Hutan Hujan Mukakuning; “Siput Zamrud Langka, Katak Merah Mematikan & Orang Oetan Moekakoening”
HUTAN ini punya luasan 2.065,62 Ha. Dibanding pulau Batam, yang memiliki luas wilayah 715 km2 atau setara 71.500 hektar, luasan hutan Mukakuning hanya berkisar 2.89% saja.
Bersama beberapa hutan penyangga lain yang tersisa di pulau ini, hutan Mukakuning punya peran vital, di antaranya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian aneka ragam jenis tumbuhan dan satwa liar.
“Abang, ini masih jauh masuk ke dalam dengan mobil?” tanya saya ke Yodha. Kami sudah berada di kawasan Tembesi Buton. Sebuah pemukiman kaum urban di pulau ini. Jalannya didominasi tanah, tapi sudah bisa dilalui kendaraan roda empat.
Kaum urban? Ya. Warga yang tinggal di sini, kebanyakan para pendatang yang merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik dibanding di kampung halaman. Walau namanya Tembesi Buton, kebanyakan yang tinggal di sini justeru orang Jawa. Mereka memanfaatkan wilayah di perbatasan kawasan hutan konservasi ini untuk tinggal hingga membuat usaha. Kebanyakan bertani, tapi ada juga yang mengelola tambak-tambak ikan.
“Abang kemarin parkir di situ, nggak tau , kalo pakai mobil, parkir di mana ini”, katanya. Beberapa hari kemarin, anak saya sudah lebih dulu menyusur hutan konservasi ini, bersama teman-teman sekolahnya.
“Mau ke atas, pak?” tanya seorang pria separuh baya ramah ke kami.
“Iya, bisa numpang parkir di mana ya?”, tanya saya.
“Bapak biasanya parkir di mana kalau kemari?” pria itu balik bertanya.
“Saya biasa pakai motor, tapi sekarang karena bareng keluarga, jadi pakai mobil. Belum pernah pula markir mobil di sini”, jawab saya berbohong 😬
“Oh, di sini saja kalau begitu, bapak masukkan mobilnya ke halaman ini”, sarannya ramah.
Kami akhirnya sampai di titik start awal sebelum memasuki hutan ini. Dari jalan besar, perjalanan lumayan panjang, sekitar 20 menit.
Ini seperti tidak di Batam. Suasananya seperti desa-desa di pulau Jawa. Rumah-rumah warga berhampiran hamparan perkebunan yang luas. Tembesi Buton merupakan salah satu penghasil komoditas pertanian dan sayur lokal di Batam.
Tapi ini bukan pemukiman resmi. Warga mendiami wilayah pinggir hutan konservasi ini sejak 20 – 30 tahun lalu. Selain sebagai tempat tinggal dan membuka kawasan pertanian, mereka cukup berkomitmen untuk menjaga hutan di sekitarnya sebagai resapan air.
Warga Tembesi Buton menanami berbagai macam tanaman di sini, termasuk sayur mayur. Wilayah perkebunan sayur warga ini, sekarang menjadi salah satu suplai pasokan kebutuhan bagi warga masyarakat Batuaji dan sekitarnya.
“Di sini ada kebun sayur sebagian kita salurkan ke pasar-pasar di Batam. Ada kolam pancing juga, bibit lele. Bahkan kami punya UKM untuk perajin tempe,” kata salah satu warga.
“Bah, emang kamu berani (masuk ke hutan ini)”, tanya anak bungsu saya, Yuma.
“Berani lah”, kata saya sambil mulai menyusur masuk ke kawasan hutan ini.
Warga sepertinya membatasi lokasi tempat tinggal dan aktifitas mereka dengan kawasan hutan ini. Dari tempat tinggal warga terakhir sebelum memasuki area hutan konservasi, kami tidak menemukan rumah tinggal lagi. Jalur setapak juga makin mengecil.
