“Pulau Pelanduk yang Terlindungi”
Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 2)
PAK Senin adalah keturunan asli orang yang mendiami Subang Mas. Ia tidak pernah meninggalkan pulau itu hingga usianya lebih dari 60 tahun.
“Dari lahir di sini. Kecik, dewasa hingga tua sekarang ni. Tak pernah pindah. Ini kan kampung halaman kita”, katanya terkekeh pada Sania yang duduk di hadapan pada bale-bale tua.
Awalnya, hampir sebagian besar lahan di Subang Mas adalah milik keluarga besarnya. Nenek moyangnya termasuk warga awal yang mendiami pulau seluas 15 hektar tersebut.
“Sekarang pun, rata-rata masih terhitung saudara semua di sini. Tapi ada beberapa warga lain yang ikut pindah ke sini sejak beberapa belas tahun terakhir “, lanjutnya.
Walau sempat menguasai hampir sebagian besar lokasi di pulau Subang Mas, pria ini mengaku bahwa keluarga besarnya tak mengantongi dokumen legalitas. Umumnya orang zaman dulu, penguasaan lahan dilakukan dengan cara membuka daerah kosong, mendiami hingga mengupayakan secara ekonomi saja.
“Sampai bukit di atas sana tu, sebenarnya tanah Datok moyang kami. Dia yang datang dan tinggal di pulau ni saat masih sepi dulu”, ujar Senin menceritakan kehidupan awal dari silsilah keluarganya.
Umumnya masyarakat pesisir yang tinggal di lokasi kepulauan dan pulau-pulau kecil, keturunan awal keluarga pak Senin juga sempat berpindah-pindah tempat tinggal, sampai akhirnya memutuskan untuk mendiami pulau ini. Lokasi yang agak terlindung dari terpaan gelombang dan musim angin Utara, membuat pulau Subang Mas cukup aman didiami oleh masyarakat pesisir.
Persis di hadapannya, ada satu pulau kecil berbentuk seperti ruas telunjuk manusia yang sering disebut sebagai pulau Tunjuk. Pulau ini seperti menjadi benteng yang melindungi warga yang mendiami Subang Mas saat musim angin Utara. Sementara di sisi sebelah kanan, sebuah pulau lain yang agak lebih besar, menjadi penghadang yang efektif terhadap angin dan gelombang laut tinggi di musim angin selatan.
Pulau Subang Mas termasuk dalam gugus pulau-pulau kecil di sekitar pulau Rempang. Letaknya berhampiran dengan pulau itu dan cuma dipisahkan selat Combon yang kecil. Pada zaman dahulu, daratannya seperti menyatu karena masih lebatnya hutan mangrove di kedua sisi selatan sempit tersebut.
“Dulu, ini (Subang Mas, pen) kan masuk kabupaten Kepulauan Riau, kecamatannya Bintan Utara di Tanjung Uban sana. Baru pada masa perluasan wilayah kerja Otorita (Batam/ BP Batam, pen), pulau kami ni dimasukkan di wilayah kota Batam. Sama seperti Air Raja di sana”, kata pak Senin bercerita.
Jika pulau Air Raja di masa lalu lebih dikenal dengan nama pulau Lobam Laut, pulau Subang Mas yang terletak berhampiran dan hanya dipisahkan selat kecil dengannya, dikenal dengan beberapa nama lain
Sebuah catatan di situs sea-seek.com, pulau ini sempat dikenal dengan nama pulau Pelanduk pada puluhan, atau mungkin ratusan tahun sebelumnya?
Sebuah hal umum yang biasa dilakukan masyarakat di wilayah pesisir Kepulauan Riau zaman dulu adalah memberikan nama sebuah lokasi dari hal dominan yang terlihat di sekitarnya pada masa itu. Diduga, pulau ini sempat menjadi habitat hidup hewan kancil yang biasa disebut sebagai Pelanduk pada masa lalu oleh masyarakat Melayu Kepulauan Riau.
