Pecong Kecil, Bajak Laut dan Kisah 7 Panglima Galang

Pecong; Pucung Penanda Pulau (5 – Selesai)

WANITA bernama Feranica Fatanah dikenalkan ke kami. Ia warga asli pulau Pecong. Fera sudah jadi guru di SMAN 22 pulau Pecong sejak 2016.

“Kembali ke kampung halaman, saya senang di sini”, kata Fera yang alumni Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang.

Baginya, mengajar di SMAN 22 menyenangkan. Ia hapal setiap detil pulau ini, masyarakatnya dan kehidupan sosial budayanya.

“Anak-anak yang bersekolah di SMAN 22, saya kenal semua keluarganya. Hampir semua masih terkait saudara”, katanya tersenyum.

Selain aktif mengajar, Fera juga membimbing para siswa di sini pada kegiatan seni, terutama tarian. Sanggar Hulubalang Laot diinisiasinya setahun lalu untuk menjadi wadah.

“Itu tadi yang tarian Rengkam, sebenarnya menceritakan tentang aktifitas warga pulau Pecong yang menggantungkan aktifitas dari mengumpulkan Rengkam di sini”, kata Fera.

Ia terinspirasi dengan nama ‘Hulubalang Laot’ untuk jadi nama sanggar seni yang diinisiasinya. Cerita-cerita masyarakat kepulauan di masa kecil kecilnya itu, begitu membekas di ingatan.

“Pernah dengar cerita rakyat tentang 7 Panglima Galang?”, tanya Fera ke saya.

“Ya, saya pernah tau, tapi tidak begitu mendalami. Cerita rakyat masyarakat di Kepulauan Batam ya?”

“Ya,” jawabnya bersemangat.

Feranica Fatanah, guru SMAN 22 Pulang Pecong – Batam yang menginisiasi berdirinya sanggar seni & budaya Hulubalang Laot, © bintorosuryo.com

Menurut Fera, dari cerita rakyat masa kecil yang didapatnya, salah satu panglima tersebut bermastautin di pulau Pecong ini.

Disebutkan dalam cerita orang-orang dulu, ada 7 orang yang disebut panglima Galang dan menguasai perairan strategis di sekitar wilayah ini. Mereka terlahir dari 7 wanita asal pulau yang sekarang disebut pulau Galang. 7 Panglima Galang terkenal sebagai lanun atau bajak laut yang sering mengganggu aktifitas kapal-kapal dagang yang melintas. Wilayah mereka meliputi perairan di sekitar Pulau abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung dan Pulau Panjang.

Ditarik lebih jauh ke belakang, kisah 7 Panglima Galang ini bermula dari perintah seorang Sultan Malaka di abad ke-16 untuk membuat sebuah Lancang atau Kapal. Pasukan Kerajaan kemudian tiba di pulau kecil yang kelak dikenal dengan nama pulau Galang. Banyak persediaan kayu seraya yang dipercaya sebagai bahan baku yang baik untuk kapal milik raja di pulau itu. Pasukan Kerajaan kemudian membuat lancang di sana. Seorang warga pulau yang dikenal sebagai orang Selat (yang mendiami wilayah Kepulauan, pen) bernama Canang, coba mendekati pasukan Kerajaan yang sedang membangun lancang. Namun ia diusir untuk menjauh. Sang pria tersinggung dan akhirnya keluar sumpah darinya; “lancang yang dibangun tidak akan pernah bisa mencapai laut saat selesai dibangun.”

Keanehan terjadi saat lancang selesai dibangun. Kapal atau lancang itu tidak bisa dibawa ke laut, seperti sumpah pria bernama Canang. Agar bisa turun ke laut, pasukan Kerajaan mendapat masukan untuk menggunakan 7 wanita yang sedang hamil anak pertama di pulau itu sebagai pemutus sumpah, sekaligus landasan menggulirkan kapal ke laut.

Kapal akhirnya bisa melaut dan berlayar menuju Malaka, sesuai keinginan Sultan. 7 wanita hamil yang menjadi landas kapal meninggal, namun anak-anak mereka selamat. Mereka dipelihara oleh pria bernama Canang yang mengeluarkan sumpah awalnya tersebut.

Setelah dewasa, ketujuhnya kemudian memiliki dendam besar karena ibu-ibu mereka dijadikan tumbal. Ketujuhnya kemudian menjelma menjadi sosok lanun yang sangat berani dan menguasai perairan sekitar Batam hingga Karimun dan dikenal dengan sebutan 7 Panglima Galang.

Aktifitas melaut seorang warga pulau Pecong, © bintorosuryo.com

Menurut Fera, pulau Pecong seperti yang banyak diceritakan dalam hikayat tersebut, merupakan tempat tinggal salah satu panglima Galang, bersama hulubalangnya pada masa silam.

“Dulu bukan pulau Pecong besar ini yang didiami orang, tapi Pecong kecil yang agak ke sana itu”, ujar Fera.

Cikal bakal keturunan orang Pecong yang mendiami pulau Pecong besar sekarang, dipercaya dari keturunan para hulubalang laut yang ikut bersama salah satu panglima Galang bermastautin di pulau Pecong kecil.

