“Waktu Berjalan”
SEDARI malam saya cium bau itu. Menyengat dan busuk. Seluruh kolong sofa di ruang keluarga sudah diperiksa. Sumber baunya tetap belum ketemu.
“Neng, nyium bau gak?” kata saya ke istri. Ini untuk memastikan penciuman saya tidak sedang bermasalah.
“Iya, tikus atau cicak mungkin yang mati”, katanya sambil membaui area rumah di sekitar meja untuk meletakkan ponsel-ponsel kami. Kemudian, ia masuk kamar.
Istri saya agak kurang enak badan beberapa hari ini. Flu berat dan sedikit demam. Ia memilih rebahan di kamar.
Malam ini saya sedikit menyingkir ke ruang tamu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Biasanya, saya menyelesaikannya di meja makan, dekat meja ponsel-ponsel itu.
———-
“Babah, ayo. Udah jam 7 ini!”
Anak gadis saya, Yura, ribut ingin segera diantar ke sekolah pagi ini. Sementara abangnya masih menyelesaikan sarapan pagi.
“Kemarin kakak udah telat gara-gara Abang, sekarang gak boleh telat lagi!” katanya mengancam.
“Ayo!” katanya lagi.
Matanya mulai berair. Saya segera mengganti baju dan celana, mengambil kunci mobil dan segera membuka pintu depan untuk memanaskan kendaraan.
“Ayo Abang, cepat makannya, Babah hidupin mobil dulu”.
Sialnya, ban belakang mobil kempes. Benar-benar kempes hingga pelek ketemu dengan aspal jalan di depan rumah.
“Duh!”
———-
“Ayo, bah. Ngebut! Ngebut sengebut-ngebutnya!” kata Yura kesal sambil teriak di dalam mobil yang memang sudah dipacu kencang di jalanan.
Satu masalah sudah selesai diatasi. Masalah lain muncul. Jalanan di perempatan ternyata macet. Tidak ada solusi lain. Kami harus mengikuti alur kendaraan di jalan yang berderet panjang karena antrian traffic light.
“Tenang, gak telat. Masih lima menit lagi”, kata anak saya, Yodha, berusaha menenangkan adiknya.
“Telat, pasti telat lagi!” kata Yura kesal.
Antrian kendaraan mulai bergerak saat lampu berubah hijau. Begitu lepas dari antrian dan punya kesempatan menekan gas lebih dalam, saya pacu lagi kendaraan yang kami tumpangi.
Kringgg….
“Tuh, pas kan?” kata saya ke Yura begitu kendaraan berhenti di depan sekolah.
Yura diam dan langsung memilih untuk keluar, diikuti abangnya yang senyum-senyum.
“Bah, jajannya?” kata Yodha sambil menengadahkan tangan.
“Duh.”
———-
“Neng, coba bongkar tas-tas di bawah meja itu. Mungkin bangkai tikusnya di bawah tumpukan. Bau betul ini,” kata saya pada istri begitu pulang.
Saya kemudian siap-siap naik ke atas plafon. Berpikir kemungkinan ada tikus mati di plafon, persis di atas meja ponsel-ponsel itu.
“Ada bah?” kata istri saya teriak dari bawah.
“Gak ada. Gak ada apa-apa ini. Bau juga gak kecium dari sini,” kata saya membalas istri di bawah.
“Tas-tas juga udah dipindahin, gak ada apa-apa”, katanya menerangkan dari bawah.
Saya turun lagi. Baunya tercium lagi pas berada di dekat meja ponsel-ponsel itu. Saya perhatikan sekitarnya. Agak berantakan karena beberapa barang dikeluarkan istri dari bawah meja.
Ada satu meja lain, lebih kecil di sebelahnya. Itu meja dengan susunan rak berisi buku-buku punya Yura. Di meja itu Yura sering belajar. Kadang bermain game di laptop.
Saya mulai membaui, berurut dari atas ke bawah. Hidung tiba-tiba terasa tercolok bau yang menyengat, persis di bagian bawah meja kecil itu.
“Neng, di sini bangkainya”, kata saya sambil menunjuk bagian kolong meja belajar Yura.
Begitu meja digeser, terlihat tumpukan berwarna kuning. Ada banyak belatung dan baunya jadi lebih menyebar.
“Ni dia sumbernya. Bukan bangkai. Tai kucing atau apa ini ya?” kata saya ke istri.
