Menuju Pulau Subang Puteri Raja
Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 1)
BANYAK cerita dibangun untuk memberi identitas suatu tempat. Sebagai nama atau penanda. Ada nama yang didapat dari cerita turun-temurun, dari hikayat, fakta sejarah atau malah dibangun belakangan dari pengalaman yang diperoleh warganya.
“Kita di Subang Mas, pulau Subang (giwang, pen) emas dari puteri raja”, kata saya setelah membaca beberapa referensi dan catatan tentang sejarah nama pulau kecil ini kepada Domu, Yodha dan Sania. Rombongan kecil kami baru saja menapak di bagian dermaganya.
Pulau Subang Mas terletak di gugus kepulauan besar Batam – Rempang – Galang. Berhampiran pulau Combon yang cuma dipisahkan selat kecil dengan pulau Rempang.
Tak banyak yang mendiaminya. Cuma beberapa Kepala Keluarga (KK) saja. Dermaganya sudah dibangun dari beton oleh pemerintah kota Batam sejak beberapa tahun lalu. Pulau ini juga berstatus administrasi sebagai sebuah kelurahan sendiri.
“Pak, nomor telepon Abang itu”, kata Domu berbisik, mengingatkan saya untuk meminta nomor telepon Tekong pembawa kami kali ini.
Namanya Badol. Suku laut yang tinggal di pulau Todak. Ia satu-satunya Tekong yang bersedia mengantarkan kami ke pulau kecil ini dari pelabuhan rakyat Punggur di Batam.
Angin Utara membuat banyak yang enggan beranjak dari dermaga itu. Apalagi, rute menuju pulau kecil ini melintasi selat Uban yang terhubung ke perairan laut cina selatan yang rawan.
Gelombang sedang besar, terutama di selat perlintasan antara pulau Ngenang dan Air Raja. Perahu boat fiber yang kami tumpangi, berkali-kali melompat saat bertemu gelombang besar.
“Saya nunggu di pelantar sana, bang. Agak terlindung dari ombak”, kata bang Badol setelah memberikan nomor ponselnya ke saya.
“Nanti sore kami hubungi, bang. Kita akan lanjut ke pulau Tunjuk yang di depan itu”, kata saya padanya.
Domu, Yodha dan Sania sudah berjalan lebih dulu menyusur pelantar.
Pulau ini tergolong sepi. Kami hanya bertemu beberapa remaja di ujung pelantar.
“Dek, kalau mau ke komplek makam Puteri Dahlia, lewat mana? Jauh dari sini?”, tanya Domu ke kelompok remaja itu.
“Itu, bang. Yang ujung sana makamnya. Tak jauh dari sini”, kata salah satunya.
Di Subang Mas ini, kami berencana mengeksplorasinya, juga mengunjungi sebuah komplek makam tua yang disebut sebagai komplek makam pertama yang ada di pulau ini.
Referensi awal yang kami diperoleh, pulau ini pernah menjadi lokasi pelarian rombongan puteri raja dari kerajaan Daik di Lingga ratusan tahun lalu. Rombongan berdiam di pulau ini hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di sini.
Di sebuah warung yang sepi, kami juga dapat informasi tentang nama juru kunci penjaganya. Namanya pak Senin. Seorang warga asli Subang Mas.
“Saya bisa antarkan ke rumah pak Senin, tak jauh lah dari sini”, ujar sang pemilik warung yang ramah kepada kami.
Pria itu merupakan pendatang asal Sumatera Barat yang akhirnya memutuskan tinggal di pulau ini.
“Kok bisa sampai sini, bang. Jauh merantaunya?”, kata saya padanya.
“Panjang ceritanya, bang. Tapi yang jelas, isteri saya orang asli Subang Mas. Kami bertemu di Tanjungpinang saat saya bekerja di sana”, jawabnya sambil tersenyum.
Pandemi Covid-19 memaksa pria itu untuk kembali ke kampung halaman sang isteri.
“Banyak usaha yang berhenti beroperasi, bang. Termasuk tempat kerja saya. Mau tak mau, kami akhirnya kembali ke sini”, ujarnya lirih.
Di pulau seluas 15 hektare ini, pasangan itu memulai kehidupan yang baru. Selain membuka warung kelontong bahan pokok untuk kehidupan sehari-hari warga di sini, mereka juga membuka warung makan kecil-kecilan. Tak banyak yang dijual, hanya Indomie rebus dan minuman ringan.
“Itu juga jarang-jarang yang beli, paling kalau ada pengunjung seperti Abang ini. Sehari-hari mengandalkan warung sembako saja”, katanya.
“Gimana mendatangkan sembako ke sini?” tanya saya.
“Pesan, bang. Nanti didatangkan pakai perahu. Barangnya dari Punggur (Batam, pen). Sekali pesan harus banyak karena ongkos transport-nya lumayan, hehe”, katanya.
Pulau Subang Mas yang kami datangi ini, masuk dalam administrasi kelurahan Subang Mas, kecamatan Galang, kota Batam. Penduduknya hanya sekitar 60 Kepala Keluarga saja. Pekerjaan mereka kebanyakan nelayan. Generasi mudanya lebih banyak memilih untuk merantau, bekerja di pabrik-pabrik di pulau Batam.
Di pulau ini baru ada 1 sekolah dasar, yaitu SD Negeri 003 Galang. Satu gedung sekolah dasar lainnya, walau terletak dalam kelurahan yang sama, namun berada di wilayah kampung baru yang berbeda pulau dengan pulau ini.
Sementara untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak usia sekolah di sini harus menyeberang ke pulau Air Raja, pulau di sebelahnya.
Beruntung, sejak beberapa tahun terakhir ini, sudah ada jembatan penyeberangan di antara keduanya. Walau terbuat dari kayu dan cuma bisa dilintasi sepeda motor, namun cukup membuka akses keduanya untuk saling lebih terhubung secara sosial, ekonomi dan berbagi fasilitas umum.
Jembatan yang diberi nama Raja Mas itu, memiliki tinggi sekitar 4 meter, panjang 6,5 meter dan lebar meter. Sampai sebelum dioperasikan pada 2021, akses masyarakat Subang Mas dan Air Raja yang tinggal berdekatan itu, biasa dilakukan via jalur laut.
“Nah itu rumahnya, bang”, kata si pemilik warung yang bersedia mengantarkan kami.
Pakcik, ada tamu,” lanjutnya ke seorang pria yang sedang duduk di bale-bale di depan rumah tersebut. Usianya saya kira sekitar 60 tahunan.
Itu pak Senin, juru kunci makam Puteri Dahlia. Seorang puteri raja Daik Lingga yang dikabarkan sempat tinggal di pulau kecil ini, dalam upaya melarikan diri dari istana raja ratusan tahun silam.
“Subang tu giwang, Subang Puteri Dahlia”, ujar pak Senin saat kami sudah mulai terlibat obrolan tentang asal mula nama pulau kecil ini.
(*)
Bersambung
Selamjutnya : “Pulau Pelanduk yang Terlindungi”