Kisah Akulturasi Suku Laut Tiang Wangkang ; Dari Animisme ke Budaya dan Keyakinan Baru
TIANGWANGKANG adalah sebuah kampung kecil di ujung Batam, dekat jembatan I Barelang. Dulunya, kampung yang dihuni sebagian besar suku laut itu, adalah pulau tersendiri.
Proses reklamasi dilakukan untuk membuka keterisolasian warga di sini sehingga bisa terhubung melalui jalur darat dengan Batam sekitar tahun 2005 lalu.
“Awalnya, hanya kami sekeluarga saja dari suku laut yang mendiami wilayah ini, kakek kami yang mengawali untuk hidup di darat sini”, kata Amos, seorang suku laut yang kini menjabat sebagai ketua RT di kampung Tiangwangkang saat disambangi kami.
Perkembangan kemudian, kampung Tiangwangkang dihuni oleh tujuh kepala keluarga (KK) yang menjadi cikal bakal penduduk suku laut yang berkembang sekarang.
Sebagian besar warga di sini adalah suku laut yang akhirnya memilih hidup menetap setelah turun temurun menjalani kehidupan secara nomaden di sekitar perairan Kepulauan Riau.
Amos bercerita, dahulu kala ketika buyut Suku Laut baru pertama kali menginjakkan kaki di wilayah ini, banyak yang menolak untuk tinggal di daratan. Alasannya karena mereka merasa tidak bisa melakukan apa-apa di daratan.
Seiring waktu dan seringnya berinteraksi dengan warga Tionghoa yang lebih dulu mendiami wilayah ini, beberapa suku laut akhirnya memutuskan untuk tinggal di daratan. Mereka diajari cara membuat arang dari kayu bakar sebagai mata pencarian baru selain dari hasil laut.
“Mata pencarian orang tua kami saat menetap di darat dulu adalah membakar kayu bakau untuk dijadikan arang,” kata Amos.
Animisme dan Percampuran Budaya Baru
SEJAK memutuskan hidup di darat, suku laut di sini mulai belajar mengenal kebiasaan dan budaya lain selain yang mereka ketahui sebelumnya. Begitu juga dengan kepercayaan agama yang dianut.
Sebelum memiliki agama, ucap Amos, dulu Suku Laut memiliki kepercayaan animisme pada benda-benda atau hal yang dianggap gaib atau keramat.
Menurut Amos yang kini memiliki kepercayaan Nasrani itu, leluhurnya dulu bahkan menganjurkan untuk mengunjungi tempat-tempat keramat dan memberikan persembahan.
Tempat-tempat keramat itu oleh leluhur suku laut biasanya diberi tanda bendera kecil berwarna kuning.
Seiring perkembangan zaman, budaya animisme Suku Laut yang tinggal di Tiangwangkang pun memudar. Jika dulunya mereka menyembah tanjung, pohon maupun batu, kini Suku Laut sudah menyembah Tuhan.
“Di sini kami telah memiliki Agama, ada kristen ada juga yang muslim,” ungkapnya.
“Budaya lama sudah kami tinggalkan. Yang kami pertahankan adalah budaya menangkap ikan, dan Babi di darat dengan tombak,” tuturnya.
Dulunya, leluhurnya sering mendaratkan perahu-perahu yang sekaligus tempat tinggal mereka di wilayah-wilayah atau pulau yang dianggap memiliki hal keramat atau gaib.
“Kalau di sekitar Barelang ini, biasanya yang paling besar keramatnya itu di Tanjung Gundap, Datok-datok kami sering ke sana untuk persembahan”, kata Amos sambil menunjuk arah Tanjung Gundap yang berada tak jauh dari Tiangwangkang.
Di kampung ini, ada sebuah Dapur Arang tempat pembakaran kayu bakau dan kapal tua yang tenggelam. Keduanya jadi peninggalan leluhur mereka saat pertama kali memilih untuk menetap di darat dan memulai budaya serta kepercayaan baru.
“Dapur arang itu masih saya kelola, tapi hanya setahun sekali bakarnya. Sekali bakar 4 ton”, kata Amos sambil menunjuk sebuah dapur arang tua yang berada tak jauh dari kediamannya.
Kisah Kapal Tongkang dan Jeruk Limau Besar
SUKU laut atau orang Sampan, begitu biasa disebut orang, banyak yang sudah tidak kolot seperti dulu lagi di kampung ini.
Rumah Amos, contohnya. Walaupun terletak di pinggir laut dengan bertopang pada tonggak-tonggak di pelantar, terlihat sudah modern. Dinding rumahnya sudah beton. Ia dan keluarga juga tidak asing lagi dengan piranti elektronik seperti televisi, komputer hingga gawai ponsel dalam kehidupan sehari-hari.
