Hidup Sunyi Wanita Tua Pulau Boyan

KAMI merapat pelan di sebuah pulau kecil nan sepi di seberang Batam. Cuma ada beberapa Kepala Keluarga (KK). Di pulau ini, tidak ada pelantar pelabuhan umum yang biasa digunakan untuk berlabuh atau menambatkan sampan. Tekong yang membawa kami berusaha mencari tambatan di beberapa rumah warga yang semuanya menjorok ke laut, untuk memudahkan kami naik ke darat. Orang menyebutnya pulau Boyan. Pulau keramat yang jarang disinggahi karena dianggap mistis.

Di sebuah rumah, ada perempuan tua dengan seorang anaknya yang masih kecil. Mereka duduk di teras kayu rumah yang berbahan papan. Tekong meminta kami naik ke darat, dari teras rumah warga ini.

Pemandu Sampan kami, Arif saat mencari lokasi tambatan di pulau Boyan. Photo : © Domu

Saya duluan, disusul Domu dan kemudian Rizka. Kami naik menggunakan tangga-tanggaan dari kayu hutan yang sengaja dibuat di bagian bawah rumah berbentuk panggung itu.

Rizka saat naik di pelantar rumah warga di pulau Boyan. Photo : Domu

“Siapa nama yang tadi nak ditemui, bang?” Tanya tekong pembawa kami.

“Ena, Ena. Nama yang tertulis di artikel begitu”, kata Domu menyebut sebuah nama yang didapat dari salah satu artikel tentang kunjungan tim sejarah pemerintah kota Batam beberapa waktu lalu ke pulau ini.

Domu melakukan penelusuran data singkat menggunakan mesin pencari google dalam perjalanan menuju pulau ini, tadi. Tidak banyak artikel yang membahas tentang pulau Boyan di sekitar perairan Batam.

Tapi ada beberapa yang menarik. Artikel-artikel tersebut hampir seragam, menjelaskan tentang kunjungan tim Sejarah dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Batam beberapa waktu. Dalam artikel disebutkan tentang cerita singkat pulau Boyan yang merupakan pos pemantauan tentara Belanda di zaman kolonial. Artikel tersebut juga mengutip keterangan wawancara dari seorang wanita bernama Ena di pulau ini.

Pada artikel dijelaskan, di tahun 1960, wanita bernama Ena mulai menetap di Pulau Boyan bersama suaminya. Ia mengaku masih melihat bekas-bekas bangunan peninggalan Belanda yang ada di Pulau Boyan. Seperti terowongan, penjara, tempat meriam, dan bekas rumah.

Pulau yang sekarang dianggap mistis ini, dulunya menjadi markas Belanda. Katanya, terdapat lubang tempat persembunyian juga di pulau ini.

“Tak ada pula yang namanya Ena di sini. Saya dah tinggal puluhan tahun, sejak kecil di sini”, kata Farida, wanita tua yang kami temui itu.

Kami bertiga berpandangan satu sama lain. Tapi rasanya tetap ada yang bisa kami temui, untuk menggali cerita di pulau kecil yang menarik ini.

“Kalau Rohana ada. Dia asli orang sini, suku laut. Sejak orang tuanya meninggal, dia hidup sendiri. Masih perawan, perawan tua. Dia lebih tau banyak soal pulau ni”, terang Farida saat kami memintanya untuk menjelaskan tentang pulau Boyan.


PULAU Boyan, pada posisi yang berhadapan langsung dengan daratan Batam, ada pulau Tengah yang menjadi pulau terdekatnya. Sementara pada sisi yang berseberangan, kita bisa melihat pulau bernama Teluk Sepaku.

Pulau ini cuma dihuni kurang dari 12 Kepala Keluarga (KK). Rata-rata bersuku bangsa Melayu dengan mayoritas merupakan suku laut yang memutuskan untuk tinggal menetap puluhan tahun lalu di situ.

