Saya & Mereka yang Pilih Bertahan
SEJAK Juni lalu, saya jadi sering pakai transportasi online. Awalnya ada yang aneh. Tapi kemudian jadi biasa.
Berkali-kali pesan, berkali-kali juga saya disapa “mbak” atau “bu“.
Driver atau Rider yang saya pesan, sepertinya yakin bahwa calon penumpang yang berkomunikasi di fitur chat yang disediakan di aplikasi yang saya gunakan itu adalah perempuan.
Apalagi saat memesan transportasi online roda dua, hehe.
“Kayaknya pemakai terbanyak transportasi online perempuan ya”, kata saya pada istri, suatu ketika.
“Kayaknya begitu. Kenapa Bah?”, katanya.
Saya kemudian menjelaskan beberapa pengalaman disapa sebagai wanita padanya. Istri saya cuma senyum-senyum.
Menurut istri yang sudah jadi pelanggan transportasi online sejak lama, kebanyakan pemesan adalah orang sepertinya.
Gak punya atau gak bisa bawa kendaraan. Gak bisa nyetir sepeda motor, apalagi mobil. Dan itu kebanyakan wanita.
Istri saya kerap menggunakan transportasi umum saat saya tidak bisa mengantar atau menjemputnya. Kalau tidak transportasi online roda empat atau dua, ia kerap menggunakan bus Trans Batam.
Kebetulan haltenya tidak jauh dari rumah kami.
Saya jadi pelanggan dadakan transportasi online karena mendadak juga gak punya kendaraan.
Kendaraan yang biasa saya gunakan masuk bengkel. Maklum, usianya sudah uzur sekali. Jadi sering rusak. Saking tuanya, proses perbaikan kali ini memakan waktu yang lama sekali.
Satu kendaraan lain di rumah, saya prioritaskan untuk aktifitas mengantar dan menjemput anak saya -Yodha- ke sekolah.
Saya harus ngaku. Gak bisa selalu menjalankan fungsi sebagai ayah seluruhnya. Seperti untuk mengantar dan menjemputnya di sekolah.
Aktifitas saya kadang padat. Walau sebenarnya sering tidak berbanding lurus dengan pendapatannya.
Peran mengantar jemput anak saya, kadang atau bahkan sering diganti kakeknya.
“Ya. Maaf ya, Yodha”.
———————-
SAYA senang bisa kembali menggunakan transportasi umum lagi. Rasanya seperti muda kembali, hehe.
Kemana-mana, untuk jarak yang tidak terlalu jauh, saya pilih ojek online. Tekan -tekan sebentar di ponsel, Rider segera datang.
Saya kemudian bisa meliuk-liuk di jalanan yang padat dan sampai lebih cepat.
Satu lagi. Saya suka berinteraksi dengan orang baru. Seperti dulu lagi, saat masih muda. Dengan para Driver atau Rider itu. Sembari menumpang kendaraan mereka, saya suka membuka obrolan.
“Sudah lama bawa penumpang begini, pak?” Tanya saya pada seorang Rider.
“Hampir setahun,” katanya.
“Sebelumnya di mana?”
“Di galangan kapal. Order sepi”.
Sang Rider mengaku sempat dalam masa penantian, sambil menunggu project baru dari perusahaan tempatnya bekerja. Hampir setahun.
Tapi, itu waktu yang terlalu lama. Sementara kebutuhan keluarga tidak bisa ditunda.
Menjadi Rider transportasi online adalah pilihannya yang paling masuk akal. Dia sudah ikhtiar untuk bisa bekerja di tempat lain. Tapi sejauh ini belum membuahkan hasil.
“Kondisi lagi sulit. Yang penting sekarang, bertahan dulu lah, bang. Saya sudah tidak bermimpi jadi kaya. Bisa mencukupi kebutuhan dapur, uang sekolah anak, sudah bersyukur sekali”, katanya lirih. Tapi matanya tetap awas melihat ke jalan.
“Ya ya ya”, jawab saya.
———————————–
“MAAF, bang. Saya pikir tadi perempuan”, kata seorang Rider lain di hari berbeda, begitu tiba di depan rumah saya.
