“Warga yang Misterius dan dua Menara Suar Peninggalan Belanda”

Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 4)

“Sepi, bang? begini ya biasanya?” Tanya saya ke Tekong pembawa rombongan kami.

“Ya begini, dulu sempat ramai untuk wisata, makanya dibuat pelantar beton. Tapi sekarang ya begini”, jawabnya.


PULAU Tunjuk, secara tata pemerintahan masuk wilayah Kelurahan Subang Mas Kecamatan Galang, Batam. Ada beberapa akses ke pulau ini. Letaknya berseberangan dengan Pulau Subang Mas. Pulau ini sempat ramai dikunjungi orang dan menjadi salah satu destinasi wisata di Kepulauan Riau.

Untuk bisa sampai ke pulau ini, ada beberapa rute yang bisa ditempuh. Melalui pelabuhan rakyat Punggur, misalnya. Perjalanan laut bisa memakan waktu sekitar 40 menit. Jika ingin perjalanan laut yang lebih dekat, bisa melalui Kampung Cate di Jembatan 4 Barelang. Kita bisa menyewa boat pancung milik nelayan. Tapi, butuh perjalanan darat lumayan lama dari Batam.

Pulau Tunjuk bukanlah pulau tak berpenghuni, di sisi timur terdapat perkampungan dengan fasilitas yang cukup memadai seperti jetti beton dan balai adat. Untuk penerangan warga di sini mengandalkan panel sel surya.

Pulau kecil ini punya luas sekitar 15 hektar. Bentuknya memanjang, seperti jari telunjuk manusia. Sejak beberapa tahun lalu, pulau kecil dengan penduduk sekitar 18 Kepala Keluarga (KK) itu, sempat ramai dikunjungi orang. Pulau Tunjuk viral di linimasa digital warganet.

“Tak banyak lagi lah yang datang ke sini. Warga asli yang punya rumah di sini sebenarnya ada beberapa puluh KK, tapi yang mendiami, tak lebih belasan saja”, terang bang Badol lagi.

Pria asal Pulau Kubung itu, dulu kerap mengantar pengunjung ke pulau ini melalui rute Punggur Dalam di Batam. Tapi sejak wabah Covid-19 melanda, semua berubah. Bukan hanya pengunjung, tapi penduduk juga perlahan berkurang.

“Yang ada sekarang tu, rata-rata masih berkeluarga besar. Dari keturunan yang sama”, lanjutnya.

“Ada satu RT di sini, nanti kita lewat depan rumahnya”, kata bang Badol.

Kami terus menyusuri pelantar beton yang kokoh sebagai akses menuju pulau kecil ini. Menjelang sampai di bagian darat, ada satu rumah menjorok ke laut.

“Itu rumah orang kita Cine. Cuma dia satu-satunya warga sini yang tak terkait hubungan saudara. Dah lama juga mereka tinggal”.

Misterius yang mencurigai Orang Luar

DOMU, Sania dan Yodha terlihat masih asyik memperhatikan tumpukan rengkam yang dijemur di sisi pelantar. Ada juga yang disebar begitu saja di jalur pelantar menuju pulau kecil ini, seperti menghalangi jalan.

Yodha, Domu dan Sania di pelantar pulau Tunjuk. © F. Bintoro Suryo

“Lewat pinggir-pinggirnya, jangan diinjak”, kata Domu memberi tahu ke Sania dan Yodha agar tidak menginjak rengkam-rengkam milik warga yang sedang dijemur di tengah pelantar.

“Ini untuk apa, bang?” tanya Sania heran.

Ia penasaran dengan tumpukan rengkam yang sedang dijemur di beberapa bagian pelantar beton itu.

“Itu nanti dijual, ada yang menampungnya”, kata Domu.

Rengkam adalah jenis rumput laut dari keluarga Sargassum. Sejak hampir dua dekade terakhir, telah menjadi sumber penghasilan baru bagi penduduk pesisir di Kepulauan Riau. Warga biasanya mengumpulkannya dari laut, menjemurnya hingga kering dan kemudian menjualnya ke penampung.