Pulau Boyan, photo © Bintoro Suryo

Jika ditempuh dari pulau Buluh, waktu yang kita butuhkan untuk sampai hanya sekitar 10 menit saja dengan perahu bermesin tempel, seperti yang kami gunakan.

Kenapa bernama pulau Boyan?

Kami tidak melihat ada jejak warga keturunan Boyan (Bawean, pen) di pulau kecil ini. Rata-rata penghuninya adalah suku laut. Informasi yang kami peroleh, dahulunya pulau ini bernama Bayan.

Namanya mungkin diambil dari sejenis burung yang dulu banyak terdapat di wilayah ini. Bayan atau Nuri bayan atau burung Betet, adalah kelompok satwa yang lumayan banyak terdapat di Batam dan pulau-pulau sekitarnya. Umumnya, mereka merupakan satwa yang familiar di wilayah Kepulauan Riau.

Mereka secara umum dikelompokkan dalam dua familia: Psittacidae (Bayan sejati) dan Cacatuidae (kakaktua). Macam karakteristik Bayan terdiri dari paruh bengkok kuat, tubuh tegak, lengan kuat, dan jari kaki zygodactyl.

Bayan yang hidup di pulau-pulau sekitar perairan Batam, pada umumnya berwarna dasar hijau, dengan warna cerah lain. Mereka biasa hidup berkelompok. Pulau yang kami singgahi ini, mungkin salah satu habitat hidup mereka di masa lalu. Namun, kami tidak menjumpai lagi kelompok satwa itu di sepanjang perjalanan berkeliling di pulau ini kemudian.

Karena pengucapan dari orang-orang sekitarnya, lambat laun, mungkin, berubah menjadi Boyan.

“Ayo, bang. Kita ke tempat Bu Rohana, di sana”, ujar tekong pembawa perahu yang kami tumpangi.

Kami menuruni lagi tangga-tangga kayu yang mulai lapuk di depan rumah Bu Farida. Sang tekong kemudian membawa kami menyusur pesisir pulau ini, kemudian merapat di sebuah rumah lain.

Rizka dan Arif saat menuju rumah Rohana di pulau Boyan. Photo : © Domu

Kondisinya tidak bisa dibilang lebih baik daripada rumah Bu Farida. Bangunan kayu yang berdiri di atas laut itu terlihat sudah sangat reyot. Tiang-tiang kayu penyangga yang jadi topangan rumah juga sudah banyak yang lepas karena termakan usia.

“Nah, ini rumahnya bang. Naik lah”, kata sang tekong kepada kami.

Seperti tadi, kami mulai memanjat tangga-tangga kayu tua yang langsung terhubung ke rumah yang disebutkan milik Rohana tersebut. Seorang wanita tua yang kini hidup sendirian.

Rizka di depan rumah milik Rohana di pulau Boyan. Photo : © Domu

Rohana menyambut kami begitu berada di teras pelantar rumahnya.

Rohana adalah anak bungsu dari orang suku laut pertama yang mendiami pulau ini. Namanya pak Panjang. Beberapa tahun lalu, sang ayah berpulang, menyusul ibunya yang meninggal beberapa tahun sebelumnya.

Rizka dan Rohana, photo : © Bintoro Suryo

“Saya buta huruf, pak. Tak tau membaca dan menulis. Jadi tak tau berapa umur sekarang ni”, katanya usai kami berkenalan.

Rizka langsung tersentuh melihat kondisi wanita yang kini hidup sendirian itu.

“Bagaimana ibu bisa hidup sendirian begini? Listrik pakai apa? Air gimana?” tanyanya.

Rohana, warga pulau Boyan. Photo : © Domu

“Sudah terbiasa, nak. Ibu biasa mengayuh sampan sendiri, menombak (ikan, pen). Kalau ada hasil, pergi ke pulau Buluh, jual. Uangnya buat beli beras. Terkadang, ada saudara yang kunjungi ibu. Itu, si Giak (saudara angkat perempuannya, bersuku Tionghoa, pen) baru datang dari Bertam, pakai sampan”, katanya.

