Angin Kencang dan Gelombang Tinggi yang Membuat Gusar

Kisah Perigi Raja, Kepala Desa Terakhir dan Para Transmigran di pulau Air Raja (1)

KABAR tentang angin kencang yang mendadak muncul hari ini, membuat saya gusar. Perangkat dokumentasi sudah lengkap. Tinggal dibawa untuk berangkat. Anak saya, Yodha, juga sudah bolak-balik dari kamar ke teras, memperhatikan diskusi saya dan Domu yang belum juga selesai.

“Kapan berangkatnya, bah?” tanyanya.

“Pak Madi nggak bisa pak. Katanya mulai subuh tadi, angin mendadak kencang, tinggi gelombang laut naik. Dia takut”, kata Domu sambil menutup ponsel pintarnya.

Pak Madi adalah tekong perahu motor langganan kami jika ingin berkeliling ke pulau-pulau sekitar Batam. Dia warga di kampung Teluk Lengung. Sebuah pemukiman tua di bibir laut Duriangkang yang kini sudah dibendung jadi danau air tawar.

Pak Madi orang Melayu, tapi bukan warga asli Kepulauan Riau. Asalnya Tembilahan, tapi sudah merantau ke kawasan itu sejak akhir dekade 90-an. Ia menikah dengan penduduk asli di Teluk Lengung dan menetap di sana.

“Aduh, masa harus tunda sabtu depan lagi? Kita coba langsung ke Punggur Dalam (kampung tua lainnya di Batam, pen.). Mungkin ada tekong yang berani dengan kapal yang lebih besar”, kata saya, akhirnya.

Kami ingin ke pulau Air Raja. Sebuah pulau kecil di pesisir gugus pulau utama ; Batam – Rempang – Galang. Luasnya sekitar 5 km2.

Ada dua cerita yang ingin kami ketahui lebih jauh di sana ; 1). Tentang perigi yang kabarnya merupakan peninggalan seorang raja di masa lalu dan 2). Kisah kehidupan para transmigran yang sempat ditempatkan di pulau itu pada era Orde Baru.

Apa benar itu perigi peninggalan masa lalu sang raja? Dan, bagaimana kabar terkini kehidupan para transmigran yang sebagian besar didatangkan dari pulau Jawa tersebut di sana?

“Itu si Febri juga sudah datang”, kata Domu sambil menunjuk anggota tim kami lainnya yang baru tiba pagi itu.

“Kita berangkat sekarang saja, takut kemalaman nanti”, katanya lagi.

Kami memutuskan berangkat ke pulau Air Raja. Saya, Domu, Yodha dan Febri. Semuanya anak muda, kecuali saya.


“Turun aja dulu, Mu. Tanya, ada yang berani antar kita ke sana, nggak? Barang di mobil dulu”, kata saya ke Domu begitu kami tiba di pelabuhan rakyat kampung tua Punggur Dalam.

Yodha dan Febri ikut turun. Saya menunggu di mobil. Sekitar sepuluh menit, Domu kembali.

“Bisa, pak. Ada yang mau nganterin ke Air Raja”, kata Domu sambil menyebut nominal harga yang diminta si tekong calon pembawa kami.

“Oke, mu. Saya cari tempat parkir dulu”.

Lumayan sulit mencari tempat parkir kendaraan. Apalagi untuk roda empat di kawasan ini. Situasi kampung yang ekonominya bergantung pada kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan rakyat itu, begitu ramai.

Pelabuhan rakyat di Punggur Dalam, Batam. © Bintoro Suryo

Saya akhirnya menemukannya, satu slot tersisa di seberang restauran Sea Food River Side. Ada tulisan yang tertera di sana; bukan parkir umum. Itu slot kendaraan untuk parkir tamu mereka.

“Ah, sudah lah. Di sini aja. Lahan publik juga ini”, begitu pikir saya, saat melihat lokasinya persis di pinggir jalan umum.


“Yang mana perahunya?” tanya saya ke Domu begitu tiba di pelantar beton pelabuhan rakyat ini.

“Yang ini, bang, ini”, teriak seorang pria dari jejeran perahu-perahu bermesin tempel.

Domu tersenyum. Perahu yang ditunjuk si pria berbahan fiberglass. Ukurannya kecil, sangat kecil. Hanya cukup dinaiki empat penumpang dengan satu tekong di bagian belakang untuk mengendalikan mesin motor.

“Lebih kecil dari punya pak Madi, pak. Tapi dia bilang aman”, kata Domu seperti berbisik di sebelah saya.