“Ada kebun jeruk juga di sini, bagus ya”, kata Yura, satu-satunya anak saya yang perempuan. Sebelum ini, ia belum pernah melihat langsung buah-buah jeruk yang masih berada di pohonnya.
“1270 Mdpl, benar itu titik ketinggiannya?” tanya saya ke seorang wanita setengah baya, di ujung masuk jalan menuju hutan konservasi ini.
“Iya, ada anak-anak muda yang ukur itu dulu, trus bikin plangnya di sini”, kata sang ibu.
“Yang bener?” tanya saya ragu.
Hutan Mukakuning berkategori sebagai hutan hujan dataran rendah.
hutan ini tumbuh berkembang di wilayah dataran rendah yang memiliki ketinggian antara 5 hingga 1.000 Meter Dari Permukaan Laut (M.Dpl).
Batam, dengan bentangan daratan hanya sekitar 715 km2, awalnya didominasi hutan mangrove di pesisir dan perbukitan hutan hujan serta lembah pada bagian agak lebih ke dalam. Titik tertingginya hanya sekitar 100 – 150 meter dari permukaan laut (Mdpl).
Tapi, seiring perkembangan, bentukan alam pulau ini, terutama kawasan perbukitannya, sudah banyak yang hilang. Kawasan hutan Mukakuning dengan bentangan perbukitan dan lembah adalah salah satunya yang masih tersisa. Sementara di wilayah lain seperti Batam Centre, dua bukit tertingginya, bukit Penambi dan Klara, sudah tidak utuh lagi. Ekosistem alamnya rusak, bukitnya dipotong untuk kepentingan pembangunan era modern. Di kawasan Nagoya dan Jodoh, bukitnya bahkan tinggal nama saja.
Saya tidak melakukan pengukuran. Tapi tebakannya, titik tertinggi kawasan ini hanya sekitar 50 – 100 meter dari permukaan laut. 1.270 Mdpl itu hampir sama dengan setengah Panderman (gunung kecil di kabupaten Malang, Jawa Timur). Ada perbedaan tekanan udara dan juga suhu di bagian bawah dan dataran tertingginya. Kontur untuk mencapai titik tertinggi, juga lebih ekstrim dibanding kawasan ini.
HUTAN dataran rendah memiliki struktur vegetasi yang sangat komplek dan beragam. Hutan ini seringkali dirujuk sebagai hutan hujan. Pohon terbesar memiliki diameter lebih dari satu meter dengan tinggi pohon pencuat (emergent) mencapai 70 m. Lapisan bawah hutan umumnya tidak tersinari matahari dengan cukup.
Di kawasan hutan konservasi Mukakuning ini, kami sekeluarga masih mendapati pohon-pohon dengan diameter besar, walau tak banyak lagi. Sebagian ada yang tumbang karena proses alam. Tapi banyak juga yang sudah dijarah tangan-tangan manusia nakal.
“Kita ketemu sampah di hutan ini, Yuma. Sampah siapa ini ya”, tanya saya ke si bungsu yang baru berusia 5 tahun.
“Ya sampah orang lain lah, siapa lagi”, katanya sambil ikut memperhatikan tumpukan sampah di jalur setapak yang kami lalui.
“Soalnya, tukang sampah tak sampai sini”, lanjutnya polos.
Hutan konservasi Mukakuning ini, tak bisa disebut perawan lagi. Selain sampah sisa pakai manusia yang bisa dengan mudah ditemui, jalur yang kami lalui juga banyak yang sudah melebar besar dengan alur seperti parit memanjang. Sepertinya sering dijadikan lintasan trabas para komunitas trail. Sayang sebenarnya. Mulai banyak campur tangan manusia yang berimbas pada ekosistem di sini.
Lima jam lebih, kami menyusuri hutan konservasi ini. Itu waktu yang lama sekali menurut anak pertama saya, Yodha.
“Lama sekali Bah, jalannya aja kayak gitu”, kata Yodha, si sulung, separuh geregetan.
“Ya, Babah kan sekalian menikmati pemandangan, ini bawa Yuma dan Yura juga, kan perlu berhenti-berhenti”, kata saya berdalih.