Orang yang disebut Giak baru tiba saat kami mengunjungi Rohana. Ia mendayung sendiri sampan koleknya dari pulau seberang, tempat tinggalnya yang sekarang. Ah Giak sedang menyeduh kopi di bagian belakang rumah. Sepintas, penampilannya mirip lelaki. Berpotongan rambut pendek dengan pakaian yang juga mirip lelaki.

Untuk penerangan di rumah Rohana saat malam, wanita ini ternyata menggunakan lampu colok (sejenis lampu obor dengan sumbu berbahan bakar minyak, pen). Ia menggunakan solar agar api sumbu bisa menyala lama, bukan minyak tanah seperti pada umumnya.

“Minyak tanah mahal, nak. Pakai solar saja”, terangnya ke Rizka.

Suasana di dalam rumah Rohana yang sederhana. Photo : © Domu

Di rumahnya yang sederhana, hanya ada radio tua kecil sebagai temannya memecah kesunyian. Radio itu peninggalan sang ayah. Rohana suka mendengarkan siaran radio berbahasa Melayu dari negeri Jiran Malaysia. Lokasi yang berdekatan, membuat siaran radio dari negeri tetangga itu bisa ditangkap dengan sangat baik di sini.

Beruntung juga, aturan siaran digital untuk radio belum diterapkan penuh. Orang masih bisa menyimak siaran radio melalui kanal frekuensi FM seperti bertahun-tahun sebelumnya.

Saya menebak usia wanita ini menjelang 50 tahun. Atau, setengah abad lebih sedikit. Sepanjang usianya hanya dihabiskan di pulau kecil ini. Rohana yang merupakan suku laut, lahir dan besar di pulau Bayan. Ia terbiasa tinggal bersama orang tuanya sebelum ini.

Rizka dan Rohana di bagian belakang rumah Rohana yang terhubung dengan daratan di pulau Boyan. Photo : © Domu

Sampai sebelum ayahnya, pak Panjang meninggal, ayah Rohana itu adalah orang tertua yang tinggal di pulau ini bersama ibunya. Kini, keduanya dimakamkan di bagian agak ke dalam dari pulau itu. Rohana yang merawat makam kedua orangtuanya.

Saudara-saudaranya yang lain, memilih keluar dari pulau Boyan setelah berkeluarga. Ada yang tinggal di pulau Buluh, Bertam dan juga pulau Batam.

Ah Giak, saudara angkat Rohana sedang mengunjunginya. Photo : © Domu

Ia juga memiliki satu saudara angkat perempuan yang diadopsi orangtuanya sejak kecil dan sempat lama tinggal bersamanya di pulau Boyan atau Bayan. Berketurunan Tionghoa. Namanya Ah Giak. Itu tadi, wanita yang sedang menyeduh kopi di dapur rumah.

Ah Giak yang kini tinggal di pulau Bertam lah yang sering mengunjunginya tiap pekan. Kadang membantu kehidupannya dengan membawakan sejumlah barang kebutuhan pokok.

Sehari-hari, ia lebih banyak hidup dalam kesendirian.

“Pulau ni dah dibeli orang. Kami dibilang cuma menumpang saja”, katanya sedih.

Rohana menyebut pernah didatangi beberapa orang yang memberitahu bahwa pulau yang ditinggalinya sejak lahir itu sudah dibeli orang. Ia menyebut sebuah nama, tapi saya lupa mengingatnya (mungkin nanti di dokumenter video, ada rekamannya). Sewaktu-waktu nanti pulau akan dikembangkan, ia harus bersiap-siap meninggalkannya.

“Saya dan keluarga buta huruf, mana lah tau surat tanah atau segala macamnya tu”, katanya saat ditanya apakah memiliki surat kepemilikan dari orangtuanya.

“Tak tahulah, nak tinggal dimana nanti. Dah sebatang kara begini. Kesian bapak dan mamak (makamnya, pen) nanti”, lanjutnya sedih.