Hal ini juga diperkuat dari BKSDA Batam yang menyebut pelanduk merupakan salah satu hewan asli di Kepulauan Riau. Dahulunya, pelanduk atau kancil tersebar di banyak lokasi. Namun sering zaman, keberadaannya kini makin sulit ditemui. Salah satu lokasi yang diyakini masih menjadi habitat hidup mamalia itu adalah hutan Rempang yang berhampiran dengan pulau Subang Mas.
Pelanduk dan ceritanya di Khazanah Melayu
HEWAN pelanduk atau kancil, lazim ditemui di hutan-hutan wilayah Semenanjung Malaya hingga Sumatera pada umumnya. Di wilayah Kepulauan Riau, pelanduk atau kancil juga masih kerap dijumpai hingga dekade 80-90 lalu. Ia tergolong hewan pemalu yang menghindari interaksi dengan manusia. Memiliki kecepatan berlari seperti rusa, tapi berukuran lebih mini.
Sepintas, bentuknya seperti percampuran tikus dan rusa. Orang dari benua eropa, bahkan sempat menjulukinya dengan nama ‘mouse deer’. Walau begitu, pelanduk sebenarnya tidak berada di keluarga yang sama dengan mereka. Pelanduk memiliki keluarga sendiri yang terdiri dari berbagai spesies.
Pelanduk merupakan nama umum untuk menyebut hewan dalam keluarga Tragulidae. Ia berkerabat dekat dengan rusa, tapi bukan termasuk rusa. Mereka memiliki keluarga sendiri yang terdiri dari tiga genus dan sepuluh spesies.
Yaitu Hyemochus, Moschiola, dan Tragulus. Sementara beberapa spesies lain yang masih dianggap misterius dikelompokkan para ilmuwan dalam genus Moschiola. Namun begitu, walau terbagi-bagi dalam tiga genus berbeda, sejatinya pelanduk tampak mirip satu sama lain.
Pelanduk Kancil memiliki panjang tubuh berkisar 20 cm sampai 25 cm saja dengan berat tubuhnya yang hanya mencapai 1,5 kg sampai 2 kg. Ukurannya yang mungil hampir menyerupai ukuran kelinci dengan bagian tubuh cenderung membulat.
Mereka hidup secara soliter dan tidak berada dalam kelompok besar seperti kawanan hewan liar pada biasanya. Tetapi pada saat memasuki masa kawin, pelanduk akan membentuk kelompok dalam skala kecil sekitar 3 hingga 6 individu.
Pelanduk seperti yang umumnya dikenal masyarakat Kepulauan Riau, cenderung beraktivitas di malam hari untuk mencari makan. Mereka termasuk hewan herbivora yang memamah biak sehingga mengkonsumsi rumput, daun, semak-semak, tumbuhan menjalar, sampai buah-buahan yang jatuh ke tanah.
Meskipun memiliki kebiasaan beraktifivitas di malam hari, terkadang Kancil juga terlihat berakitivitas pada siang hari untuk mencari makan atau kawin. Habitat dari pelanduk atau kancil, biasanya ada pada hutan-hutan primer dan sekunder di dataran rendah sampai ketinggian 600 m. Mereka kerap juga ditemui di daerah dataran rendah serta hutan mangrove di pulau-pulau di Kepri.
Perburuan Pelanduk atau kancil untuk dijadikan bahan makanan, juga cukup lazim dilakukan warga di Kepulauan Riau pada masa lalu. Kancil atau Pelanduk menjadi hidangan mewah dan biasa dikonsumsi para bangsawan.
Selain lezat, daging kancil atau Pelanduk dipercaya berkhasiat untuk mengobati aneka penyakit. Yang paling dikenal masyarakat Kepulauan Riau adalah untuk mengobati sakit pernafasan.
Dalam dongeng masyarakat kepulauan di masa lalu, hewan ini juga kerap muncul. Sepertinya misalnya hikayat Kancil si pencuri ketimun.
Sementara di khazanah sastra Melayu, hikayat ini termasuk kisah yang agak tua usianya. Menurut peneliti sastra Werndly, penyebutannya sudah ada, paling tidak pada tahun 1736.