Beberapa hari sebelumnya, Yodha sempat menyusur hutan ini bersama rekan-rekan sekolahnya. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam, masuk dan keluar.
“Trecking speed, Babah dulu juga bisa”, kata saya cari pembenaran lagi.
Ritme jalan saya sekarang, hampir mirip dengan isteri. Seperti kura-kura dan perlu berkali-kali berhenti untuk beristirahat. Usia kami memang tak muda lagi.
“Istirahat dulu, bah. Capek”, kata isteri di satu perlintasan. Ada sumber air jernih mengalir di depan.
“Kamu capek, Bunda? Tadi kamu sarapan, nggak?” tanya Yuma. Energinya ternyata masih banyak. Hampir sepanjang perjalanan, dia lalui dengan berjalan sendiri. Sesekali, ia sempat merasa takut dengan suasana di dalam hutan konservasi ini.
“Bah, di sini ada Singa, nggak?” lanjutnya ke saya.
“Nggak ada, tapi monyet banyak”, jawab saya sekenanya. Nafas saya agak tersengal.
“Singa itu baik sama tuan puteri, berarti dia baik sama kakak. Jadi, dia tidak ganggu kita”, lanjutnya terus berbicara.
“Ya, kamu kebanyakan nonton kartun!”
WAKTU tempuh yang lama kami di dalam hutan konservasi ini, membuat kami jadi banyak mengamati lingkungan sekeliling.
Seperti hutan dataran rendah lainnya, ekosistem hutan Mukakuning ini juga mengalami kerusakan parah dari aktivitas manusia. Padahal, hutan dataran rendah seperti ini menjadi tempat tumbuh paling baik bagi kayu-kayu dari keluarga Dipterocarpaceae.
Ya, hutan dataran rendah biasanya didominasi jenis pohon Dipterocarpaceae. Ada banyak ragam spesiesnya. Dalam bahasa umum biasa dikenal masyarakat sebagai pohon Keruing, Mersawa, Kapur, Meranti dan Bangkirai. Jenis pohon-pohon incaran orang karena banyak dimanfaatkan dalam bidang perkayuan. Hutan Mukakuning dan umumnya hutan hujan tropis lainnya di wilayah Kepulauan Riau, dulunya kaya jenis pohon ini dan keluarganya.
“Bah, masih banyak kantong Semar juga di sini, nanti coba bawa satu untuk dikembangkan di rumah”, kata isteri.
Di halaman rumah saat ini, kami menanam banyak tumbuhan. Bukan hanya tanaman hias, buah atau tanaman apotik hidup saja. Beberapa jenis juga merupakan tanaman hutan. Seperti anggrek hutan, palem-paleman dan Lempuyang. Jenis yang terakhir kami peroleh di hutan konservasi Duriangkang.
Hutan Mukakuning ini, masih lumayan kaya tanaman seperti Bintangur (Callophylum pulcherrimum), Nibung (Oncosperma tiqilaria), Pasak bumi (schoutania sp), Kempas (Koompasia malaccencis), Balam (Palaquium sp), Riang-riang (Ploiarium altermifolium) dan rotan (calamus). Sepanjang jalur yang kami lalui, dengan mudah kami temui tanaman-tanaman tersebut.
Di sini, kami juga menemukan siput hijau pohon yang menurut penelitian merupakan hewan langka berkategori hampir punah. Penelitian menyebut hewan itu cuma ada di Pulau Manus, Papua Nugini. Siput ini hidup di pohon dan menghuni kawasan hutan hujan hingga ketinggian 112 m (367 kaki) di atas permukaan laut.
“Ada siput hijau di sini!” kata isteri takjub.
Nama lainnya siput hijau zamrud atau siput pohon hijau Manus. Sementara nama ilmiahnya menurut Wikipedia adalah Papustyla pulcherrima, kadang-kadang terdaftar sebagai Papuina pulcherrima. Hewan ini berkategori langka karena sering diburu untuk perhiasan dan populer di kalangan kolektor kerang.