“Awas, anjing tu galak. Biar ibu yang duluan jalan”, kata Rohana yang memimpin rombongan kecil kami menyusuri pulau itu agak lebih ke dalam.

Ia memberi isyarat pada anjingnya untuk menjauh dan tidak mengganggu rombongan kecil kami.

Pulau Bayan ini ternyata berkontur agak terjal dari sisi pantainya. Dari rumah warga yang terhubung ke laut, tanah yang terhubung dari pelantar kayu ke kediaman mereka dibuatkan trap-trap seperti tangga untuk memudahkan mereka bila ingin lebih masuk ke darat.

Kami langsung menjumpai sebuah bangunan mushala kecil. Bangunan itulah yang terlihat jelas dari arah laut, dalam perjalanan kami ke sini.

“Itu mushala masih dipakai kan, bu?” tanya saya ke Rohana.

“Tidak, pak. Mushala tu terkunci. Kuncinya dibawa yang mengurus. Yang mengurus tu, tak tinggal di sini”, katanya.

Rizka dan Rohana di daratan yang agak tinggi di pulau Boyan. Latar belakang pulau Tengah dan pulau Batam di kejauhan. Photo : © Domu

Sayang sekali. Satu-satunya bangunan ibadah yang bisa ditemui di sini sudah tidak digunakan. Dari artikel yang coba kami telusuri tentang pulau ini di mesin pencari google, mushala kecil itu ternyata dibangun oleh kenalan saya, Imbalo Iman Sakti belasan tahun lalu. Imbalo sempat mencatat perjalanannya ke pulau ini beberapa tahun lalu.

Pak Imbalo, begitu saya menyapanya, dikenal suka berkeliling dari satu pulau ke pulau lain di wilayah pesisir perairan Kepulauan Riau ini.

Dari catatannya, ia menyebut, di pulau ini pernah ada pangkalan minyak untuk kebutuhan kapal dan nelayan serta masyarakat pulau sekitarnya. Tapi kemudian berhenti beroperasi. Ia mendirikan sebuah surau kecil bantuan dari Asia Muslim Charity Foundation di sini. Surau atau mushala itu lah yang kami temui.

Mushola di pulau Boyan yang tidak difungsikan oleh warga. Photo : © Domu

Wanita yang merupakan bungsu di antara saudara-saudaranya itu, kemudian membawa kami lebih ke tengah pulau. Pohon-pohon hutannya masih rapat. Kami mengikuti jalan setapak yang membawa kami makin ke dalam hutan. Ada beberapa pohon tumbang yang menghalangi perjalanan.

“Di bagian dalam tu, ada makam orangtua ibu”, jelasnya sambil berjalan, memimpin rombongan kecil kami.

Rohana saat memandu kami menuju bagian dalam pulau Boyan. Photo : © Domu

“Jarang yang mau masuk sampai ke dalam seperti ni, katanya takut disesatkan orang bunian. Tapi ibu dah terbiasa, tak ada apa-apa”, lanjutnya.

Rohana bercerita dalam perjalanan di pulau Boyan. Photo : © Domu

Cerita orang seperti yang didengarnya, orang bunian yang dimaksud adalah sejenis makhluk halus penunggu hutan di pulau kecil ini. Beberapa warga menurutnya, pernah tersesat saat menyusuri hutan di pulau Bayan. Rata-rata, awalnya karena melihat sesosok wanita cantik di dalam hutan. Mereka bisa tersesat hingga berhari-hari sebelum akhirnya berhasil menjangkau pinggiran pulau dan diselamatkan oleh nelayan yang kebetulan sedang melintas.

“Katanya ada peninggalan orang Belanda di tengah pulau ini, ya Bu”, tanya saya padanya.

“Entahlah, pak. Ibu tak tahu. Membaca pun tak bisa. Tak tahu pula ada peninggalan orang Belanda di sini. Dari lahir ibu di sini, mungkin lah ada. Ada tulisan, tak bisa terbaca pula”, ujarnya lugu.