Selain digunakan dalam industri pangan, rengkam memiliki banyak kegunaan lain. Bahan ini dapat dijadikan pupuk organik yang ramah lingkungan, bahkan untuk dijadikan bahan dasar produk kosmetik. Tumbuhan laut yang dulu dianggap sampah tidak berguna saat terbawa ombak hingga ke pinggir pantai dan sering menyulitkan para nelayan jika terbelit mesin motor perahu, sekarang jadi jadi sesuatu yang diburu.

Termasuk di pulau Tunjuk ini. Selain bermata pencaharian sebagai nelayan, beberapa warga di sini sepertinya juga mengupayakan pemanfaatan rengkam sebagai sumber ekonomi keluarga.

“Bang, sini!” teriak bang Badol dari kejauhan.

Ia sudah bersama seorang pria, sepertinya warga yang mendiami pulau ini. Usianya sekitar 40 menjelang 50-an tahun. Pria itu seperti sedang membenahi alat tangkap ikannya. Ada jaring ikan besar yang sedang dibentang.

“Abang ini orang asli sini, lahir di sini”, terang bang Badol begitu saya mendekat.

“Ini lagi apa di sini, sedang ukur-ukur buat apa?” tanyanya kaku.

Saya bingung dengan arah pertanyaannya. Tapi, kemudian bisa menduga saat melihat Domu, Yodha dan Sania di kejauhan dengan perangkat kamera mereka.

“Oh, kami bukan sedang ukur-ukur lahan, bang. Kami kebetulan mampir kemari dari Subang Mas, tadi”, kata saya sambil menunjuk pulau lain di hadapan pulau ini.

“Kami sedang membuat dokumentasi cerita tentang kehidupan warga di pulau-pulau kecil di pesisir Kepri. Kami ingin bersilaturahmi dengan warga seperti abang”, lanjut saya.

Bang Badol terlihat bingung. Ia tidak menyangka sikap kaku yang tiba-tiba ditunjukkan pria di sampingnya, begitu saya mendekat.

“Abang ni nak bikin video lah, bukan ukur-ukur”, bang Badol berusaha ikut menjelaskan.

“Nak bikin video buat ape? Pemerintah saje tak peduli, yang ade, orang datang sini ukur-ukur pulau kami. Ini tanah leluhur kami, tak nak kami lepas”, kata pria itu gusar.

Saya perlu menjelaskan dengan baik maksud kedatangan kami ke pulau kecil ini padanya, agar tidak salah paham. Konflik lahan di wilayah Batam belakangan, menjadi isu yang sensitif. Nun di seberang pulau kecil ini, pulau Rempang, warganya sedang berseteru hebat mempertahankan tanah kelahiran mereka yang akan dikembangkan dalam program Ecocity. Mereka harus mau direlokasi demi pembangunan.

Pria itu sepertinya agak lebih mengerti setelah penjelasan saya, walau masih agak curiga. Bang Badol ikut menjelaskan tujuan kami.

“Kalau sekedar nak ke pantai yang bisa berubah-ubah arah pasirnya, datang saje ke ujung pulau ni. Itu masih tanah Datuk moyang kami. Cuma perlu berhati-hati, palungnya dalam”, katanya mengingatkan.

“Kalau nak berbincang, saya pakai baju dululah. Tunggu sekejap”, lanjutnya sambil kemudian menunjuk sebuah rumah yang persis berada di hadapan kami, sekitar 10 meter.

Ia kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, pintu depannya dibiarkan terbuka. Rombongan kecil; Domu, Sania dan Yodha juga sudah tiba.

Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu. Tidak ada tanda-tanda tuan rumah akan keluar.

“Tadi bapak itu bilangnya gimana, pak?” tanya Domu ke saya. Ia sedikit cemas karena cuaca berubah cepat. Mendung sore itu begitu bergayut. Langit yang awalnya cerah, berubah jadi lebih gelap. Awan-awan tebal juga berarak persis di atas pulau ini.