“Ceritanya memang sadis, ya. Dulu orang-orang sini terkenal sebagai lanun, bajak laut. Sasarannya bukan nelayan, tapi para saudagar asal China yang kapalnya membawa barang. Barang mereka dirampas, orangnya dibunuh dan kapalnya ditenggelamkan. Itu di perairan sekitar pulau Pecong Kecil, ada cekungan seperti Palung, isinya banyak bangkai-bangkai kapal China zaman dulu”, kata Fera.

Wanita itu memang tidak asing dengan kehidupan di sekitar perairan ini sejak dulu. Ia terlahir di wilayah ini, menjalani pendidikan hingga ke Belakangpadang dan berkuliah di Tanjungpinang. Nasib membawanya kembali ke pulau kelahirannya ini sebagai seorang pendidik.

Seiring waktu, aktifitas perompakan di sekitar perairan tempat kelahirannya, menurun jauh, kini. Namun, kiprah para lanun atau bajak Laut di perairan sekitar Belakang Padang termasuk pulau Pecong, masih terjadi. Paling tidak hingga beberapa dasawarsa ke belakang. Seperti pada masa dulu, keberadaan mereka jadi ancaman yang menakutkan bagi kapal-kapal yang melintas di sekitar selat Philip Singapura dan perairan perbatasan di sekitar wilayah itu setiap hari.

Sepanjang tahun 1991, misalnya. Berbagai kasus perompakan masih kerap terjadi di wilayah ini. Seorang penulis di abesegara.com menyebut ada sekitar 185 kali aksi perompakan laut yang tercatat di Polda Riau (dulu Kepri berada dalam pengelolaan Polda Riau secara hukum, pen). Kemudian pada tahun 1992 sampai bulan Mei, tercatat ada 63 kasus.Beberapa media massa asing juga pernah memuat berita-berita tentang kasus perompakan di wilayah itu.

Menurut catatan sejarah, sejak dulu selat Malaka hingga alur perairan selat Philips yang sekarang jadi batas perairan dua negara, Indonesia & Singapura, telah jadi jalur perdagangan yang ramai. Ramainya selat ini sebagai jalur perdagangan membuatnya menjadi rawan aksi perompakan. Kebanyakan kapal yang berlayar melewati selat Malaka membawa barang dagang yang nilainya tidak sedikit.

Catatan sejarah dari China pada abad ke 14, seorang pengelana yang bernama Wang Dayuan dalam bukunya Daoyi Zhilue mendeskrpisikan keberadaan bajak laut dari Long Ya Men (Tumasek / Singapura) dan Lambri (Daerah di bagian Sumatera Utara) menyerang kapal dagang China dengan armadanya yang mencapai tiga ratus buah kapal kecil (sumber : abesegara.com).

Puncak dari pembajakan kapal adalah pada abad ke 18 sampai 19 seperti yang ditulis pada buku The Scents of Eden: A Narrative of The Spice Trade. Pada abad itu rempah-rempah menjadi komoditas yang paling mahal selain minyak paus. Selat Malaka menjadi jalur rempah yang sangat ramai dan membuatnya rawan perompakan.

Kisah tentang para lanun atau bajak laut di wilayah perairan ini yang marak hingga tiga dasawarsa lalu , juga sempat dikupas beberapa media lokal di Batam. Contohnya kisah Hendrik, seorang mantan lanun atau bajak laut yang kini memilih tinggal di pulau Belakangpadang. Hendrik pernah terlibat dalam banyak aksi perompakan laut di dekade 90-an. Bersama rekan-rekannya, ia menguasai wilayah perairan di sekitar Selat Philip yang ramai dilalui kapal-kapal.

Negara Singapura dari kejauhan di atas bukit pulau Belakangpadang, © bintorosuryo.com

Menurutnya, hingga dekade 90-an, aksi perompakan laut masih jadi momok yang menakutkan bagi para ABK kapal-kapal yang melintas di perairan yang merupakan pintu gerbang ke kawasan Asia, menghubungkan Lautan Hindia dengan Laut Cina Selatan.

Para bajak laut atau lanun ini, lihai memanfaatkan alur yang sempit di antara banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya. Usai beraksi, mereka biasanya mengarahkan kapal ke perairan dangkal di sekitar di sekitar perairan ini yang tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal patroli ukuran besar.

Catatan aksi para perompak juga sempat jadi sorotan para kepala kepolisian se-Asia Tenggara yang bertemu dalam konferensi ASEANAPOL di Brunei Darussalam, Agustus 1992 silam.

“Sekarang jauh menurun lah. Zaman dah berubah. Kami di sini misalnya, adalah masyarakat nelayan. Beberapa tahun terakhir juga menjadi pemanen Rengkam, sesuatu yang dahulu, tak pernah terpikir bisa menjadi potensi pendapatan”, kata Fera.

Demi mendukung peningkatan ekonomi warga di sini yang rata-rata masih terkait saudara itu, Fera memilih jalur yang ditekuninya, seni budaya.

Para penari dari sanggar seni Hulubalang Laot sedang membawakan tarian Rengkam di pinggir pantai pulau Pecong, © bintorosuryo.com

“Nanti saya kirim video tarian Rengkam yang dibawakan para siswa. Mereka membawakannya di pinggir pantai”, kata Fera bersemangat.

“Wah, menarik itu, saya tunggu, Bu” kata saya.

(*)

Selesai

About Author /

Admin

1 Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search

Silahkan bagikan konten ini.