Sambil menutup hidung, saya amati tumpukan kuning dengan bau menyengat yang sudah dipenuhi belatung itu.
“Ini bukan tai kucing. Ini makanan yang dilepeh (dikeluarkan setelah dikunyah, pen). Itu seperti nasi dan lauknya”.
“Wah, iya Bah. Yura buang makanan yang dikunyah lagi kayaknya”, kata istri.
Anak saya yang nomor dua memang agak susah makan. Lebih suka jajan dan ngemil. Hampir tiap jadwal sarapan atau makan di pagi, siang dan malam, biasanya ‘berantem’ dengan ibunya. Ia enggan menghabiskan sisa makanan di piring setelah menyuap beberapa kali.
Beberapa kali kepergok membuang makanan yang sudah berada di mulut ke tempat sampah di dapur. Kemudian sisa di piring juga dibuang agar terlihat habis dimakan.
“Duh”.
Waktu berjalan cepat sekali. Yura sudah lebih pintar sekarang. Rasanya, baru beberapa hari lalu saya Gendong Yura yang mungil itu kemana-mana.
———-
Pagi ini kami kerja bakti. Barang-barang dan meja yang sudah terlanjur berantakan, perlu dirapikan lagi. Sekalian saja kami rapikan semua. Mulai perabot, perkakas rumah tangga kecil, buku-buku dan tumpukan koran-koran lama.
Kami memilahnya. Yang sudah tidak terpakai, kami singkirkan untuk dibuang. Yang masih terpakai, kami tata dan rapikan.
Istri saya cuma membantu sebentar karena masih sakit. Kemudian, saya melanjutkan semuanya sendiri.
———-
Sudah hampir selesai semua. Tinggal tumpukan buku-buku sekolah yang sudah tidak terpakai dan koran-koran lama yang perlu dimasukkan ke plastik besar, untuk selanjutnya dibuang.
Saat sedang memasukkan tumpukan koran lama, tanpa sengaja saya membaca logo koran yang terselip di tumpukan. Tulisannya : Batam Pos – Koran nonstop. Warnanya merah menyala.
“Eh, ini koran lama sekali. Ini koran tempat saya kerja 20 tahun lalu”.
Saya pilah-pilah lagi tumpukan itu. Ada juga beberapa tabloid ‘Bola’ terbitan tahun 2002 dan 2003. Trus, koran Batam Pos dengan logo berwarna hitam. Di sisi kiri-nya ada tulisan : “Dahulunya Sijori Pos!”, terbitan 18 Maret tahun 2003.
Saya ambil lagi semua dari plastik yang sedianya siap menampung koran-koran itu untuk kemudian dibuang. Saya baca-baca lagi isi artikel-artikel dari arsip koran-koran tua itu.
Kebiasaan yang sudah hampir enam tahun ini tidak pernah saya lakukan lagi, sebenarnya.
———-
Rasanya seperti kembali ke masa 20 tahun lalu. Ada artikel-artikel tulisan saya di koran itu. Rata-rata dipajang di halaman utama sebagai headline. Saya senyum-senyum membaca tulisan sendiri dua puluh tahun lalu.
Ini koran tempat saya pernah bekerja. Namanya Batam Pos. Logo tulisannya berwarna merah menyala. Ada tulisan : ‘koran nonstop’ di bagian bawah yang berarti koran itu tetap terbit walaupun di tanggal merah. Suatu hal yang sangat luar biasa bagi koran lokal terbitan daerah masa itu yang lazimnya meliburkan aktifitas penerbitan pada tanggal-tanggal merah.
Ini koran kriminal. Koran peristiwa yang mengandalkan oplah jual eceran tiap hari. Itu berarti, awak redaksinya dituntut untuk bisa terus menghasilkan berita/ artikel menarik tiap hari agar orang mau terus membeli. Agar koran itu bisa terus hidup dan menghidupi orang-orang yang bergantung secara ekonomi di dalamnya.
Oplah jualnya saat itu ada di kisaran 12 ribu hingga 14 ribu per hari (ralat saya jika kurang tepat, pen). Oplah yang lumayan besar untuk sebuah koran lokal dengan wilayah sebar terbesar hanya di Batam. Koran itu sebenarnya juga beredar di beberapa kota/kabupaten lain di sekitar Batam. Seperti Tanjungpinang, Bintan, Karimun, Natuna, bahkan hingga ke Selat Panjang. Tapi, oplahnya tidak sebesar di Batam.