“Assalamualaikum, Assalamualaikum”, sapa saya ke penghuni rumah. Setelah berkali-kali mengucapkan salam yang sama, seorang perempuan paruh baya akhirnya keluar dari dalam rumah.

“Walaikumsalam, cari siape ye”, tanyanya.

Saya kembali mengulang maksud kedatangan kami padanya, termasuk menjelaskan bahwa kami sedang menunggu pria yang tadi masuk ke rumah ini. Saya menebak wanita itu adalah isterinya.

“Suami saya sedang ke laut dari tadi pagi, belum pulang. Abang-abang ini bertemu suami saya dimane?” tanyanya yang membuat kami keheranan.

Lha, macam mane ni. Kite coba cari rumah pak RT saje kalau begitu, bang”, ajak bang Badol, bingung bercampur kesal.

Kami perlu bergerak cepat. Mendung semakin tebal. Rumah berikut yang ingin kami tuju, hanya berjarak tiga rumah dari yang sebelumnya. Tapi karena penduduk di sini jarang, jarak antara rumah bisa mencapai 10 hingga 20 meteran satu dengan lainnya.

Kami berhasil menemui seorang pria yang lebih muda. Bang Badol menyebutnya sebagai pak RT di pulau ini, dialah pemimpin dari beberapa belas warga yang mendiami pulau Tunjuk. Orangnya lebih ramah dibanding yang pertama. Pria itu sepertinya baru kembali dari laut.

“Kalau nak bincang-bincang tentang pulau ni, saya takut salah bicara, bang. Maklum umur juga masih sedikit”, katanya.

Saya kemudian menjelaskan tentang seorang pria yang lebih tua darinya, yang kami temui sebelumnya.

“Oh, itu sepupu saye. Kami yang tinggal di sini, masih bersaudara semua. Kecuali orang Cine yang di ujung sana tu dan penjaga mercusuar”, jelasnya.

Pria itu kemudian menyarankan rombongan kami untuk menemui pria penjaga mercusuar untuk mengetahui aktifitas dan keseharian warga di sini.

“Namanya pak Ikhlas. Beliau dah tinggal lame kat sini, Abang mungkin bisa tanya lebih banyak ke beliau”, kata sang ketua RT.

Kami kembali mempercepat langkah. Hujan gerimis sudah mulai turun di pulau ini. Komplek mercusuar yang disebutkan oleh sang ketua RT, tinggal mengikuti jalan semen satu-satunya di sini, mengarah ke bagian ujung pulau.

Tidak sulit menuju lokasinya karena bangunan itu begitu dominan terlihat di hampir seluruh sisi bagian pulau kecil ini.

Hujan kemudian turun lebih deras begitu kami tiba di komplek menara suar itu. Kami terpaksa berteduh di salah satu teras bangunan seperti mess pegawai. Ada beberapa rumah serupa lainnya. Tapi hampir seluruhnya kosong.

“Pak, ada yang datang ke sini”, kata Domu seperti berbisik. Suaranya nyaris kalah oleh suara air hujan yang deras.

Di kejauhan dan makin mendekat, seorang pria berjalan menerobos hujan, mengarah ke lokasi kami berteduh. Saat makin dekat, saya tebak usianya sudah lebih dari 70 tahun. Rambut, kumis dan jenggot, hampir semua memutih. Badannya kuyup tersiram hujan, tapi ia seperti tidak begitu peduli.

Pak Atan yang Ramah

“Nak buat ape kat sini?” sergahnya begitu tiba di tempat kami berteduh.

Pria tua itu memandangi kami satu per satu, tatapannya berhenti di Sania. Satu-satunya anggota rombongan kami yang perempuan.

“Bapak”, kata Sania berusaha menyapa. Ia risih ditatap begitu rupa.