Hikayat Sang Kancil sangat populer di Semenanjung Tanah Melayu yang juga menandakan bahwa hewan ini begitu familiar bagi masyarakat Melayu sejak zaman dulu.
Termasuk di pulau yang kini bernama Subang Mas itu.
“Ada makam seorang Puteri di sini, Puteri Dahlia, anak Raja Daik”, kata pak Senin.
Menurut pria itu, di lokasi yang sekarang merupakan komplek makam sang puteri bersama para punggawa dan dayang pengasuhnya itu, dahulu cuma hutan yang jarang terjamah warga.
“Dulunya tempat (makam) ini adalah hutan, ya dijadikan kebun juga. Tidak ada makamnya di sini, hanya pepohonan besar,” katanya.
“Jauh dari sini, pak?” tanya Sania.
“Tak lah, mari saya antar kalau nak ke sana”, ujar pak Senin ramah.
Dari kediaman pak Senin, kami berjalan melewati ruas jalan yang sudah disemen. Tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk dilewati kendaraan roda dua yang saling berpapasan.
“Tahun berapa makamnya ditemukan, pak?” tanya Sania sambil berjalan.
“Sekitar tahun 1997, ada perempuan yang awalnya mengaku didatangi seorang puteri melalui mimpi. Anak Pengujan (sebuah kampung/desa di Bintan, pen). Namanya Beti”, terang pak Senin.
Menurut pak Senin, awalnya wanita tersebut mengabaikan mimpinya dan menganggap bunga tidur. Namun, berkali-kali pula ia selalu didatangi oleh sosok yang sama. Permintaanya selalu sama, yakni agar Beti segera memberitahu pada penduduk di sebuah pulau tentang makam yang terdapat di sana. Ia petunjuk tentang pulau yang dimaksud.
“Anak tu akhirnya sakit dan minta diantar ke sini. Ketemu saya. Saya bilang, mana ada makam Puteri raja di sini. Tapi dia keras bilang ada”, cerita pak Senin.
“Dia minta diantar ke suatu tempat untuk menemukan makam sang putri, dan memasangkan kain kuning pada nisan makam sebelum masuk bulan Ramadan. Akhirnya saya ikuti”, lanjutnya.
Setelah pak Senin bersama Beti dan rombongan menelusuri beberapa tempat di pulau ini, cerita pria itu, akhirnya ditemukan makam di lokasi yang sebelumnya cuma dikenal warga sebagai hutan dan kebun.
“Setelah makam ditemukan tiba-tiba lokasinya jadi bersih,” katanya.
Saat awal ditemukan, awalnya hanya ada tiga makam, yakni makam Engku Putri Dahlia dan inang pengasuhnya, beserta satu orang panglima.
Namun beberapa bulan setelah itu, bermunculan secara misterius beberapa makam lain, yang hingga saat ini berjumlah 19 makam, dengan berbagai ukuran dari besar hingga kecil.
“Anehnya lagi , batu nisan dari makam-makam tersebut tumbuh perlahan seperti benih tanaman”, lanjut pak Senin.
Sejak penemuan itu menurut pak Senin, justeru ia yang kerap didatangi oleh sosok sang Puteri yang kemudian memintanya untuk menjaga serta merawat makam-makam tersebut.
“Tak masuk akal, tapi begitu adanya”, kata pak Senin yang kemudian menghentikan langkah.
“Pak, ini apa, pak”, tanya Sania yang ikut menghentikan langkah di sebelah pak Senin. Ia melihat sebuah batu di pinggir pantai berpasir putih, tak jauh dari hadapannya.
“Itu kursi tempat duduk puteri”, kata pak Senin sambil seperti menerawang.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : “Penunjuk Utara Selatan ; Subang Mas – Daik Lingga” (Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 3)
Menuju Pulau Subang Puteri Raja – Bintoro Suryo
7 bulan ago[…] “Pulau Pelanduk yang Terlindungi” […]
- GoWest.ID
7 bulan ago[…] Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]
“Pulau Pelanduk yang Terlindungi” - GoWest.ID
7 bulan ago[…] Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]