Koran lokal terbitan grup Jawa Pos ini memang jadi awal karier saya sebagai jurnalis. Profesi yang awalnya dulu cuma iseng dijalani usai lulus sebagai Sarjana Teknik. Profesi pelampiasan karena saya batal bekerja sebagai engineer di lokasi pilihan ; pedalaman Kalimantan, Sulawesi atau Irian Jaya.
Saya pilih pulang ke Batam untuk menemani bapak yang masih berkarir sebagai pegawai departemen perhubungan dan ditempatkan di Batam saat itu. Mama saya sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Hanya dua adik terkecil saya yang menemani beliau saat itu.
Dua adik terkecil saya itu, beberapa tahun ke depan akan segera meninggalkannya juga karena akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kota lain. Sama seperti saya dan dua saudara lain sebelumnya. Keduanya kemudian memilih berkarir di kota lain begitu selesai kuliah. Mungkin nanti tidak ada yang menemani bapak saat ia pensiun. Bapak akan sendirian.
“Kamu di Batam aja ya. Temani bapak”, katanya.
“Bapak nanti tinggal sendiri kalau adik-adikmu sudah mulai kuliah juga. Bapak mau pensiun di Batam saja, biar ada yang jaga makam mama-mu”.
Saya patuh, walau sebenarnya punya rencana lain. Harus ada yang mengalah dan menemani beliau di masa tuanya. Saya pilih menemani beliau.
Tapi, saya gak tertarik menjalani karir sebagai engineer di kota seperti Batam ini. Kota industri yang sedang tumbuh gemerlap. Kota yang dipenuhi banyak pabrik-pabrik. Yang sebenarnya sangat membutuhkan orang-orang seperti saya. Saya ingin bekerja di suasana yang dekat dengan alam. Seperti di pedalaman. Atau di luar ruangan yang bukan kantor atau pabrik.
Profesi jurnalis menarik bagi saya karena menawarkan kerja secara outdoor. Lebih banyak di luar. Bisa ketemu banyak orang dan merasakan aura petualangan.
Saya pilih jadi jurnalis di sebuah koran lokal, namanya Batam Pos.
Brand itu saya pikir kuat secara imej produk. Akan membesar beberapa tahun ke depan.
Selain sebagai reporter, saya juga menjadi photographer di koran itu. Senjata saya kamera dengan media penyimpanan floppy disk 3,5″ merk Sony MVC – FD73. Resolusi maksimalnya cuma 640 x 480. Tapi, sudah keren di zaman itu.
Kalau lagi sial, kamera dipinjam Koordinator Liputan atau rekan wartawan lain, saya terpaksa memakai Tustel milik Pemimpin Redaksi yang masih menggunakan roll film.
Itu menjengkelkan. Saya harus ke Konica Centre yang berada di pojok hotel Nagoya plaza di kawasan Nagoya saat sore menjelang deadline. Memotong film yang terpakai, mencetak hasilnya dan memasukkan lagi sisa potongan roll film ke dalam kamera agar bisa digunakan lagi keesokan hari. Photo yang telah dicetak, juga perlu di-scan lagi di kantor untuk mendapatkan file digitalnya.
“Ini ilmu baru yang saya dapat. Roll film kamera ternyata bisa dipotong sebagian untuk dicetak, tanpa menunggu dulu seluruhnya habis digunakan”.
———-
“Saya kecewa. Saya pilih masuk ke sini karena namanya Batam Pos”, kata saya
kepada pemimpin redaksi Batam Pos saat itu, bang Socrates. Saat itu menjelang akhir tahun 2002. Hampir setahun sejak saya bergabung.
Protes yang sebenarnya tidak beralasan sama sekali. Saya hanya karyawan. Juga tidak pantas karena disampaikan ke Pemimpin Redaksi, atasan saya, dan juga bukan kewenangan saya, hehe.
Atas kebijakan CEO Jawa Pos saat itu, Dahlan Iskan, koran Batam Pos diminta mencari nama baru sebagai brand korannya. Brand nama “Batam Pos” akan segera dialihkan ke koran lain dalam grup kami, Sijori Pos.
Dahlan menilai brand ‘Batam Pos’ lebih membumi di Batam dan sebaiknya digunakan oleh koran ‘saudara’ kami ; Sijori Pos yang memiliki konten dan artikel lebih serius dibanding koran Batam Pos sendiri yang merupakan koran peristiwa dan kriminal.