“Kalau nak tengok pasir yang berubah-ubah tu, Ade kat sebelah sane. Tapi kalau tak bisa berenang, jangan turun, tenggelam nanti”, pandangannya tetap ke Sania, tapi kemudian ia tersenyum.

Namanya pak Atan. Pria tua ini ternyata ramah. Sesekali ia menghisap rokok kretek di tangannya.

“Saya dikabari, Ade orang nak tanye-tanye soal pulau Tunjuk ni, mereka semua tak berani bicara, takut salah, katanye”, kata pak Atan terkekeh.

Oh, bapak dikabari pak RT tadi ya?” tanya saya. Pria tua itu mengangguk.

Pak Atan yang sejak lahir tinggal di pulau kecil ini, kemudian menyebut usianya, 73 tahun. Hampir sama dengan tebakan saya sebelumnya.

Pak Atan, warga pulau Tunjuk. © F. Bintoro Suryo

“Hampir sepanjang hidup tak pernah meninggalkan pulau ni. Nak tanye ape?” tanyanya.

Hanya dalam hitungan menit, kami sudah terlibat dalam perbincangan yang akrab. Suara hujan yang deras, hanya membuat kami sedikit mengeraskan suara satu sama lainnya.

Pak Atan ternyata orang yang menyenangkan, ia suka bercanda walau dengan wajah yang terlihat serius.

“Pak, pulau ini, namanya pulau Tunjuk atau pulau Telunjuk?” tanya Sania.

“Pulau Telunjuk”, kata pak Atan.

Disebut begitu menurut pak Atan karena di ujung pulau ini, ada sebuah busung yang bisa berpindah-pindah pasirnya, seakan menunjuk arah mata angin Utara dan Selatan.

“Panjang dia, mungkin sampai 25 meter, kalau kita dari sini terus ke ujung satunya, penat”, lanjutnya sambil tergelak.

Perihal berpindah-pindahnya busung di ujung pulau ini, disebabkan hempasan gelombang akibat angin yang bertiup.

“Kalau sedang angin Utara, busung itu bergerak hingga menunjuk arah selatan. Begitu juga sebaliknya”, jelas pak Atan bersemangat.

“Bapak sendiri di sini sejak lahir ya, pak? Tahun berapa lahirnya?”, tanya Sania.

“Saya lahir di Air Raja sana, bapak saya orang asli sini, mamak orang Air Raja. Tapi saya sendiri pun tak tahu, tahun berapa lahirnya. Bapak saya bilang saya lahir tahun 50-an”, ungkapnya.

Menurut pak Atan, orangtuanya merupakan penduduk asli pulau Telunjuk. Ia diboyong orangtuanya untuk menetap di pulau kelahiran sang ayah sejak masih bayi.

“Pindah sini tahun 50-an itu lah”, katanya.

Ia mengenang masa kecilnya di pulau ini. Menurut pak Atan, jumlah warga yang mendiami pulau Telunjuk saat ia kecil, jauh lebih ramai dari sekarang. Warganya juga lebih bervariasi karena juga dihuni kaum pendatang seperti warga dari etnis Tionghoa.

“Dulu yang Cina di ujung situ (sambil menunjuk sebuah rumah di ujung pelataran masuk pulau Telunjuk, pen) ramai tinggal di sini, turun temurun. Sekarang banyak saudara mereka dah pindah ke tempat lain. Mereka usaha buat kelong-kelong juga di tempat lain”, katanya.

Menurut pria itu, banyak juga saudara dari garis keturunannya yang memilih pindah untuk menetap di lokasi lain seperti pulau Batam dan Tanjungpinang. Minimnya fasilitas dan tuntutan ekonomi, membuat tidak banyak lagi yang tinggal di pulau ini.

Dua Menara Suar Tinggalan Belanda

MENARA suar itu terlihat sangat dominan dari kejauhan. Pun saat rombongan kami sudah persis berada di dekatnya.

