Kisah Orang Laut, Penduduk Asli Singapura yang Kini Terlupakan
TAK banyak yang tahu, suku Orang Laut adalah penduduk asli pertama yang mendiami wilayah Singapura. Kini, nasib mereka sudah terlupakan. Bagaimana kisahnya?
Seiring berjalannya waktu, suku Orang Laut telah berasimilasi dengan budaya Melayu dan kehilangan bahasa aslinya. Tapi keturunan pengembara laut ini menghidupkan kembali budaya mereka melalui makanan, seperti yang dilakukan Asnida Daud.
Kunjungan ke apartemen mendiang bibinya Asnida Daud selalu menjanjikan sajian yang menggiurkan, dengan seluruh anggota keluarga duduk bersila di lantai dan makan dengan tangan seperti biasa.
Asnida terus membuat makanan dengan satu-satunya cara yang dia tahu. Ini dilakukan Asnida bertahun-tahun setelah bibinya pindah ke apartemen kecil di Clementi, sebuah kawasan perumahan di barat daya Singapura, jauh dari desa di tepi Pulau Sudong, tempat dia dulu tinggal,
Asnida memasak untuk membangkitkan nostalgia terhadap pantai pasir putih dan cara hidup riang Orang Laut. Bintang utama beragam hidangan itu biasanya asam pedas (sup ikan asam dan pedas) yang dibuat dengan Ikan Pari. Ini adalah teman sempurna untuk sepiring nasi putih lembut.
“Pedasnya sampai membuat keringatmu menetes ke nasi saat makan, tapi kamu tidak bisa berhenti makan,” kata Asnida, seperti dikutip dari BBC.
Pulau Sudong sekarang merupakan daerah pelatihan militer. Ini adalah pulau di lepas pantai selatan Singapura yang pernah menjadi rumah bagi Orang Laut (bahasa Melayu untuk “manusia laut”). Mereka adalah penduduk asli dan diyakini sebagai penduduk pertama Singapura.
Penyebutan paling awal tentang kelompok pengembara laut ini berasal dari sebuah buku seorang pelancong China ke Singapura pada abad ke-14, ratusan tahun sebelum kedatangan Inggris pada 1819.
Suku Orang Laut Singapura termasuk Orang Seletar yang tinggal di hutan bakau dekat Sungai Seletar, Orang Biduanda Kallang dari Sungai Kallang, Orang Gelam di akhir Sungai Singapura, dan Orang Selat dari Kepulauan Selatan.
Ada juga komunitas Orang Laut lainnya yang tinggal di rumah perahu di laut di bagian selatan Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau di Indonesia.
Ibunya Asnida adalah Orang Laut, yang seperti suku Orang Galang di Indonesia, mereka pernah tersohor sebagai pendayung bagi Sultan Palembang.
Ketika berbincang dengan Asnida, yang kini menjadi pendidik dan pembela pelestarian warisan Orang Laut, kita bisa merasakan kegembiraannya saat mengingat kenangan manis memakan asam pedas semasa remaja.
Asnida mengatakan, yang menonjol dari asam pedas di pulau utama karena dibumbui dengan lada hitam yang dihancurkan menggunakan batu giling tradisional.
“Asam pedas buatan bibinya terkenal di kalangan penduduk Pulau Sudong,” kata Asnida.
Hidup ala Orang Laut
Orang Laut secara tradisional hidup dari laut. Mereka mencari makan dan berburu di hutan bakau, memancing di sungai dan laut, lalu beralih ke tanaman dan makanan laut saat mengobati penyakit dan cedera.
Mereka harus berpikir keras, mengetahui apa yang harus dicari saat air pasang atau surut. Makanan lebih dari sekedar rezeki tetapi cara hidup.
Namun seiring waktu, dengan pembongkaran desa mereka dan perpindahan ke perumahan umum dari tahun 1960-an hingga 1990-an karena industrialisasi Singapura, Orang Laut menjadi terbiasa dengan perkotaan.
Sebagian besar mereka lantas diidentifikasi sebagai Melayu, sebuah kelompok etnis di Singapura yang mencakup masyarakat adat termasuk orang-orang dari Kepulauan Indonesia. Mereka belakangan juga menganut Islam.
Pemukiman Orang Laut terakhir di Singapura berada di Pulau Seking. Namun pemukiman itu sudah dihancurkan pada tahun 1993. Kini, pulau itu bergabung dengan Pulau Semakau menjadi tempat pembuangan sampah.
“Hanya tersisa keturunan Orang Laut di Singapura hari ini,” kata antropolog Vivienne Wee. Dia selama bertahun-tahun melakukan penelitian lapangan ekstensif terhadap masyarakat adat di Singapura dan Kepulauan Riau.