Saya tersenyum kecut. Kami berempat bukan perenang ahli. Untuk sekedar mengapung di kolam renang saja, keempat-empat kami kesulitan. Saya melihat ke laut, seperti kata pak Madi, angin bertiup kencang saat itu. Air laut terlihat beriak liar. Perahu fiberglass kecil yang ditunjuk pria itu terlihat bergerak-gerak terus, kiri dan kanan.

“Aman, bang?” Teriak saya ke pria tadi.

“Aman, ini tekongnya, udah pengalaman dia”, kata sang pria sambil menunjuk pria lainnya yang kelihatan lebih muda.

Agus, tekong perahu motor. © Bintoro Suryo

Kulitnya legam. Usianya saya prediksi tidak lebih tua dari pria pertama. Mungkin baru masuk usia kepala 3. Kiri kanan lengannya penuh tatto. Tak begitu jelas apa motifnya.

Dia tersenyum ramah begitu saya memandanginya.

“Sini, bang. Dari sini turunnya”, katanya sambil menunjuk anak tangga di salah satu bibir pelantar.

“Awas licin”, lanjutnya.

Febri saya minta turun duluan. Kemudian Yodha, Domu dan saya yang terakhir. Perahu fiberglass langsung bergerak oleng kiri dan kanan. Tapi sang tekong yang kemudian saya kenal bernama Agus, begitu sigap. Dua tangan legam kokohnya langsung bergerak sebagai jangkar, memegangi tiang-tiang perahu untuk menjaga kestabilan.

Tak lama, perahu yang kami tumpangi mulai bergerak.


“Lho, kok ke arah sini, bang?, teriak saya ke Agus saat perahu fiberglass yang dikemudikannya mengarah ke sebelah kiri pulau Kasam. Itu pulau kecil yang berada persis di hadapan kawasan Telaga Punggur.

Dari map yang saya buka di ponsel, seharusnya rute ke pulau Air Raja justeru di arah yang berlawanan.

“Kita lewat jalur memutar, bang”, teriak Agus dari belakang perahu. Suaranya berkejaran dengan suara mesin motor, angin kencang dan ombak.

Saya langsung melihat ombak di sekitar perairan yang beriak liar, angin juga kencang sekali. Kemudian melihat lagi ke map di ponsel. Perahu kecil yang kami tumpangi seperti melompat-lompat di atas gelombang laut.

Sepertinya Agus sengaja mengambil jalur memutar untuk menghindar dari perairan terbuka dengan ombak yang lebih besar. Ia memilih jalur di antara pulau-pulau kecil. Dari pesisir pulau Kasam, pria itu terus mengarahkan perahu fiberglass kecilnya menyisir pulau kecil lain. Perlahan, terlihat perahunya memutar ke arah sebenarnya, menuju pulau Air Raja.

Kami melintas persis di depan pulau Malang yang tak berpenghuni, kemudian pulau Kubung dan pulau Todak. Belakangan saya baru tahu, pria muda legam itu adalah warga pulau Kubung. Pulau yang dihuni suku laut, hampir seluruhnya.

Ini memang perairan Agus. Pantas saja pria di pelabuhan rakyat tadi menyebut Agus sudah sangat berpengalaman.

“Seperti ditabrak-tabrakkannya aja ombak ini, pak”, kata Domu cemas di atas perahu.

Saya tersenyum, agak kecut juga, mengingat kami berempat tidak bisa berenang. Perahu terus melompat-lompat di atas gelombang. Dari kejauhan, mulai terlihat pulau Air Raja. Tapi saya percaya, Agus bisa membawa kami dengan selamat sampai ke tujuan.

“Kita mendarat di pelantar yang sebelah mana, bang”, teriak Agus ke saya begitu perahu semakin mendekati pulau Air Raja.

Ada dua pelantar yang biasa digunakan untuk berlabuh warga. Agus menunjuk lokasi pelantar pertama dan kedua yang berjarak sekitar 100 meter satu dengan lainnya. Pada pelantar pertama, langsung terlihat jalan menanjak untuk menuju ke bagian dalam pulau. Sementara pada pelantar kedua, jalannya agak landai menuju bagian dalamnya.

“Itu, yang ada jalan menanjak, kita ke sana aja”, teriak saya ke Agus di belakang perahu.

Dari literasi yang saya baca, lokasi perigi yang banyak dibicarakan orang itu, berada di sisi kanan jalur masuk ke pulau yang menanjak, tidak jauh dari pelantar tempat menambatkan perahu.

Agus langsung mengarahkan perahunya ke pelantar yang saya maksud.

(*)

Bersambung
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

4 Comments

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search