Para Transmigran Yang Menghentikan Usaha Rumput Laut dan Jembatan Kayu Penghubung
Kisah Perigi Raja, Kepala Desa Terakhir dan Para Transmigran di pulau Air Raja (4)
“Ada yang bilang gagal, budidaya rumput lautnya tidak berhasil”, kata Mbah Ngasmo sambil tersenyum.
Mbah Ngasmo, usianya 67 tahun sekarang. Sudah 32 tahun, ia mendiami pulau Air Raja. Sebagai salah satu dari 150 KK transmigran yang datang ke pulau ini,. Ada yang dari pulau Jawa, ada juga warga hasil bedol desa di Bintan. Ia jadi yang paling tua dan masih ada saat ini.
Di teras rumahnya yang terletak di dataran paling tinggi di pulau Air Raja, angin sepoi-sepoi begitu menyejukkan di tengah cuaca yang sedang terik sekarang. Rumah jatahnya puluhan tahun silam juga sudah dipugar jadi lebih besar dan bagus.
Kediamannya berdiri di atas lahan seluas 0,5 hektar, hasil pemberian dari program transmigrasi yang diikutinya dulu. Di bagian belakang rumah, ia masih aktif bercocok tanam aneka sayuran hingga cabe.
“Kalau sekarang sudah tidak untuk dijual, buat sendiri saja. Wong anak sudah pada besar-besar. Alhamdulillah, semua sarjana”, katanya tersenyum.
Mbah Ngasmo kemudian mengenang lagi kisahnya ikut program transmigrasi pemerintah era orde baru yang membawanya ke pulau kecil ini. Pria asal Kendal, Jawa Tengah itu, sebelumnya adalah buruh tani di kampungnya. Ia sudah menikah dan memiliki enam orang anak.
“Hidup di kampung dulu sulit sekali. Terus ada yang nawari untuk transmigrasi, ya ndaftar”, kenangnya lagi.
Prosesnya tidak sulit saat itu. Bersama sekitar 80 KK lainnya dari Kendal, mereka kemudian bergabung dengan calon transmigran lainnya asal pulau Jawa. Ada juga yang berasal dari Jawa Timur hingga Jawa Barat.
“Waktu itu disuruh milih, mau ditransmigrasikan kemana? Riau atau Aceh? Kalau Riau, ada dua lokasi. Yang di daratan dan yang di pulau”, katanya.
Menurut Mbah Ngasmo, jika memilih lokasi di Aceh atau Riau daratan, mereka akan diberi rumah dengan lahan 0,5 hektar serta lahan garapan 2 hektar. Sementara jika memilih pulau, yang didapat sama, namun lahan garapan berada di laut. Usaha yang ditawarkan bisa budidaya rumput laut.
“Waktu itu kan kami tahu, rumput laut itu mahal, bisa sejuta per lahan garapan kalau panen”, katanya tertawa.
Seingat Mbah Ngasmo, saat itu hampir seluruh calon transmigran asal desanya memilih untuk ditransmigrasikan ke pulau. Mereka bergabung dengan calon transmigran lain dari pulau Jawa sehingga totalnya sekitar 150 KK. Ia belum tahu akan dibawa ke pulau apa, tapi yang jelas berada dekat pulau Batam.
“Naik kapal, turunnya di Kijang. Kemudian dibawa lewat Tanjung Uban, nyeberang ke sini”, tambah Mulyono, seorang warga transmigran lain asal Kendal yang juga masih bertahan.
Mulyono sekarang menjadi menantu Mbah Ngasmo. Ia menikahi puteri tertua pria itu. Saat kami kunjungi, sedang ada acara kumpul keluarga besar mbah Ngasmo di rumahnya. Suasananya sedang ramai. Anak, menantu hingga cucu berkumpul semua.
“Aku sekarang mbengkel, balik ke asal. Nggak bertani lagi”, katanya sambil tertawa.
Badannya terlihat kekar, walau usianya tidak muda lagi. Rambutnya juga dibiarkan memanjang gondrong.