“Tidak ada lagi konteks kesukuan. Generasi muda hanya memiliki ingatan generasi tua,” ujarnya.
Pernyataan itu dibenarkan oleh Asnida. Dia ingat melihat mendiang neneknya menghancurkan rempah-rempah dengan batu giling ketika dia baru berusia empat tahun. Hari ini batu giling yang sama tergeletak di rumah ibunya sebagai pusaka keluarga yang berharga.
Dia memiliki kenangan makan telur belangkas rebus (kepiting tapal kuda) yang pekat dengan tekstur dan rasa yang mirip dengan kuning telur asin dan siput ranga, yang direbus dengan air panas yang dituangkan ke dalam cangkang, pada kunjungannya ke Pulau Sudong.
Asnida juga ingat pernah mempelajari masakan Orang Laut yang dianggap memiliki manfaat kesehatan. Bibinya, misalnya, menyajikan bubur dengan timun laut yang bergizi setelah Asnida melahirkan.
Sementara itu, mendiang nenek buyut Firdaus yang seorang bidan kerap membuat salad teripang mentah dengan buah cermai, asam jawa, cabai kering, terasi, dan kelapa goreng.
“Makanan Orang Laut bukan hanya tentang kelangsungan hidup, tetapi salah satu cara nyata untuk mengekspresikan identitas kami,” kata Asnida.
“Hidangan kami mencerminkan pengetahuan dan pengalaman orang-orang kami. Misalnya, penggunaan asam jawa dalam asam pedas bukanlah suatu kebetulan.
“Asam jawa memiliki sifat antibakteri, dan rasanya yang manis dan asam melengkapi rasa ikan, sumber utama protein Orang Laut,” pungkasnya.
Melestarikan Warisan Kuliner Orang Laut
Bagi Mohamed Shahrom Bin Mohd Taha, cara hidup Orang Laut mengisyaratkan bagaimana kita bisa hidup lebih berkelanjutan juga.
“Makanan adalah hadiah dari laut. Hormati laut dan jangan memancing secara berlebihan,” kata guru sejarah yang kakek neneknya Orang Laut, dari suku Orang Biduanda Kallang dan Bintan Penaung itu.
“Hari ini kami sangat terputus dari rantai makanan kami. Saya tidak memancing tetapi saya membawa anak-anak saya berjalan-jalan di pasang surut, dan liburan kami dihabiskan di laut,” kata Orang Laut Singapore.
Mendalami pengetahuan Orang Laut melalui makanan bukan hanya cara bagi keturunan Orang Laut untuk berhubungan kembali dengan masa lalu.
Ini juga bisa menjadi wahana bagi warga Singapura untuk mengatahui lebih banyak tentang peran Orang Laut dalam sejarah, di luar narasi nasional yang menekankan masa lalu kolonial Singapura.
“Kuliner Singapura bukan hanya tentang kategori luas makanan China, Melayu, dan India,” kata penulis buku kuliner Singapura, Pamelia Chia.
Kita perlu merayakan keragaman kuliner kita, dan variasi kecil yang bisa dimiliki suatu hidangan yang sama ketika dimasak oleh komunitas yang berbeda.
“Mengingat bahwa Orang Laut adalah penduduk asli Singapura, kisah mereka, termasuk masakan mereka, adalah suatu hal yang lebih penting untuk diceritakan karena hal itu menangkap momen dalam waktu di dalam sejarah Singapura.”
Sejak Orang Laut Singapore diluncurkan pada Agustus 2020, pesanan mingguan meningkat lebih dari tiga kali lipat, sebagian karena larangan makan di tempat. Sepertinya warga Singapura sangat ingin mempelajari lebih banyak tentang makanan Orang Laut.
Kedutaan Besar Estonia di Singapura baru-baru ini memesan untuk presiden Estonia yang untuk pertama kalinya berkunjung ke Singapura.
Dalam upayanya untuk mempopulerkan masakan Orang Laut, Firdaus juga menjadi suara yang blak-blakan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pribumi Singapura, yang paling baru dalam potensi pembatasan mencari makan di laut.
Dia sekarang mengabdikan dirinya penuh waktu untuk Orang Laut Singapura, dengan mimpi menerbitkan buku dan membuka ruang yang tidak hanya menyajikan makanan Orang Laut, tetapi juga berbagi cerita dan tradisi.
Ini adalah tambahan tepat waktu untuk makanan lokal, mendorong makan bersama dengan orang-orang terkasih ketika banyak yang merasakan efek isolasi sosial saat pandemi berlangsung – dan memulai percakapan yang sudah lama tertunda tentang Orang Laut Singapura, satu kali makan pada satu waktu.
(*)
Sumber : BBC | Detik Travel