Penangkapan spesies ini secara berlebihan untuk tujuan komersial menyebabkan penurunan populasi siput ini bertahun-tahun terakhir. Penebangan hutan hujan tempat spesies ini hidup, juga merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup mereka.
Siput dan cangkangnya dilindungi oleh CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah). Spesies ini juga terdaftar dalam Daftar Merah sebagai spesies yang hampir terancam sejak tahun 2015.
“Bah, ada katak merah lucu”, teriak isteri saya di satu tempat lain di hutan ini.
“Jangan didekati, ada racunnya”, otak saya langsung men-tracing sebuah informasi tentang hewan jenis itu bertahun-tahun lalu di kepala.
Jangan-jangan ini jenis katak merah beracun yang mendiami hutan hujan tropis. Keberadaannya sudah sangat sulit ditemui dan berkategori sangat langka.
Saya mengamati katak kecil lucu ini. Dari belakang ekornya, perlahan terlihat keluar sesuatu.
“Yuma, agak jauh. Itu ada racunnya!” saya mengingatkan Yuma yang ternyata juga penasaran.
“Kenapa Babah selalu larang-larang aku, kalo mau lihat?” katanya kesal. Saya tidak menjawab, langsung mengarahkannya untuk menjauh.
Ini katak lucu yang mematikan. Nama populernya Strawberry Poison atau Dart Frog. Ukuran dari katak beracun yang satu ini cenderung lebih kecil dan berwarna merah seperti buah strawberry. Habitat jenis katak ini memang berada di hutan dataran rendah, seperti kawasan hutan ini. Tapi, sesuatu yang luar biasa karena kami bisa menjumpainya.
ENTAH, sejak kapan nama Mukakuning disematkan orang untuk wilayah ini. Penyebutannya sudah ada, paling tidak sejak jurnal ilmiah yang dibuat seorang Skotlandia bernama James Richardson Logan (1819 – 1869).
Di jurnalnya : “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders”. Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia terbitan tahun 1850, ia sempat mengunjungi Batam, kemudian menulis tentang penduduk asli pulau ini sekitar tahun 1847. Logan diketahui juga merupakan orang yang pertama kali menuliskan kata ‘Indonesia’ untuk menggantikan wilayah yang saat itu lebih dikenal sebagai ‘Hindia Belanda’.
Di masa hidupnya, ia seorang pengacara dan pernah menjadi editor majalah Penang Gazette wilayah Straits Settlement atau kini dikenal sebagai Negara Bagian Penang, Malaysia.
Dalam catatannya seperti dinukil dari catatan Aswandi Syahri, Logan yang menyusur masuk ke pulau Batam yang sepi melalui sungai Seraya kemudian menuju anak sungai yang bernama Moekakoening, bertemu penduduk yang disebutnya : “Orang Utan”.
Catatannya :
“Orang Mukakuning mendiami hutan-hutan di sekitar sungai Sa Raya (Seraya), atau tepatnya pada anak sungainya, yakni sungai Mukakuning. Letaknya sekitar empat jam berdayung dari muara sungai itu. Setelah empat jam berdayung di sungai Mukakuning itu, Maka kita akan sampailah di pangkalan Sungai Raya, dan dari sini empat jam berjalan kaki, akan membawa kita ke kampung Orang Utan …“
Seiring tahun, Mukakuning yang awalnya cuma hutan belantara dan hanya dihuni segelintir penduduk, seperti yang disebut Logan sebagai “Orang Utan”, kini menjelma menjadi kawasan industri dengan dinamika yang tinggi. Cuma tersisa 2.065,62 Ha lahan hutannya, itu juga dengan kondisi yang tidak sedang ‘baik-baik lagi’.
(*)
Hutan Hujan Mukakuning; “Siput Zamrud Langka, Katak Merah Mematikan & Orang Oetan Moekakoening” - GoWest.ID
3 bulan ago[…] Artikel dan video ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]