Awalnya dibangun menggunakan rangka besi sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20 atau sekitar awal 1900-an silam. Merupakan prasarana navigasi tertua yang sampai hari ini masih digunakan. Fungsinya untuk memandu kapal dalam menentukan lokasi dan arah. Perairan sekitar pulau Tunjuk ini, sudah sejak lama menjadi perlintasan pelayaran yang terhubung ke selat terpadat di dunia, selat Philip hingga perairan selat Malaka.

Menara Suar putih di pulau Tunjuk yang sudah dipugar. © F. Domu

“Ada dua menara sebenarnya, yang masih asli buatan Belanda yang sebelah sana tu. Namanya menara merah. Kalau yang dah dipugar tu, namanya menara putih, begitu orang sini nyebutnya”, kata Bang Badol.

Menara putih yang disebut pria itu adalah sebuah bangunan tinggi menjulang dengan ketinggian 20 meter, terbuat dari beton.

Keberadaan menara suar sangat membantu kapal-kapal yang berlayar, terutama di malam hari. Cahaya terang menara suar menjadi panduan sekaligus peringatan bagi kapal jika ada kondisi yang berbahaya. Misalnya, lokasi yang berkarang, ombak kuat, perairan dangkal, dan lalu lintas kapal yang padat sehingga rawan kecelakaan.

Selain fungsi keselamatan, menara suar juga berfungsi sebagai perlindungan lingkungan maritim. Dalam hal ini, menara suar menjadi penanda batas kedaulatan NKRI, terutama menara suar yang berada di wilayah terluar dan terdepan.

Di seluruh wilayah Indonesia saat ini, masih terdapat 285 menara suar yang dikelola oleh 25 Distrik Navigasi (Disnav). Dua menara yang berada di pulau Tunjuk ini, masuk dalam pengelolaan Distrik Navigasi Tanjungpinang.

(*)

Bersambung

Selanjutnya: “Pak Ikhlas yang Terasing” – Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 5 – Selesai)

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

4 Comments

  • “Penunjuk Utara Selatan ; Subang Mas – Daik Lingga” – Bintoro Suryo
    5 bulan ago Reply

    […] “Warga yang Misterius dan dua Menara Suar Peninggalan Belanda” […]

  • “Warga yang Misterius dan dua Menara Suar Peninggalan Belanda” - GoWest.ID
    5 bulan ago Reply

    […] Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]

  • Mohsain
    1 bulan ago Reply

    Pulau telunjuk itu datuk nenek punya masih ada tanah disitu.
    Pulau itu diberikan kepada bapa saya dan sekarang kepada saya ,
    Sayangnya saya bukan warga Indonesia yg mana saya tiada haq untuk mengambilnya.
    Soalan saya boleh tak nama dalam surat tanah tu tukar dan letak nama saya.

  • Kak Lin
    1 bulan ago Reply

    Sudah cukup lama saya mencoba mencari tahu sejarahnya pulau tunjuk. Saya menemukan artikel Anda dan menurut saya sangat menarik. Dulu Saya diberitahu bahwa hampir setengah dari pulau itu milik kakek buyut saya yang dibagikannya kepada 5 anaknya dan nenek saya adalah salah satunya. Saya adalah salah satu cicit perempuan & mereka yang ada di pulau yang Anda temui adalah sepupu saya. Saya tidak tahu banyak tentang sejarah kami karena saya tidak tinggal di pulau dan ramai orang tua2 sudah tiada. Yang saya hanya ingin tahu siapa kakek buyut saya dan bagaimana dia bisa memiliki setengah dari pulau itu untuk anak-anaknya? Apakah dia keturunan bangsawan atau orang kaya saat itu? Itu masih menjadi misteri tetapi membaca artikel Anda memberi saya beberapa info baru yg menarik. Terima kasih & saya akan terus mencari…
    P.s. Saya sangat hargai usaha anda untuk kenali sejarah serta mencatat keunikkan tempat2 diBatam yg kalau tidak akan hilang bila Batam membangun di masa depan

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search