Kami kemudian berkeliling di kampung kecil ini.
Untuk mendukung konsep wisata kerakyatan yang sempat digulirkan pemerintah sebelum Pandemi Covid 19 menyerang, hampir seluruh rumah warga suku laut di sini, dihiasi dengan lukisan bendera dari negara-negara di dunia.
Contohnya rumah Amos yang dilukis dengan bendera negara Korea Selatan.
Perubahan dan akulturasi besar telah terjadi pada suku laut yang mendiami wilayah ini. Padahal, dahulunya Suku Laut lebih banyak menghabiskan hidupnya di lautan dan tinggal berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya.
Bahkan konon, perahu mereka bersandar di daratan hanya jika terjadi badai besar di lautan atau saat memenuhi kebutuhan ekonomi.
Interaksi dengan warga lain yang tinggal di darat, biasanya sebatas hubungan ekonomi jual beli atau barter barang untuk kebutuhan sehari-hari.
Suku laut yang ada di kampung Tiangwangkang ini, diperkirakan sudah ada sejak awal dekade 60-an silam. Ikhwal nama Tiangwangkang yang disematkan sebagai nama kampung, ada beberapa versi yang disampaikan.
Ada yang menyebut, pada suatu waktu sekitar tahun 1960-an, sebuah kapal cina bernama Tiangwangkang, berlabuh di pesisir yang kini berada di kawasan Jembatan I Bareng tersebut. Maka sejak saat itu pulalah kawasan tersebut dikenal warga di sekitar perairan Barelang sebagai Tiangkwangkang.
“Persisnya tidak Tiangwangkang, itu penyebutan yang sudah disesuaikan dengan lidah orang sini. Tiang itu jika ditulis dalam aksara Tionghoa jadi Tiu”, ujar Hardi, seorang warga keturunan Tionghoa yang ada di kampung Tiangwangkang.
Hardi dan keluarga baru beberapa tahun ini memilih untuk menetap di kampung Tiangwangkang. Sebelumnya, keluarga mereka tinggal selama puluhan tahun di wilayah sebelah Tiangwangkang, dekat lokasi yang kini dijadikan waduk Tembesi.
Akses di kedua wilayah memang tidak terlalu jauh walau menggunakan jalur laut. Dari perairan sekitar Tembesi yang kini dibendung jadi waduk menuju ke Tiangwangkang, hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan laut dengan melintasi bagian bawah jembatan I Barelang yang fenomenal itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Amos. Menurutnya, nama Tiangwangkang memang diambil dari nama kapal Tongkang yang dulu sempat berlabuh di sekitar wilayah ini puluhan tahun silam.
“Iya, itu nama tongkang dari Tiongkok sana. Kakek saya yang tahu karena mulai tinggal menetap di sini dulunya”, kata Amos yang mendapat limpahan jabatan ketua RT dari ayahnya sejak tahun 2019 lalu.
Wangkang juga berarti jeruk besar, menurutnya. Dahulu, persis di depan kediamannya saat ini, ada pohon jeruk dengan ukuran besar yang tumbuh. Keluarga Amos menyebutnya sebagai Wangkang.
Kampung Kecil dengan 3 Rumah Ibadah
ADA yang menarik di sini. Walaupun kecil dengan area sekitar 7,15 hektar dan hanya dihuni sekitar 80 KK dan 185 jiwa, di kampung Tiangwangkang berdiri 3 rumah ibadah. Ketiganya menjadi saksi bisu akulturasi budaya leluhur orang Sampan dengan budaya dan kepercayaan baru yang dikenal mereka saat ini.
Sebuah gereja dengan dinding papan, disebutkan sudah terbangun di sini sejak awal tahun 1970-an, saat awal-awal orang-orang suku laut ini memilih untuk menetap di darat.
Di sebelahnya, juga sudah dibangun gereja yang lebih besar. Melihat kondisinya, gereja yang satunya baru didirikan beberapa tahun ini.
Di bagian atas kampung Tiangwangkang, kami juga menjumpai sebuah bangunan mushala atau langgar untuk tempat peribadatan warga yang beragama Islam.
Sementara di gerbang masuk kampung yang kini ditetapkan pemerintah kota Batam sebagai salah satu kampung tua itu, kami juga menjumpai bangunan kelenteng kecil untuk peribadatan umat Konghucu.
“Kalau kelenteng ini sebenarnya dibangun oleh keluarga, tapi bisa juga dipakai untuk ibadah warga yang mau”, kata Hardi saat ditemui.
(*)
Photo-photo & visual udara : Pardomuan Nainggolan, Bintoro Suryo