“Pak Ikhlas yang Terasing”
Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 5 – Selesai)
MENARA suar itu terlihat sangat dominan dari kejauhan. Apalagi saat rombongan kami sudah persis berada di bawahnya.
AWALNYA dibangun menggunakan rangka besi sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20 atau sekitar awal 1900-an silam. Merupakan prasarana navigasi tertua yang sampai hari ini masih digunakan. Fungsinya untuk memandu kapal dalam menentukan lokasi dan arah. Perairan sekitar pulau Tunjuk ini, sudah sejak lama menjadi perlintasan pelayaran yang terhubung ke selat terpadat di dunia, selat Philip hingga perairan selat Malaka.
“Ada dua menara sebenarnya, yang masih asli buatan Belanda yang sebelah sana tu. Namanya menara merah. Kalau yang dah dipugar tu, namanya menara putih, begitu orang sini nyebutnya”, kata Bang Badol.
Menara putih yang disebut pria itu adalah sebuah bangunan tinggi menjulang dengan ketinggian 20 meter, terbuat dari beton.
Keberadaan menara suar sangat membantu kapal-kapal yang berlayar, terutama di malam hari. Cahaya terang menara suar menjadi panduan sekaligus peringatan bagi kapal jika ada kondisi yang berbahaya. Misalnya, lokasi yang berkarang, ombak kuat, perairan dangkal, dan lalu lintas kapal yang padat sehingga rawan kecelakaan.
Selain fungsi keselamatan, menara suar juga berfungsi sebagai perlindungan lingkungan maritim. Dalam hal ini, menara suar menjadi penanda batas kedaulatan NKRI, terutama menara suar yang berada di wilayah terluar dan terdepan.
Di seluruh wilayah Indonesia saat ini, masih terdapat 285 menara suar yang dikelola oleh 25 Distrik Navigasi (Disnav). Dua menara yang berada di pulau Tunjuk ini, masuk dalam pengelolaan Distrik Navigasi Tanjungpinang.
Kepulauan Riau, dengan gugusan pulau-pulaunya yang luas, memiliki peran penting dalam pelayaran nasional bahkan internasional. Untuk menunjang keselamatan dan keamanan pelayaran di wilayah ini, terdapat sejumlah menara suar yang tersebar di berbagai pulau dan perairan.
Data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menunjukkan bahwa terdapat 39 menara suar di Kepulauan Riau. Jumlah ini termasuk 1 unit menara suar yang masih dalam tahap pembangunan.
Fungsi utama menara suar adalah sebagai sarana bantu navigasi pelayaran. Cahaya dari menara suar membantu para pelaut dalam menentukan posisi kapal, arah pelayaran, dan menghindari bahaya navigasi seperti karang, gosong, dan pulau kecil.
Dari 39 menara suar di Kepulauan Riau, Menara Suar di pulau Karas kecil merupakan salah satu yang tertua. Menara suar ini dibangun pada tahun 1856, pada masa pemerintah kolonial Belanda.
“Kalau nak lihat ke atas, itu Ade penjaganye. Si Ikhlas, namanye. Itu rumahnye”, kata pak Atan pada kami sambil menunjuk sebuah rumah.
Hujan sudah tidak sederas sebelumnya. Saya ambil inisiatif untuk mendatangi satu unit rumah dari beberapa lainnya yang seragam di komplek menara suar pulau Tunjuk ini.
“Assalamualaikum”, sapa saya ke pemilik rumah.
Ada pria sekitar 50-an tahun sedang asyik menonton tayangan televisi.
“Walaikumsalam”
“Pak Ikhlas?”
“Ya, saya sendiri”
Dengan ramah pria itu mempersilahkan saya masuk. Tidak banyak perabot yang ada di dalam. Ruang depannya sekaligus merangkap ruang makan. Hanya ada satu set sofa yang sudah terlihat tua dan satu set meja makan yang sudah tidak lengkap lagi jumlah kursinya. Sebuah pesawat televisi model LED terlihat menayangkan program berita dari sebuah stasiun tv nasional.
“Bapak yang bertanggungjawab di operasional menara suar di sini”, tanya saya.