“Gapapa, ayo, pak”.
“Ada demo di kantor G****, sekarang ya? Saya lihat barusan di medsos”, sambung saya begitu kami mengawali perjalanan.
“Gak tahu, bang. Saya urusannya narik saja. Sudah bersyukur dapat kesempatan begini. Gak mau macam-macam lah“, katanya.
Si Rider yang usianya saya perkirakan hampir kepala 5 itu bercerita. Ia sempat beberapa kali diajak beberapa kolega untuk berdemo. Tapi ia menolak.
Alasannya sederhana. Ia sudah cukup lelah mencari kerja sejak diberhentikan dari perusahaan tempatnya bekerja sebelum ini.
“Gak mimpi kaya lagi, bang. Hidup sulit sekarang. Begini saja sudah bersyukur sekali”, katanya di perjalanan kami.
“Ya, ya, ya. Sudah beberapa yang berkata begitu”.
———————————
HARI sudah hampir larut saat saya bergegas pulang dari kantor. Waktu yang berbeda lagi. Ini kesekian kalinya saya memilih tidak bawa kendaraan sendiri.
“Lima belas menit lagi bisa, mbak? Saya msh di pasir putih (nama daerah di Batam, pen)”.
Tulis seorang Rider di fitur chat, saat saya memesan melalui aplikasi online.
“Gpp, sy tunggu”.
Saya jawab chatnya. Rasanya malas berdebat atau menjelaskan bahwa saya pria. Bukan wanita.
Lima belas menit kemudian, seorang pengendara motor berhenti tidak jauh dari saya. Tiga meter di hadapan saya. Kepalanya tolah toleh. Seperti sedang mencari-cari seseorang.
Ia tidak mengenakan jaket. Hanya baju hem yang kelihatannya lusuh.
Ia kemudian mengambil ponselnya. Seperti mau mulai menelepon seseorang.
Mendadak, ponsel saya berdering.
“Halo, mbaknya di sebelah mana ya?”
Saya mendengar suara di balik telepon. Berbarengan dengan suara si pengendara yang mengucapkan kalimat serupa di depan saya.
Sambungan telpon langsung saya matikan.
“Bapak G****, ya? Saya yang pesan, pak!” kata saya sambil tersenyum. Kemudian mendekatinya.
Si Rider tersenyum malu. Kemudian mengambilkan sebuah helm dan diberikan ke saya.
“Maaf, ya bang. Saya gak tahu”, katanya.
“Gapapa. Kok gak pakai jaketnya, pak? Saya jadi gak tahu tadi”.
“Tadi siang hujan, bang. Jaket saya basah”, jawabnya.
“Oh, iya. Tadi siang hujan deras” kata saya.
Kami membelah jalan berdua. Jalanan Batam sudah sepi malam itu.
“Sampai malam nariknya, pak? Tinggal di mana? Tanya saya membuka obrolan perjalanan.
“Di Batuaji, bang”, jawabnya.
“Jauh sekali sampai Batam Centre. Ada sewa ke sini tadi?”
“Tidak. Saya memang biasa cari penumpang di Batam Centre. Atau Nagoya. Di Batuaji sulit dapat sewa. Belum banyak yang pesan lewat online”, jelasnya.
“Sampai malam begini tiap hari?”
“Iya, gimana lagi bang. Daripada tak makan keluarga”.
Si Rider yang ini, dulunya operator forklif di sebuah perusahaan di Tanjung Uncang. Perusahaan tempatnya bekerja, berhenti beroperasi karena order perusahaan dari pihak mitra juga berhenti.
“Saya sebenarnya malu, bang. Narik begini. Tapi anak istri butuh makan. Butuh bayar kebutuhan sekolah. Saya tahan malu ini”, katanya.
Dalam sehari, ia mengumpulkan sekitar Rp.180 ribu. Dipotong biaya BBM dan makannya, ia memberikan bersih Rp.100 ribu per hari ke istri. Ini jumlah yang kecil dibanding saat dulu bekerja sebagai karyawan.
