Orang Tionghoa, Nelayan Laut dan Ladang di Duriangkang

Teluk Duriangkang yang Kini Tawar (bagian 1)

SEBELUM perairan Duriangkang di Pulau Batam dibendung untuk pembangunan waduk, wilayah itu sudah punya dinamika kehidupan sosial masyarakat yang lumayan lama.

Nama Duriangkang diketahui dari orang-orang lama yang pernah hidup di wilayah itu pada masa lalu, secara turun temurun. Diambil dari sebutan lisan tentang penamaan sebuah daerah yang lazim digunakan di wilayah ini. Duriangkang disebut berasal dari dua kata berbeda; ‘Duri’ dan ‘Angkat (Angkang)’. Konon, zaman dahulu, ada seorang warga asal Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berlayar sampai ke perairan Batam. Kapal/ perahunya diterjang badai dan menepi ke sebuah teluk yang sekarang dikenal sebagai waduk Duriangkang. Namun, malah terjebak oleh duri-duri di dalam air yang membuat kapal tidak bisa bergerak.

Sang kapten memerintahkan anak buahnya, ‘Duri, Angkang (angkat)!’. Maksudnya, ia memerintahkan para anak buah kapal (ABK) untuk mengangkat duri yang menghalangi kapal mereka. Sampai beberapa lama kemudian, rombongan itu menetap di kawasan yang kemudian disebut sebagai Duriangkang.

Lambat laun, wilayah itu berkembang dan banyak didatangi pendatang dan pedagang asal Tionghoa. Letaknya strategis di sekitar perairan kampung Bagan dan Piayu yang pada masa lalu, merupakan perlintasan orang dari pusat pemerintahan Melayu di pulau Penyengat ke negeri Temasek hingga Semenanjung Malaya.

Orang Tionghoa, Nelayan Laut dan Ladang di Duriangkang

Dari awalnya hanya singgah, banyak warga Tionghoa yang kemudian memilih untuk menetap di sana. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, tapi banyak yang membuka ladang-ladang. Pada masa lalu, Duriangkang sempat dikenal sebagai wilayah penghasil tanaman Gambir.

Saya sempat beberapa kali menyinggahi perkampungan Duriangkang masa lalu yang masih terhubung langsung ke perairan laut di sekitar kampung Bagan pada dekade 80-an. Perairan laut Duriangkang merupakan teluk yang lumayan ramai. Ada pelabuhan rakyat yang jadi denyut nadi perekonomian di sana.

DAM Duriangkang dari kejauhan, © Bintoro Suryo.

Sebelum akses darat dari satu wilayah ke wilayah lain di Batam tersambung, pergerakan warga yang tinggal di sekitar Batam, lebih banyak menggunakan jalur laut. Pelabuhan rakyat di Duriangkang jadi salah satu yang vital.

Masyarakat di pesisir pantainya, hidup dekat dengan laut dan sangat bergantung pada aktivitas nelayan sebagai pencarian utama. Rata – rata adalah warga dari suku Melayu, Bugis dan Jawa. Sementara etnis Tionghoa, berdiam di sekitar kawasan dekat aliran sungai yang bermuara ke teluk tersebut. Mereka biasanya mengolah ladang-ladang, beternak hingga berdagang.

Duriangkang masa lalu juga dikenal sebagai penghasil tanaman Gambir, hingga karet. Orang Tionghoa mengolah lahan di sekitarnya yang lebih berbukit sebagai kebun atau ladang – ladang.

Sebuah catatan menyebut keberadaan penduduk di sekitar Duriangkang, sudah ada sejak sebelum tahun 1900-an. Sementara etnis Tionghoa mulai mendiami wilayah itu dalam kedatangan secara bergelombang untuk berladang Gambir hingga berdagang.

Itu sejalan dengan arsip kolonial “Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw-1854” yang ditulis Elishe Netscher. Dalam catatannya disebut ada 18 pabrik pengolahan gambir di Kepulauan Riau pada tahun 1848 milik orang China (Tionghoa). Pabrik gambir tersebut berada di Galang, Sambulang, Duriangkang dan Mukakuning.

Dalam catatan disebut, keberadaan pendatang asal Tionghoa, termasuk di wilayah Duriangkang mendapat privilege dari penguasa lokal saat itu. Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Lingga dengan persetujuan Residen Belanda yang bermarkas di Tanjungpinang-Kepri (sekarang) mengeluarkan plakat yang isinya memberikan izin bagi tauke Tionghoa-China untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam saat itu.Pada abad 19, harga gambir disebut melambung tinggi karena tingginya permintaan gambir yang digunakan dalam industri kulit di Eropa.

Lim Bou Son, seorang warga Batam keturunan ketiga dari pendatang asal Tionghoa di Batam, dalam sebuah catatan menyebut, kakek dan neneknya tiba di Duriangkang pada 1926, pada gelombang kedatangan kesekian kali orang Tionghoa di Kepulauan Riau. Saat itu, sudah ada beberapa orang Tionghoa yang mendiami wilayah di sekitar Duriangkang.

Seperti yang saya lihat di dekade 80-an, pada masa lebih awal kedatangan mereka di sana, orang Tionghoa juga mendiami daerah sekitar aliran sungai. Beberapa sungai dan anak sungai yang tercatat pernah dan masih ada di sana seperti sungai pancur, sungai Mukakuning dan sungai Beduk yang anak sungainya mengarah ke perairan laut Duriangkang masa lalu.

Sekitar dekade 1960-an, lokasi itu bahkan pernah juga dijadikan basis relawan Indonesia saat konfrontasi melawan Malaysia.

“Lokasinya kan terlindung ya, jadi basis relawan sebelum diberangkatkan ke Singapura dan Malaysia, salah satunya di Duriangkang sana”, kata Hartoyo Sirkoen ke saya beberapa waktu lalu. Pak Toyo, begitu saya menyapa, salah satu tokoh masyarakat Batam kelahiran pulau Sambu, fasih menceritakan kondisi Batam tempo dulu.

Posisi Batam tempo dulu, tidak bisa disamakan dengan saat sekarang, dimana pulau Batam menjadi sentra dari pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di zaman dulu, Batam hanya didiami di beberapa bagian pesisir dengan interaksi sosial justeru ramai di perairan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Saat zaman saya kecil, pusatnya ya di Belakang Padang (ibukota kecamatan Batam, pen). Ya pemerintahannya, ekonominya. Sebelumnya ada di pulau Buluh”, katanya.

Selain beberapa pemukiman di beberapa lokasi pesisirnya, orang zaman dahulu mengenal Batam sebagai kebun di bagian daratan yang agak ke dalam dari pinggiran pantai.

“Tanjung Riau, Sekupang dan Duriangkang itu sudah ada penduduknya. Yang agak ke dalam dari pesisir itu banyak kebun-kebun, termasuk Duriangkang”, lanjutnya.

Sebuah sekolah dasar negeri (SD Inpres, pen) juga pernah berdiri di sana, SDN 004 Batam. Seiring zaman, sekolah tingkat dasar keempat yang didirikan di Batam itu, akhirnya ditenggelamkan bersama puluhan rumah-rumah warga, sebagai imbas dimulainya pembangunan waduk Duriangkang yang membendung teluk tenang itu pada awal dekade 90-an.

(*)

Bersambung

Selanjutnya : Nelayan Perairan Laut, Kini Air Tawar - Teluk Duriangkang yang Kini Tawar (bagian 2)
Bintoro Suryo

About Author /

Admin

2 Comments

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search