Setelah berbasa-basi, saya menyampaikan keinginan agar bisa diizinkan untuk naik hingga ke puncak menara.
“Sebenarnya bisa saja, tapi ini hujan”, takut nanti malah kenapa-kenapa”, kata pak Ikhlas.
Saya lihat sekeliling, hujan sudah tidak sederas tadi. Cuma, masih ada rintik-rintik.
“Nggak lah pak. Kami akan hati-hati”, kata saya meyakinkan.
Pak Ikhlas tersenyum, kemudian bergegas ke dalam kamar.
“Sebentar ya, saya ambil kuncinya dulu.
Domu, Sania dan Yodha yang sedari tadi menunggu di luar, segera saya kabari. Mereka sumringah senang. Bagi kami yang tinggal di perkotaan, bisa merasakan berada di dalam mercusuar, bahkan hingga ke puncaknya, adalah sesuatu yang luar biasa.
Mercusuar yang ada di hadapan kami ini, sebelumnya cuma kami lihat dari foto, video atau artikel berita. Saya sendiri membayangkan menara suar seperti itu, bahkan dalam deskripsi yang lebih jauh ; seperti cerita-cerita dalam roman detektif ‘5 Sekawan’-nya Enid Blyton.
Berawal di Terpulai, Sendiri di Pulau Batu
MEREKA rela terasing dari lingkungan sosial dan siap berada jauh dari keluarga untuk waktu yang lama. Petugas menara suar terdiri dari operator menara suar dan teknisi menara suar. Mereka akan berada di menara suara dalam jangka waktu tertentu, bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tergantung lokasi dan ketersediaan SDM. Selama bertugas, mereka diharuskan menyalakan lampu mercusuar saat hari beranjak gelap.
Pak Ikhlas sudah hampir 30 tahun menjalani profesi sebagai petugas jaga Mercusuar. Hampir semua menara suar yang ada di Kepulauan Riau, pernah ia tangani.
“Asli saya dari Banten, nasib yang membawa saya bekerja sebagai penjaga mercusuar di daerah yang sebelumnya asing sama sekali”, katanya sambil terus melangkah menaiki anak tangga di dalam menara suar ini.
Abangnya seorang PNS di distrik navigasi Tanjungpinang. Tahun 1993, ia ditawari untuk bergabung saat mengunjungi sang Abang. Setahun kemudian, ia sudah menjalani tugas pertamanya sebagai penjaga menara suar.
“Nggak nyangka, ternyata tugasnya di tempat-tempat sepi begini”, katanya tertawa.
Tugas pertama pak Ikhlas adalah menjaga menara suar di pulau Terpulai, sebuah pulau kecil berhampiran Bintan. Ceritanya, tidak ada yang bertahan lama berada di menara suar tersebut. Lokasi yang terpencil, jauh dari pemukiman penduduk, membuat banyak yang ditugaskan di sana, akhirnya memilih mundur.
“Saya hampir saja nggak kuat, ngeluh ke Abang, malah disuruh terus”, lanjutnya terkekeh.
Menara suar pulau Terpulai kala itu, hanya terbuat dari rangka besi dengan ketinggian sekitar 20 meter. Ada perangkat lampu pandu yang mesti dioperasikan oleh pak Ikhlas tiap hari.
“Tinggalnya di rumah kecil, seperti rumah penduduk nelayan. Semua kebutuhan hidup dilengkapi, makanan, bahan bakar. Cuma ya itu tadi, sepi”.
Dari menara suar di pulau Terpulai, karier pak Ikhlas berlanjut ke menara-menara suar lain di Kepulauan Riau sepanjang hampir 30 tahun ini. Untuk menara-menara suar yang lokasinya tidak begitu jauh dari akses transportasi dan pemukiman penduduk, durasi tugas seorang penjaga mercusuar sepertinya, biasanya 10 hari sekali dengan jatah libur dua hari. Tapi di lokasi menara suar yang terpencil, durasi tugasnya bisa lebih lama, bahkan hingga 6 bulan.
Waktu libur tersebut, biasanya akan dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal lain yang tidak bisa dilakukan selama bertugas.