“Waktu naik kapal menuju ke sini (pulau Air Raja, pen), pulaunya kelihatan gundul dari jauh. Ada banyak putih-putih yang berjejer rapi. Rupanya itu rumah-rumah yang sudah disiapkan untuk kami,” Mbah Ngasmo tertawa tergelak mengenang saat awal kedatangannya. Usia Mbah Ngasmo saat itu masih 35 tahun.
“Lantas, usaha budidaya rumput lautnya bagaimana?”
“Awalnya dulu, kita semua dikasih lahan garapan di laut, masing-masing dua hektar untuk budidaya rumput laut. Sudah ada pengepulnya juga yang menerima hasil panen kami. Tapi harganya tidak sejuta, cuma dua ratus lima puluh ribu”, lanjutnya terbahak.
Namun menurut Mulyono, keberadaan budidaya rumput laut di sekitar perairan pulau yang mereka diami, justeru mengganggu aktifitas melaut warga asli di sini. Setelah tinggal dan menyesuaikan diri, hampir seluruh transmigran yang datang, mulai mencoba budidaya rumput laut di sekitar perairan pulau Air Raja. Perairan menjadi dipenuhi aktifitas orang membudidaya rumput laut.
“Zaman dulu itu, nyari ikan kan sebenarnya masih gampang. Ikan-ikan itu kelihatan di sekitar rumput laut kami, tapi para nelayan di sini jadi kesulitan menangkapnya karena ada budidaya rumput laut, bisa merusak”, kata Mulyono tersenyum.
Karena tidak ingin berkonflik dengan masyarakat lokal dan juga menimbang hasil panen yang tidak sesuai harapan, hampir semua transmigran di sini tidak meneruskan lagi kegiatan budidaya rumput laut mereka. Para transmigran kemudian ada yang beralih menjadi nelayan mengingat hasil yang diperoleh jauh lebih baik. Banyak juga yang memilih kembali ke kebiasaan lama, bertani dan menggarap lahan sebagai kebun-kebun.
“Waktu itu, semua ditanggung pemerintah. Ya bibitnya, alatnya. Sampai hidup kami juga ditanggung. Pokoknya kami tahunya berusaha saja. Beras, minyak goreng, minyak tanah, gula garam, lauk, semua didrop tiap bulan”, Kenang Mbah Ngasmo.
“Lauk jatah bulanannya ikan asin, begitu terus sampai 1,5 tahun jatah hidup diberikan pemerintah”, lanjut Mbah Ngasmo.
Untuk kebutuhan sayur, mereka menanam di pekarangan rumah masing-masing yang luas tersebut. Sementara untuk variasi lauk, para transmigran tersebut kemudian bergabung bersama nelayan lokal, berburu ikan di laut.
“Saya bilang sama isteri, sudah, ikan asinnya buat pupuk saja. Jadi bukan sombong ya, pupuk tanaman kami itu walau juga diberi oleh pemerintah, juga pakai ikan asin”, mbah Ngasmo masih tergelak mengenang masa-masa perjuangannya sebagai transmigran di pulau Air Raja.
“Ada yang nggak betah, Mbah?” tanya saya.
“Banyak, wong namanya manusia. Ada teman desa saya, begitu sampai ke sini, tak sampai sebulan sudah pulang. Tanah yang dikasih pemerintah malah dijual. Ada juga yang pulang begitu jatah hidup dari pemerintah selesai setelah 1,5 tahun”.
Saat ini menurutnya, secara jumlah, transmigran asal desanya di Kendal yang masih bertahan di pulau Air Raja berkisar 20-an KK dari awalnya 80 KK.
Apakah dengan begitu program transmigrasi ini bisa dikatakan gagal?
“Ya, tidak begitu juga. Transmigrasi itu salah satu tujuannya adalah merubah taraf hidup masyarakat dari tempat asal menjadi lebih baik di tempatnya yang baru, selain untuk distribusi penduduk agar lebih merata”, terang Mbah Ngasmo.
Walau para transmigran tidak lagi menjalankan usaha budidaya rumput laut di pulau ini menurut sang menantu, Mulyono, mereka merasa berhasil meningkatkan taraf kehidupan.
