21 TAHUN LALU DAN SEKARANG, ADA APA INI?
SAYA gak pernah klaim sebagai bagian di gerakan sembilan delapan. Walaupun tercatat sebagai mahasiswa saat itu. Walaupun sempat jadi korban juga di medio Mei itu ;
Dipukul dengan pentungan karet yang nyerinya sampai ke tulang-tulang!
Saya sudah ikhlas kok jadi salah satu korbannya. Tapi, saya gak setuju dengan demo itu.
Demo yang gelombangnya seperti air bah. Tiba – tiba merata di banyak kota.
Ada apa?
Otak muda saya bertanya-tanya?
Mahasiswa saat itu mendadak hebat. Bisa bergerak dengan tuntutan sama. Dalam waktu hampir bersamaan. Dalam jumlah banyak di banyak kota di negara kita.
Mahasiswa saat itu jadi begitu fasih menyuarakan hal-hal berat tentang negara. Jadi lebih tahu tentang informasi yang sebelumnya dianggap tabu untuk dipublikasikan.
Ada yang begitu lantang mencerca kepala negara yang beberapa bulan sebelumnya masih begitu dihormati.
Padahal juga baru saja ditetapkan kembali melalui Sidang Istimewa wakil rakyat kita di MPR setelah pemilu usai digelar.
Ada apa?
Kenapa mereka diam saat penetapan oleh MPR?
Apa benar karena kondisi ekonomi yang merosot cepat saat itu?
Kenapa bisa merosot cepat?
Padahal tiga tahun lagi, kita sudah akan tinggal landas?
Di mata saya, mereka jadi terlihat berbeda dengan hari-hari biasa sebelumnya. Di bulan itu.
——————————————
PADAHAL saat ujian semester, menjawab soal-soal pertanyaan Kewiraan yang dibuat dosen saja (salahsatumatakuliahdasarkamisaatitu, pen), masih banyak yang terlihat kepayahan. Maaf,
Seperti saya misalnya.
Di mana dan dari siapa mereka dapat “pengetahuan”baru yang banyak diumbar saat aksi?
Oh ya. Media komunikasi kami saat itu, juga tidak selancar dan semudah sekarang, lho.
Yang realtime mungkin pesawat telepon.
Memang, sudah ada yang mobile. Tapi belum familiar karena masih sangat mahal. Yang bentuknya fix, biayanya juga masih tergolong mahal untuk interlokal.
Bayangkan jika harus berkoordinasi dengan rekan-rekan lain di lain kota untuk gerakan besar di bulan Mei tahun sembilan delapan itu.
Hari-hari biasa, banyak di antara mereka, termasuk saya yang justru lebih memilih menggunakan kartu telepon yang diisi ulang untuk komunikasi realtime (mahasiswa dekade 90-an tahu, kartu apa itu dan di mana belinya, pen ).
Pertimbangannya karena murah. Terjangkau di kantong mahasiswa. Itu juga tidak seluruh telepon umum kartu yang bisa diakali seperti itu. Dan, harus sembunyi-sembunyi karena resikonya besar!
Yang lain? Lebih tidak realtime! Seperti korespondensi surat menyurat dan telegram.
Tapi demonstrasi itu bisa begitu massif. Komunikasi dan koordinasinya begitu lancar.
Kok rapi ya?
Apa itu terkoordinir?
Jika iya, siapa yang mengkoordinir?
Pergerakan itu menggunakan dana patungan para mahasiswa, benar?
Tuntutannya juga sama antara satu wilayah dengan lainnya, ya?
Padahal, hari – hari sebelumnya, rata-rata mereka sebenarnya banyak yang sama dengan saya.
Anak-anak muda yang disibukkan dengan beragam kegiatan. Mulai aktifitas perkuliahan yang beranekaragam. Ada juga yang masih suka nongkrong-nongkrong dengan bahasan ringan saja tentang kesenangan. Atau, menyalurkan hobi kegiatan saat waktu luang.
That’s all.
Lainnya? ngobrolin lawan jenis, mungkin.
Isi kantong? Rata-rata kami sama. Masih berharap kiriman orang tua dengan jumlah yang perlu diirit-irit.
Khas kebanyakan mahasiswa Indonesia di zaman itu.
Sesuatu yang berbeda dan berubah dengan cepat, kemudian terjadi.
Di bulan dan tahun itu.
Jauh tahun kemudian, saya baru dapat jawabannya.
Wallahualam.
———————————-
DUA puluh satu tahun kemudian, fenomena hampir serupa kembali terjadi.
Mahasiswa kembali bergerak di banyak kota. Dengan tuntutan yang hampir seragam. Kali ini penolakan tentang pengesahan RUU KPK serta rencana penetapan RKUHP.
Di beberapa aksi, malah sudah ada yang mencerca kepala negara dengan sebutan “bego“.
Apa pantas begitu? Sejelek apapun belio, kan sebagian besar rakyat baru saja memilihnya jadi presiden lagi?
Lupa ya?
Seperti tiba-tiba. Setelah sekian lama label mahasiswa dihujat karena lebih bersikap pasif dan diam dalam melihat kondisi bangsa.
Termasuk saat kisruh dan pro-kontra dalam proses pemilu presiden yang baru usai tahun ini.
Ada apa ini?
Sekarang, otak saya yang sudah mulai tua ini kembali bertanya-tanya.
(*)
Nb : maaf, ini bukan tulisan populis untuk mereka yang memuja reformasi. 21 tahun lalu atau saat ini.
Gambar ilustrasi : Lukisan Pawel Kuczynki
Postingan ini pertama kali diunggah pada 24 September 2019 di blog lama saya : noesaja.wordpress.com