“Termasuk mencari jodoh, Alhamdulillah, anak-anak saya sekarang sudah pada besar. Kami tinggal di Kijang (kabupaten Bintan, pen)”, katanya lagi.
Tanpa terasa kami sudah melalui separuh anak tangga menuju puncak menara. Dari tiap lantai yang dilalui, pak Ikhlas terlihat cekatan membuka jendela-jendela bangunan ini.
“Ini harus dibuka, biar ada sirkulasi udara. Nanti waktu turun, satu-satu kita tutup kembali”, katanya.
“Nggak bosan, pak, tinggal di tempat sepi seperti ini begitu lama?” tanya Sania penasaran dengan cerita pak Ikhlas.
“Ya kadang bosan, wajar namanya manusia. Tapi karena sekian puluh tahun (menjalani), malah jadi terbiasa di tempat terasing begini. Agak merasa aneh bila di keramaian”
Kaki-kaki kami terus menapak anak-anak tangga di bangunan ini yang berbentuk memutar. Saat melongok ke jendela yang dibuka oleh pria itu, sekonyong-konyong pandangan saya gamang. Ternyata, kami sudah melangkah lumayan tinggi. Rumah-rumah penduduk yang cuma beberapa di pulau ini terlihat kecil.
“Tugas dimana yang betul-betul terasing, sepi, pak”, tanya saya.
“Di Natuna. Menara suarnya jauh dari pemukiman penduduk, sekitar dua jam (dengan transportasi perahu motor, pen) baru ketemu (pemukiman penduduk, pen). Bangunannya berdiri di pulau batu yang kecil, mana ombaknya besar untuk menuju lokasi”, kenangnya.
Pak Ikhlas kemudian mendeskripsikan lokasi yang dimaksud seperti yang terdapat di kepulauan Inggris.
“Trus, makanan dan kebutuhan lainnya selama tugas, gimana”, tanya saya penasaran.
“Langsung dibawa saat kita datang. Sudah diperkirakan untuk kebutuhan beberapa bulan, ya gitu”, katanya.
Karena lokasi yang ekstrem, penugasan di menara suar seperti itu menurutnya hanya berlangsung beberapa bulan, kemudian berganti ke petugas lainnya, begitu seterusnya. Komunikasi di lokasi-lokasi terpencil seperti itu, biasanya menggunakan radio single side band (SSB), yakni salah satu alat komunikasi pada Sistem Keselamatan Maritim Global (GMDSS)). Perangkat tersebut menggunakan frekuensi 2182 kHz, 6215 kHz, 8291 kHzm 12290 kHz, dan 16420 kHz. Prosedur komunikasi marabahaya untuk panggilan marabahaya memiliki ketentuan pengucapan: MAYDAY MAYDAY MAYDAY.
“Saya 6 bulan tugas di sana, ya nggak bisa pulang. Benar-benar sendiri. Kadang iseng karena nggak ketemu orang, saya ngobrol sendiri aja”.
Di Ketinggian Menara Suar
KAMI sudah di lantai 8 dari total 9 lantai sebelum menuju puncak menara. Ada beberapa perangkat di sini. Di salah satu sisi, ada perangkat kontrol untuk mengoperasikan lampu-lampu pandu. Ada juga perangkat komunikasi di sisi lainnya.
“Kalau sekarang ini, hampir semua perangkat pandu mercusuar di sini, sudah pakai listrik tenaga matahari”
Hanya di saat-saat tertentu, menurutnya – saat solar panel mengalami kendala – mercusuar ini baru dioperasikan menggunakan listrik bersumber dari mesin genset diesel. Di bagian bawah, ada mesin genset yang rutin dioperasikan, namun terbatas untuk penggunaan di luar mercusuar.
“Itu (bahan bakar solar) dibawa oleh kami. Biasanya tiap tiga bulan sekali. Ada gudang di bawah untuk menyimpan BBM-nya”, terang pak Ikhlas.
Lantai ke-9 dari bangunan ini hanya separuh bagian saja. Sisanya menyatu dengan lantai 8. Untuk mencapai ke lantai 9, ada anak tangga lagi yang perlu dinaiki. Pak Ikhlas kemudian mendahului kami, meniti anak-anak tangga tersebut.