“Di lokasi transmigrasi itu, warga bebas mendayagunakan segala kemampuan dan keahliannya untuk bertahan dan meningkatkan taraf hidup, itu yang kami perjuangkan dengan bertahan di sini,” katanya bangga.
“Ini kalau tidak ikut program dari pak Harto dulu itu, mungkin anak-anak saya tidak bisa bersekolah tinggi. Saya sempat pulang main ke desa, teman-teman yang masih ada, kehidupannya banyak yang tidak berubah. Anak-anak mereka banyak juga yang tidak bersekolah. Alhamdulillah, saya bersyukur ada di sini sekarang. Semua anak saya sarjana”, sambung Mbah Ngasmo haru.
Anak-anak Mbah Ngasmo yang ikut dalam obrolan kami, terdiam, mereka ikut terharu.
BUAH cabai yang tumbuh di kebun-kebun warga di Air Raja, berwarna unik, ungu seperti buah terong.
“,Wah, seumur-umur baru lihat ada cabai ungu begini. Bisa dimakan, pak? tanya saya ke seorang pria bernama Ajiman.
Rumah Ajiman berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah Mbah Ngasmo. Ajiman adalah keturunan pertama dari warga Transmigran yang datang ke lokasi ini 32 tahun silam.
“Ya bisa, ini kalau matang, warnanya jadi merah juga”, kata Ajiman sambil tetap sibuk membalik-balik tanah dengan cangkulnya.
Ia dan keluarga yang kini merawat rumah serta lahan peninggalan sang ayah. Luasnya sama dengan yang dimiliki Mbah Ngasmo, 0,5 hektar.
Cabai ungu, dari literasi yang kami peroleh, ternyata berasal dari Jepang. Merupakan cabai rawit dengan bentuk dan ukuran seperti yang biasa kita kenal.
Tanaman ini kurang banyak diketahui orang-orang, apalagi di Indonesia karena jarang orang yang menanamnya. Tapi ia juga bisa dikonsumsi dan memiliki fungsi yang sama dengan cabe rawit pada umumnya. Kelebihan cabai rawit ungu adalah bisa ditanam sebagai tanaman hidroponik.
Pembeda cabai ungu dan cabai rawit pada umumnya adalah pada zat antosianin yang dikandungnya. Zat itulah yang membuat cabai menjadi berwarna ungu. Dilansir dari laman manfaat.co.id, zat antosianin ini dapat berfungsi sebagai antioksidan dan menolak radikal bebas yang masuk ke tubuh.
Cabai ungu juga mengandung zat capsaicin sebagai pencipta rasa panas dan pedas ketika dikonsumsi. Zat capsaicin ini memiliki fungsi untuk mengurangi kadar lemak dalam darah. Oleh karena itu, tanaman cabai rawit ungu cocok dikonsumsi untuk mencegah terjadinya aterosklerosis.
Para peneliti juga menyebut cabai ungu mengandung vitamin C yang dapat meningkatkan imun untuk tubuh. Imun yang bagus akan membuat badan menjadi lebih kuat dan sulit terpapar penyakit.
“Dijual dimana hasil panen cabai ungu ini, pak? tanya saya.
“Sekarang sudah nggak dijual, buat konsumsi sendiri saja”, kata pria keturunan Jawa asal Kendal Jawa Tengah itu sambil tersenyum.
“Wah, sayang”, sergah saya.
Tidak seperti ayahnya yang bertopang hidup sebagai petani di pulau Air Raja ini, sang anak justeru bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan di Batam.
Ia hanya datang seminggu sekali ke pulau Air Raja bersama keluarga untuk tetap merawat warisan peninggalan sang ayah.
Di halaman rumah yang luas warisan orangtuanya itu, Ajiman juga menanam jenis sayuran lain. Ada juga beberapa kolam ikan air tawar.
“Kalau sekarang ini, sering dirusak babi hutan, kadang, monyet. Jadi, kadang ya gagal dipanen,” katanya.
Padahal menurutnya, saat awal dibuka sebagai area transmigrasi, ia tidak menemukan monyet atau babi hutan di pulau ini. Suasana pulau Air Raja kala itu juga lebih terang karena hampir seluruh bagian wilayah ini dibuka untuk area transmigrasi.