“Saya mundur jika benar koran ini ganti nama”, kata saya.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Menjelang akhir tahun itu, saya ditawari untuk ikut membangun perusahaan baru dalam grup Jawa Pos di Batam. Batam TV, sebuah perusahaan televisi grup Jawa Pos, segera beroperasi di Batam dengan mengusung konsep lokal.
Praktis, cuma setahun saya berkarir sebagai jurnalis di media cetak. Awal 2003 saya sudah di televisi.
“TV lebih menantang dan lebih kompleks dibanding koran. Kamu kan suka yang menantang-menantang, gitu. Saran bapak, gak usah keluar dari grup Jawa Pos. Terima saja tawaran pindah ke TV itu. Kan bisa tetap di Batam, nemani bapak. Nanti kamu yang urus kalau bapak meninggal, bapak ingin di sebelah Mama”, kata bapak saya saat itu.
Saya sampaikan itu ke atasan yang kelihatan kecewa dengan keputusan saya. Kemudian, mulai berkarir sebagai jurnalis tv. Cuma setahun bekerja sebagai jurnalis di koran, tapi jadi titik tolak untuk perjalanan saya selanjutnya.
Banyak suka dukanya. Banyak ilmu yang didapat dari senior dan atasan. Pengalaman seru dan menegangkan. Ketemu banyak orang dari berbagai lapisan. Itu menyenangkan.
Atau, dikejar dan dicari massa. Berada di kobaran api atau membuka kulkas mayat sendirian saat malam. Disandera, bahkan diculik. Semuanya dilalui dalam setahun dan jadi pembelajaran hidup baru bagi saya. Hidup ternyata keras. Tidak senyaman di dalam lingkungan keluarga.
Saya lihat lagi di box koran itu. Ada nama bang Ade Adran Syahlan – Pimpinan Umum yang sabar. Ia sering menjadikan informasi cuaca BMKG dari saya sebagai patokan menentukan jumlah oplah cetak keesokan harinya. Jika prediksinya hujan, koran dicetak tidak sebanyak saat cuaca cerah. Maklum, Batam Pos adalah koran eceran yang bergantung penjualan di ruang terbuka.
Pemimpin Redaksi, Bang Socrates adalah orang yang berapi-api. Selalu semangat. Ada juga bang Hasan Aspahani, Redaktur yang pintar merangkai kata dan menggambar karikatur. Ia selalu membawa buku dan majalah kemana-mana.
Mas Hary yang seperti polisi, bang Yosh yang mirip rocker, mas Noeng yang penyabar dan jago mengelola website. Atau, Koordinator Liputan – mas Priyo Utomo yang seperti gak kenal capek menugaskan wartawan. Rasanya, dia orang yang paling jarang pulang ke rumah dan selalu standby di kantor. Kadang saya kesal kalau dapat penugasan malam dari dia.
Setahun itu juga menguatkan saya untuk meneruskan profesi ini. Gak sekedar iseng lagi.
Rasanya, koran itu juga gak terlalu kehilangan karena mendapat ganti – adik saya – Sultan Yohana yang jauh lebih baik.
Terima kasih, Batam Pos.
———-
Saya baca lagi artikel headline di koran Batam Pos – Koran Nonstop, 20 tahun lalu itu. Kertasnya sudah mulai menguning.
Beberapa rubrik khas andalan terpampang di halaman utama. Ada ‘Rintihan Hati’ yang diasuh oleh sekretaris Redaksi, almh. mbak Nurmala. Ada juga rubrik ‘Weleh-weleh’ yang sering membuat pembaca ketagihan untuk terus membaca koran eceran ini. Rubrik itu diasuh oleh Koordinator Liputan, mas Priyo Utomo.
Selain artikel headline yang biasanya jadi tanggungjawab saya untuk diisi setiap hari, artikel pada rubrik-rubrik tersebut, juga jadi andalan untuk menjaga target oplah jual harian.
Kemudian saya sandingkan koran itu dengan koran Sijori Pos yang mulai berubah nama jadi ‘Batam Pos’ sejak 2003. Kertasnya sudah sama-sama lusuh, usang. Koran-koran itu tidak jadi saya buang. Saya rapikan, kemudian disimpan di deretan rak buku-buku di rumah.
Waktu berjalan cepat sekali, ya.
(*)
Photo : © Bintoro Suryo