Kasuari, Burung Paling Berbahaya & Upaya Mendomestikasinya

Kalau kau berselancar di mesin pencari dengan kata kunci semacam “world’s most dangerous bird” atau “deadliest bird”, maka sebagian besar, kalau bukan seluruh hasilnya, bakal mengerucut pada satu jenis burung: ‘kasuari’.


BURUNG ini merupakan hewan endemik kawasan Sahul, tepatnya di Nugini, Kepulauan Aru, serta Australia sebelah timur laut. Kasuari termasuk ratite, yakni burung-burung besar yang tak bisa terbang. Pada grup ini terdapat hewan lain seperti burung unta (ostrich), emu, dan rhea.

Kasuari punya casque, semacam helm menjulang bagai rambut mohawk di kepala, yang membuatnya tampak intimidatif dibandingkan burung-burung sejenis.

Selain armor sekaligus senjata yang membuatnya bisa melakukan serangan dengan kepala (head-butt) itu, kasuari semakin menyeramkan sebab jenis terbesarnya bisa mencapai tinggi hingga 1,8 meter. Tubuh besar itu ditopang cakar besar-tajam nan mematikan.

Selain memang punya reputasi yang menakutkan, faktanya kasuari bisa jadi sangat agresif, terutama jika diri atau bayinya terancam. Kasuari disebut-sebut telah membunuh beberapa orang.

Dalam catatan resmi, kasuari pernah membunuh remaja Australia yang mencoba menyerangnya pada April 1926. Yang terbaru, pada April 2019, seekor kasuari membunuh pria Florida yang memeliharanya.

Genus kasuari terbagi dalam tiga spesies yang masih eksis, kasuari gelambir tunggal (Casuarius unappendiculatus), kasuari gelambir ganda (Casuarius casuarius), dan yang terkecil, kasuari kerdil (Casuarius bennetti). Satu spesies telah punah, yaitu kasuari kecil (Casuarius lydekkeri).


Kasuari juga kerap disebut “burung dinosaurus” berkat wujudnya yang menyerupai velociraptor, atau yang lebih mirip lagi, suatu spesies dinosaurus yang baru dideskripsikan pada 2017 lalu, Corythoraptor jacobsi.

Kasuari tercatat sebagai burung terberat kedua di dunia, hanya di bawah burung unta.


Sementara untuk tinggi badan, kasuari merupakan yang tertinggi ketiga di dunia setelah burung unta dan emu. Di hutan hujan Australia dan Nugini, kasuari menjadi hewan vertebrata terbesar yang masih eksis.

Di Indonesia, kasuari dijadikan sebagai lambang Provinsi Papua Barat, juga dijadikan nama untuk Komando Daerah Militer provinsi tersebut, Kodam Kasuari.

Ketika baru menetas dan akhirnya melihat kehidupan di luar cangkang, burung ini akan menganggap makhluk yang pertama dilihatnya sebagai orang tua. Ini yang membuat manusia lebih memilih mengambil telurnya ketimbang menangkap yang telah dewasa. Urusan mengambil telur kasuari ini telah berlangsung selama belasan ribu tahun di Nugini, jauh sebelum upaya mendomestikasi ayam dan angsa.

Andai kasuari tidak kelewat berbahaya, kita hari ini mungkin mengelompokkannya sebagai unggas, alih-alih menyebutnya sebagai burung paling berbahaya di dunia.

Melihat Perilaku Manusia dari Cangkang Telur Kasuari terbiasa hidup menyendiri. Namun, selama Mei hingga November, mereka meninggalkan gaya hidup macam itu dan mencari pasangan untuk kawin. Usai kasuari betina menetaskan telur, ia akan pergi. Telurnya dijaga dan dierami selama 50 hari oleh kasuari jantan.

Maka, demi mendapatkan telur, para pemburu zaman lampau perlu membunuh atau menghindari si pejantan dengan segala senjata dan jurus.

Sebelumnya, mereka harus terlebih dulu mengetahui di mana kasuari membangun sarang. Itu pun bukan urusan sepele lantaran kasuari tidak pernah kembali ke sarang yang sama setiap tahun.

Berdasarkan penelitian terbaru, manusia di Nugini diperkirakan telah mengumpulkan telur kasuari tahap akhir (hampir menetas) sejak 18 ribu tahun lalu.

“Kembali di zaman Pleistosen Akhir, manusia sengaja mengumpulkan telur-telur ini dan penelitian ini menunjukkan bahwa orang tidak hanya memanen telur untuk memakan isinya,” kata Kristina Douglass, asisten profesor antropologi dan studi Afrika dari Penn State University, yang juga terlibat dalam penelitian itu.

“Perilaku yang kita lihat ini terjadi ribuan tahun sebelum domestikasi ayam,” lanjut Douglass.

Manusia baru mendomestikasi burung lain seperti ayam sekitar 9.500 tahun lalu, dan angsa baru coba dijinakkan sekitar 3.000 tahun lalu. Data yang disajikan dalam penelitian itu menunjukkan indikasi awal upaya manusia dalam pembiakan kelas Aves (burung) di mana pun di dunia.

Menurutnya fakta bahwa kasuari-lah yang terlebih dulu coba dijinakkan cukup menarik karena mereka jelas bukan unggas kecil.

“Ini adalah burung besar, kasar, yang dapat mengeluarkan isi perut Anda. Kemungkinan besar jenis kerdil yang beratnya 20 kilogram.”


Lewat cangkang telur, para ilmuwan mengembangkan metode baru untuk menentukan berapa umur embrio burung ketika telur dipanen. Mereka menerapkan pendekatan ini pada lebih dari 1.000 fragmen fosil telur kasuari berusia 18 ribu hingga 6.000 tahun.