“Pulau ini dulu gundul, kelihatan rumah-rumahnya dari kejauhan”, jelasnya.
Seiring waktu, pulau ini kembali menghijau. Beberapa area yang hutannya sempat digunduli, kembali rimbun.
JEMBATAN kayu ini dibangun swadaya oleh masyarakat di kedua pulau. Sekarang, pulau Air Raja dan pulau Subang Mas sudah terhubung dan bisa ditempuh melalui jalur darat.
Terbuat dari kayu dengan ketinggian 4 meter dan panjang 6,5 meter. Selain pejalan kaki, jembatan yang diberi nama Raja Mas ini juga bisa dilalui kendaraan roda dua.
Karena cukup tinggi, perahu nelayan juga tetap bisa melintas bebas di bagian bawahnya. Saat tiba di sini, kami mendapati aktifitas nelayan dan perahu motor yang tetap bebas melintas di selat sempit antara Air Raja dan Subang Mas.
“Jembatan itu dibangun warga, ada keterlibatan pihak swasta juga”, kata mbah Ngasmo.
Jembatan Raja Mas selesai dibangun tahun 2021 lalu. Walikota Batam Muhammad Rudi yang ikut melihat jembatan ini kala itu, sempat menjanjikan pembangunan jembatan yang permanen untuk akses warga di kedua pulau.
Pemko Batam menurutnya, sudah merencanakan pembangunan jembatan permanen di lokasi tersebut, akan dianggarkan menggunakan APBD tahun 2022.
“Sengaja saya bawa Pak Yumasnur (Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Batam kala itu, pen) supaya bisa segera ditindaklanjuti,” ujarnya saat itu.
Bulan Mei tahun 2023, kami mendapati jembatan itu masih berwujud sama dari kayu, walau masih terlihat kokoh.
Jembatan kayu itu menjadi sarana vital yang menghubungkan warga di kedua pulau dengan lebih efektif dan mampu menekan biaya transportasi jadi lebih hemat.
HARI sudah sore. Kami kembali lagi ke rumah pak Bakri yang terletak di pinggir pelantar. Tadi siang, saya memesan agar dimasakkan pada pak Bakri, sebelum berkeliling di pulau Air Raja ini.
“Bapak lagi ke Punggur, antar ikan, masuk lah, makan, sudah ibu siapkan”, kata ibu Bakri yang menemui kami.
Hidangan ikan dingkis Asam pedas dengan nasi yang masih hangat, sudah terhidang di atas nampan seng, di lantai papan rumah pak Bakri.
Rumah mantan kepala desa terakhir pulau Air Raja itu sederhana saja. Hampir tidak ada perabot penghias ruangan dan juga Sofa. Ada dua bilik kamar untuk beristirahat dan satu ruangan ujung yang disekat sebagai dapur rumah.
Di bagian depan yang jadi teras, terlihat timbangan dan beberapa kotak es untuk menyimpan ikan hasil tangkapan di laut mantan kepala desa itu. Tapi, sudah banyak yang kosong, dibawa pria itu untuk dijual kepada pengumpul ikan di kampung Punggur Dalam.
Karena sudah sangat lapar, kami tidak menunggu lagi kedatangan pak Bakri yang masih berada di Telaga Punggur, Batam. Dua mangkuk besar asam pedas ikan dingkis dan nasi putih yang masih hangat segera habis kami lahap.
“Tak usah malu-malu, makan, habiskan”, kata Bu Bakri ramah.
Makan di rumah warga yang baru dikenal seperti ini, jadi pengalaman baru bagi anak saya, Yodha. Mungkin karena terlalu lapar dan lelah hampir seharian berkeliling di pulau kecil ini, ia tak segan-segan menghabiskan menu masakan Bu Bakri, wanita ramah yang baru dikenalnya.
(*)
Selesai
Para Transmigran Yang Menghentikan Usaha Rumput Laut - GoWest.ID
11 bulan ago[…] Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]
Para Transmigran Yang Menghentikan Usaha Rumput Laut - BatamBuzz
5 bulan ago[…] Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]