Beberapa pusara tua di dalam hutan pulau Boyan. Photo : © Bintoro Suryo

Setengah jam perjalanan, kami menemui sebuah tempat yang lumayan luas di tengah hutan lebat yang mengelilingi. Ada pusara-pusara tua. Rohana mendekati sepasang pusara di antaranya.

Rohana membersihkan pusara kedua orangtuanya. Photo : © Bintoro Suryo

“Ini kuburan orang tua ibu. Kubur bapak sama mamak”, katanya sambil langsung berusaha membersihkan dedaunan yang mulai menutupi bagian atasnya.

“Ini kubur bapak, sebelahnya mamak. Ibu rawat terus. Makanya tak mau pergi dari pulau ni, biar saja sendiri di sini sampai mati”, katanya lirih.

Ia tercenung sejenak di depan makam orangtuanya. Tak ada lagi tempatnya mengadu, kini. Semua harus ditangani sendiri. Untuk bertahan hidup, ia harus mengupayakannya sendiri juga.

Rizka dan Rohana di dalam hutan pulau Boyan. Photo : © Bintoro Suryo

Keahliannya cuma menyuluh sotong (sejenis cumi-cumi, pen) dan menombak ikan di laut. Skill yang didapat dari orangtuanya yang merupakan suku laut. Untuk berinteraksi dengan warga di luar pulau Bayan, seperti ke pulau Buluh, ia kerap menggunakan sampan kolek peninggalan bapaknya.

Saya, Rizka dan Rohana. Photo : © Domu

“Kita terus ke ujung pulau di sana, bu?” tanya saya padanya. Rizka langsung menoleh ke saya. Seperti ketakutan jika perjalanan dilanjutkan.

“Jangan, pak. Sudah sore sekarang. Daerah ni keramat. Ibu tak takut, tapi kalian orang luar, takut nanti ada apa-apa”, sergahnya melarang.

Saya setuju dan menghormati sarannya, kemudian meminta Domu menerbangkan drone. Saya ingin melihat lanjutan kondisi pulau ini hingga ke ujung sebelahnya dari udara.


PULAU Bayan atau Boyan, sebenarnya ada di perlintasan perairan yang ramai. Berhadapan dengan pulau Buluh di salah satu sisinya dan Batam di sisi lainnya. Pulau ini strategis dikembangkan secara ekonomi. Untuk industri, misalnya.

Sisi lain pulau Boyan yang masih rimbun. Photo : © Domu

Di depannya, pulau Tengah yang berada paling dekat dengan pulau Bayan atau Boyan sudah berubah. Banyak alat-alat berat di sana. Tidak ada lagi hutan perawan yang melingkupi. Pulau itu sudah digunakan untuk menopang industri.

Beberapa tahun ke depan, pulau Boyan ini mungkin saja segera berganti wajah. Dari pulau sepi dengan hutan, menjadi seperti pulau Tengah di sebelahnya. Tidak ada lagi penduduk asli yang meninggalinya.

Menjelang pulang, ia memberi kami masing-masing sebuah gelang yang terbuat dari kulit tempurung penyu. Menurutnya, itu seperti perhiasan bagi orang suku laut.

“Nah ambil, dipakai buat jaga-jaga”, katanya kepada kami.

Ia kemudian melepaskan sebuah cincin berbahan sama dari jari manisnya, memberikannya ke Rizka. Ia meminta Rizka memakainya juga sebagai bentuk kenang-kenangan darinya.

“Ibu mau ikut saya di Batam?”, tanya Rizka ke Rohana.

“Ngapain di Batam, nak?”

“Ya tinggal di Batam”.

“Iya mau, tapi nanti lah. Pulau ini kan belum diambil orang sekarang”, kata Rohana lugu. Untuk sekarang, ia masih memilih bertahan dalam kesendirian di pulau itu.

(*)

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

3 Comments

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search

Silahkan bagikan konten ini.