“Sania berani? Kalau nggak, nunggu di lantai 8 aja”, kata saya pada Sania.
“Berani, pak”
Kami kemudian bergantian meniti anak tangga menuju lantai 9. Di lantai ini, ada beberapa perangkat UPS atau Suplai daya bebas gangguan. Perangkat yang digunakan untuk memasok daya tak terputus (bahasa Inggris: uninterruptible power supply; UPS). Terdiri dari baterai backup sebagai catu daya alternatif, untuk memberikan suplai daya yang tidak terganggu pada perangkat elektronik yang terpasang.
Dari lantai 9, ada lagi anak tangga kecil yang menghubungkannya ke puncak menara, bagian terbuka dan tertinggi dari menara suar ini.
“Tangganya agak basah, jadi licin. Nggak apa-apa?” tanya pak Ikhlas ke saya.
“Nggak apa-apa, pak”
Pak Ikhlas yang sudah separuh meniti anak tangga di lantai ini, kemudian mendorong sebuah pintu besi ke atas. Ukurannya hanya cukup dilalui satu orang dewasa. Kami bergantian melalui pintu kecil tersebut.
“Dulu setinggi ini juga, pak”, teriak saya ke pak Ikhlas setelah kami berada di puncak menara. Terpaan angin lumayan keras di sini.
“Dulu mungkin hanya separuhnya. Terbuat dari rangka besi. Ada satu lagi di ujung sebelah sana”, katanya.
Menara suar di pulau Tunjuk ini ternyata ada dua. Terletak di bagian ujung-ujung pulau yang berbentuk memanjang. Menara suar yang kami naiki saat ini, sejak dahulu dikenal masyarakat sekitar sebagai menara putih. Ini mengacu pada warna rangka besinya yang putih. Di ujung lain, ada menara berbentuk rangka besi yang berwarna merah.
Dua menara suar di sini, sudah dibangun sejak zaman kolonial Belanda, sekitar awal abad ke-20. Untuk mengoperasikannya pada zaman dahulu, petugas menara suar biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menyalakan lampu pandu.
Kondisi menara suar dengan tiang rangka besi, terus dipertahankan hingga beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya salah satunya dipugar menjadi bentuk yang seperti sekarang oleh dirjen perhubungan laut.
“Itu di bawah (bekas rangka besi menara suar lama, pen), masih ada. Ditumpuk besinya di pinggir pantai”, kata pak Ikhlas.
“Kalau yang merah, masih asli sejak zaman Belanda”, lanjutnya.
Cukup lama juga kami berada di puncak menara suar ini. Dari sini, kami bisa melihat lebih luas perairan di sekitarnya. Pulau Tunjuk, tempat dua menara ini berdiri, terlihat jelas konturnya. Ujung yang disebut berubah pada musim angin tertentu, terdiri dari pasir-pasir yang akan selalu mengikuti arah arus air laut.
“Ini tahun terakhir saya bertugas sebagai penjaga menara suar, selanjutnya pensiun. Tak terasa, sudah 30 tahun lebih menjalani pekerjaan ini”, kata pak Ikhlas, matanya menerawang ke arah laut.
Ia sudah menyiapkan kediaman untuk hari tuanya, di daerah Kijang, Bintan yang kini ditempati oleh keluarga.
“Ya mungkin saya perlu beradaptasi dulu dengan kehidupan normal, setelah sekian puluh tahun”, katanya tersenyum.
Selesai
(*)
“Warga yang Misterius dan dua Menara Suar Peninggalan Belanda” – Bintoro Suryo
4 bulan ago[…] “Pak Ikhlas yang Terasing” […]
Mohsain
2 bulan agoPulau telunjuk itu datuk nenek punya masih ada tanah disitu.
Pulau itu diberikan kepada bapa saya dan sekarang kepada saya ,
Sayangnya saya bukan warga Indonesia yg mana saya tiada haq untuk mengambilnya.
Soalan saya boleh tak nama dalam surat tanah tu tukar dan letak nama saya.