bagus jika dibandingkan dengan banyak koran harian sejenis terbitan dalam negeri.

Saya mulai menyimak dari halaman pertama. Ada lima informasi yang ditampilkan. Salah satunya jadi judul besar dan merupakan headline hari itu.

“Ini indepth”, begitu pikir saya begitu membaca headline hari itu yang berjudul ‘Gula-Gula Dusta’.

Dua judul lain, sepertinya merupakan informasi timeless yang tidak begitu terikat waktu. Sementara dua sisanya adalah informasi hangat tentang selebriti setempat serta persiapan para siswa di Malaysia menyongsong perayaan hari kemerdekaan negara itu akhir Agustus ini.

Kemudian, saya mulai membuka lembar-lembar lain koran itu. Cukup simpel untuk digenggam dan dibolak-balik karena bentuknya yang seperti tabloid.

Harian METRO yang terbit 64 halaman hari itu, total punya 16 lembar komersil yang full color. Itu belum ternasuk berbagai iklan lainnya yang menyisip di halaman lain.

Yang sedikit mengejutkan, ada satu halaman iklan full color yang justru diisi oleh promosi sebuah website! Isinya ajakan untuk mengunjungi laman online tersebut.

Dari sisi konten, saya menghitung setidaknya 75 persen konten informasi yang terbit di koran itu bersifat indepth dan timeless. Sisanya baru informasi harian yang sebenarnya bisa didapatkan  pembaca koran itu di laman-laman media online setempat.

Oh, ya. Koran METRO Malaysia ini juga disajikan dengan tampilan dan bahasa yang ngepop. Berbeda dengan The New Straith Times yang disajikan lebih konvensional.

Untuk mengikuti perkembangan, METRO Malaysia juga menyajikan satu halaman penuh yang berisi interaksi pembacanya. Mereka menamakan rubriknya : Reaksi.

Di “Reaksi”, pembaca METRO bisa mengirim respon, tanggapan terhadap peristiwa atau tema yang sedang hangat hingga menyampaikan uneg-uneg dan kritik terhadap layanan umum atau bernarsis ria lewat aksi foto yang lagi ngetren, GROUFIE.

Kata desain grafis di kantor saya, Monica Pradilla, GROUFIE ini merupakan pengembangan SELFIE. Tapi lebih heboh karena dilakukan bersama rekan atau kerabat. Redaksi METRO menggunakan aplikasi WhatsApp untuk berinteraksi bersama pembacanya di rubrik itu.

Saya akhirnya jadi punya jawaban terhadap rasa penasaran saya tadi.

—————————–
BEBERAPA tahun terakhir, bahasan tentang teori ‘disruption innovation’ ramai lagi. Teori ini awalnya dimunculkan oleh Clayton M. Cristensen dan Joseph L. Bower dari Harvard Bussiness Review (hbr.org),  dua puluh dua tahun lalu (1995, pen).

Teori ini memprediksi disruption akan terjadi kalau pendatang baru menciptakan pasar baru melalui teknologi/ inovasi atau membidik segmen Low-end melalui produk yang simpel, mudah diakses dan terjangkau di banyak kalangan (koreksi saya jika salah, pen).

Sesuai teori tersebut, banyak yang melihat bahwa fenomena itu sedang terjadi sekarang. Perubahan tren gaya hidup yang mengarah ke digital, dianggap mempercepat prosesnya. Para pelaku usaha konvensional yang selama ini menjadi raksasa di jalurnya masing-masing, mulai tergerus pemain baru dari generasi milenial yang memiliki cara baru dalam mengembangkan bisnis mereka.

Pakar ekonomi Rhenald Kasali juga menuliskan analisanya tentang hal ini (silahkan browsing untuk mencari tulisan pak Rhenald tentang teori disruption, pen ).

Saya setuju dengan analisa beliau. Tapi, pemain lama yang sudah established, belum akan tergerus seluruhnya oleh pendatang baru yang kaya inovasi serta berbasis teknologi terkini.

Rasanya, kreatifitas yang dilakukan pelaku bisnis konvensional seperti harian METRO di Malaysia dan THE NEW PAPER Singapura tetap jadi obat mujarab untuk  bertahan di bisnisnya. Dengan terus mencari celah-celah kreatif, membuat mereka masih tetap diterima pasar masing-masing.

Walaupun sekarang, mereka mungkin harus berbagi ‘kue’ dengan pemain-pemain baru yang lebih segar, berinovasi penuh dan berdaya dobrak teknologi terbaru. Pesaing mereka yang berbasis online.

Paling tidak hingga kini. Mereka masih diterima pasar di saat yang lain mulai menunjukkan grafik ditinggalkan  atau bahkan tinggal sebatas nama yang tercatat di wikipedia. 

(*) 

Postingan ini pertama kali diunggah pada 3 Agustus 2017 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

1 Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search