Sebelum menerapkannya pada fragmen fosil kulit telur yang ditemukan di situs-situs seperti Yuku dan Kiowa di Papua Nugini, para ilmuwan menguji model mereka pada telur emu dan burung unta modern.

“Apa yang kami temukan adalah bahwa sebagian besar cangkang telur dipanen pada tahap akhir,” kata Douglass.

Cangkang telur tahap akhir ini menunjukkan bahwa manusia masa itu yang tinggal di dua situs tersebut memanen telur ketika embrio kasuari telah sepenuhnya membentuk anggota badan, paruh, cakar, dan bulu. Petunjuk selanjutnya ada pada manusia masa kini. Di Papua Nugini masa kini, kelompok pribumi masih mengambil telur dari sarang burung kasuari.

Orang-orang di dataran tinggi kawasan itu membesarkan kasuari sebagai unggas semi-jinak. Bulu mereka digunakan dalam ritual dan untuk perdagangan, dan daging mereka dianggap sebagai makanan lezat. “Kemungkinan kasuari juga sangat dihargai di masa lalu karena mereka adalah salah satu hewan vertebrata terbesar di New Guinea,” jelas Douglas.

Dalam penelitian yang sama disebutkan bahwa manusia telah mencapai bagian utara Sahul (Australia dan Nugini) setidaknya 42 ribu tahun yang lalu. Mereka berbagi zona pegunungan bersama kasuari dan megafauna seperti kanguru raksasa (Protemnodon spp.) serta serigala berkantung (Thylacinus cynocephalus).

Tidak ada bukti jelas bahwa manusia Pleistosen mendorong spesies megafauna menuju kepunahan total, tetapi kasuari adalah satu-satunya spesies vertebrata bertubuh besar asli kawasan itu yang masih hidup di pegunungan saat ini.

Dengan ukuran besar dan perilaku kasuari (atau burung-burung ratite lainnya) yang teritorial dan tidak sungkan menyerang balik predator, memang cukup mengejutkan mendapati burung ini menjadi kandidat pertama yang berinteraksi dekat dengan manusia jauh sebelum burung-burung yang lebih kecil dan relatif tidak berbahaya seperti ayam dan angsa.

Dengan reputasi yang mematikan dan jejak sebagai vertebrata besar yang telah beredar dalam waktu yang lama, ada baiknya memang manusia mengumpulkan telur dari unggas-unggas lain saja. Atau paling jauh menjadikan kasuari sebagai unggas semi-jinak sepertinya sudah langkah paling tepat.


Tak Bisa Terbang

BURUNG dengan nama Casuarius casuarius ini terbilang burung darat dengan bobot yang cukup berat dan tidak bisa terbang.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto di laman tempo mengatakan umumnya berat burung kasuari berkisar 58 kilogram dengan tinggi 1,5 meter. Sayapnya terlalu kecil untuk menopang badan yang berat itu terbang ke udara.

“Bagian mahkota, bulu-bulu kasar, dan sayap kecilnya yang melengkung di bawah tubuh untuk melindungi sisi tubuh, diciptakan sedemikian rupa untuk menghindari luka saat menembus vegetasi lebat,” kata Hari Suroto, 6 November 2020 lalu.

Dengan kepala yang merunduk ke depan dan leher serta bahu yang hampir horizontal, burung ini dapat dengan mudah bergerak cepat menerobos semak belukar. Kaki serta kuku yang keras dan tajam adalah senjata utama burung kasuari.

Kakinya mampu berlari mencapai 50 kilometer per jam.


Karena kegesitannya, bukti keberadaan burung kasuari seringkali hanya dapat dilihat dari sisa-sisa kotoran dan jejak tiga jari seperti dinosaurus dalam hutan yang berlumpur.

Bulu kasuari berbeda dengan bulu burung lainnya. Bulu burung kasuari berwarna hitam menyerupai rambut manusia. Oleh masyarakat Papua, bulu-bulu burung kasuari dimanfaatkan sebagai hiasan kepala atau sebagai penghias noken. Adapun dagingnya dikonsumsi dan bagian tulang, paruh, kuku dijadikan senjata tradisional.

Burung kasuari berkembangbiak dengan bertelur. Telur kasuari berwarna hijau dengan berat sekitar 650 gram. Burung kasuari hanya memiliki satu butir telur selama masa bertelur.

Kasuari betina menghabiskan waktu selama dua bulan untuk mengerami dan menjaga telurnya. Setelah menetas, anak kasuari berkembang sangat cepat. Selama sembilan bulan, anak kasuari ini akan dijaga dan dibesarkan oleh Kasuari jantan.

Anak burung kasuari memiliki bulu-bulu yang menarik, yakni bergaris-garis hitam dan bulu yang berwarna coklat muda akan berubah menjadi hitam pekat saat dewasa. Kulit leher dan kepala botak berwarna biru, hijau, terkadang orange tergantung jenisnya. Pada bagian kepala terdapat mahkota tanduk.

Burung kasuari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Burung ini menjadi agen penghijau hutan karena biji dari buah yang dimakan akan dikeluarkan kembali bersama kotoran, kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sebab itu, penting untuk melestarikan populasi burung ini.

Pelaut Belanda membawa burung kasuari pertama kali ke Eropa pada akhir abad ke-16. Di sana, burung kasuari mendapat perlakuan istimewa karena dipelihara dalam kebun binatang pribadi milik Raja Rudolph II.

(*)

Dinukil dari : 
- tirto.id, judul : "Usaha Manusia Mendomestikasi Burung Paling Berbahaya di Dunia"
- tempo.co, judul : "Burung Kasuari Papua, Tak Bisa Terbang dan Diboyong ke Belanda Abad ke-16"

Cover : Burung Kasuari. © wallgigs.com
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search