“Saya masuk ke Batam tahun 90-an. Cari kerja gampang. Dapat duit gampang. Itulah kita, lupa menabung. Foya-foya. Sekarang kondisi sulit baru terasa, susah”, katanya seperti menyesali masa lalunya.
“Ya, hidup memang tidak bisa diputar ke belakang. Siap atau tidak, kita harus hadapi kenyataan. Hari ini”.
—————————————.
SUDAH beberapa kali, teman baik saya ingin mempertemukan saya dengan sahabatnya. Seorang pengusaha yang liat. Sudah mengalami jatuh bangun di dunia usaha.
Merintis. Berhasil. Salah langkah. Bangkrut. Kemudian bangkit lagi.
Pernah bikin pusat perbelanjaan, ekspansi ke usaha properti sebagai pemilik mall. Tapi, sepertinya ia salah perhitungan.
Usahanya habis dan disita bank. Cuma menyisakan sebuah toko kecil yang disewa di bawah tangga eskalator sebuah mall lain yang bukan miliknya!
Saya mengenalnya bertahun-tahun lalu. Cuma, tidak seakrab teman baik saya itu. Saya tahu, dia sudah bangkit lagi sekarang. Punya beberapa usaha houseware hingga hotel.
“Bisa nanti siang? Dia mau ngobrol banyak dengan kamu”, tanya teman saya itu.
“Bisa, tapi saya numpang ya. Saya gak bawa kendaraan, hehe”, kata saya.
Kami akhirnya bertemu di sebuah pusat makan. Dia cuma ditemani anak gadisnya. Masih kuliah di ITB Bandung. Masuk melalui jalur undangan, bukan tes.
“Saya sudah ambil properti itu (dia menyebut sebuah mall di Batam). Itu punya saya sekarang”, kata si pengusaha liat itu saat bertemu.
“Tapi saya gak tahu mau diapain itu. Kondisi sekarang juga lagi sulit, kan? Lanjutnya.
Ia mengaku trauma dengan usaha mall yang pernah dirintisnya hampir 15 tahun lalu. Yang akhirnya bangkrut. Tapi, ia juga mengaku penasaran.
Ia kemudian menjelaskan rencana pengembangan usaha di aset barunya itu.
Menarik, karena dia berusaha mengkombinasikan dengan usaha digital yang disebut banyak orang sebagai bisnis masa depan. Untuk itu dia ingin dengar saran saya sebagai teman.
Tapi, dia salah. Saya bukan ahli. Cuma sekedar tahu. Saya memberi masukan sepengetahuan saya saja. Kemudian, menghubungi seorang teman baik lainnya yang memang ahlinya, untuk bergabung di obrolan kami siang itu. Dia yang kemudian menjelaskan detil teknis yang lebih mendalam lagi.
Rencana usaha barunya, jauh lebih matang dari yang saya pikirkan. Anak gadisnya yang mahasiswi ITB Bandung itu, sudah menyiapkan beberapa konsep rancangan pengembangan di Ipad yang dibawanya. Ia menunjukkannya ke saya dan teman-teman.
“Kamu yang buat ini”? Tanya saya padanya.
Ia tersenyum malu. Kemudian mengangguk. Saya membayangkan lima tahun lagi, gadis pemalu ini sudah jadi pengusaha milenial. Menggantikan bapaknya yang sudah tua.
“Kondisi sekarang sulit sekali, Bro. Kamu tahu, pengusaha kakap banyak yang pilih tidur. Banyak yang tidak mau putar bisnis mereka. Daripada putar bisnis tapi rugi, mereka lebih pilih jalan – jalan ke luar negeri, hahaha”, kata si pengusaha liat itu tergelak.
“Tapi, ini sebenarnya jadi peluang bagi pengusaha menengah. Saat seperti ini, bisa lebih leluasa mengembangkan karena pesaing yang berat justru lebih sedikit, hehe”, lanjutnya.
“Ya, ya, ya. Selalu ada peluang di tengah kondisi sesulit apapun. Semoga”.
(*)
Foto : Dua anak saya, ilustrasi tidak berhubungan dengan tulisan
Postingan ini pertama kali diunggah pada 26 Agustus 2018 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com