Nasib Nelayan Teluk Belian Di Tengah Kerusakan Ekosistem Mangrove
DALAM dua dasawarsa terakhir, alih fungsi hutan mangrove di sekitar lokasi pantai wilayah core Batam centre ini begitu masive. Hampir tidak ada yang tersisa, kecuali di beberapa wilayah di Nongsa yang terletak di hadapan. Mangrove di sekitar perairan Belian juga kian susut akibat gencarnya pembangunan.
Dampak dari berkurangnya hutan mangrove di sekitar kawasan ini, menyebabkan sedimentasi yang berujung pada kotornya air laut. Biota lautnya juga menjadi berkurang.
Berdasarkan data Badan Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Sei Jang Duriangkang, luas hutan mangrove di Batam pada 2021 lalu mencapai 18.524 hektar. 50% dari luasan tersebut dalam kondisi rusak.
Ruang tangkap nelayan semakin sempit. Proyek-proyek konstruksi yang bermunculan, seperti mengabaikan dampak lingkungan dan membuat mereka harus berpindah-pindah. Para nelayan tidak punya lagi wilayah tangkapan yang pasti.
Arus pembuangan limbah rumah tangga dari perumahan pun, turun mengalir ke laut yang meningkatkan pencemaran dan kualitas air yang semakin buruk.
Luas area mangrove yang makin berkurang, langsung berdampak pada habitat yang ada di sekitar ekosistemnya. Akan terjadi penurunan keanekaragaman hayati dan ekosistem menjadi tidak seimbang.
Kerusakan pada area pesisir seperti ini, tak hanya berdampak pada pendapatan nelayan saja, tapi juga meningkatkan ancaman abrasi, erosi serta instusi air laut yang naik karena limbah industri.
“Kami di sini ada 3 Kube (Kelompok Usaha Bersama) Nelayan. Di sini lah dermaga kami, tak ada tempat lagi”, ujar Eddy, ketua Kube Nelayan Bengkong.
Sehari-hari, ia dan sekitar 15 rekan nelayan lainnya,menggunakan salah satu sisi pantai di sekitar Ocarina Batam Centre sebagai pangkalan sementara. Ada puluhan perahu yang ditambatkan di sini.
“Ini lahan pengembang. Kami numpang saja. Tak ada lagi tempat kami untuk menambatkan perahu, soalnya”, ujar seorang nelayan lainnya di sini.
Ia kemudian menunjuk sekeliling pantai yang dulunya rimbun oleh hutan bakau, namun sekarang, telah habis tak bersisa.
“Dulu kami di sebelah sana, waktu masih ada hutan bakaunya”, lanjut dia.
Dampak yang timbul bisa ditebak. Ekosistem laut yang berkurang, membuat hasil tangkapan mereka juga ikut berkurang.
“Kami harus berpindah-pindah (lokasi melautnya, pen) sekarang.”
Wilayah perairan Teluk Belian yang kini lebih terbuka karena aktifitas hilir mudik kapal Fery penyeberangan Batam – Singapura, juga menjadi momok tersendiri bagi para nelayan.
“Kami harus lebih hati-hati. Perairan ini jadi rute penyeberangan internasional. Sudah pernah kejadian, rekan kami hilang di laut karena perahunya terbalik. Mungkin tersapu ombak dari lalu lalang kapal – kapal Ferry di sini. Baru di temukan beberapa hari kemudian dalam kondisi meninggal”, kata Edy.
Kondisi itu membuat para nelayan makin khawatir. Di tengah sulitnya mencari tangkapan ikan, mereka juga dituntut untuk lebih waspada.
“Kadang seperti disengaja gitu saat kami ada di sekitar jalur perlintasan mereka. Seperti digas cepat, gelombangnya kan langsung menyebar ke sekitar. Kami sering harus cepat-cepat menyingkir, takut terbalik perahunya”, kata seorang nelayan lainnya yang merupakan anggota KUBE nelayan di sini.
Apakah ada perhatian dari pemerintah tentang keberadaan mereka?
“Kalau dibilang tak ada, ya tidak juga. Pemerintah kadang memberi bantuan. Cuma jumlahnya tak seberapa, tak semua bisa merasakan. Yang kami butuhkan sebenarnya perlindungan dan bimbingan, kami ini harus bagaimana?” lanjut Edy.
Bantuan biasanya diberikan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Tapi menurut Edy, bantuan sering kali tidak tepat sasaran. Banyak KUBE yang hanya aktif saat menerima bantuan, kemudian non aktif, sehingga tidak menyasar hingga ke nelayan.
Kendala lain yakni bahan bakar minyak (BBM) untuk operasional perahu mereka. Edy menyebut mereka kerap kesulitan untuk mendapatkannya.
“Kami harus keliling ke SPBU-SPBU, bawa jirigen, kadang botol-botol saja. Itu juga sering ditolak. Mungkin dikira pelangsir. Lantas kami mendapatkan BBM darimana?” serunya gusar.
Terminal BBM khusus nelayan, masih jadi angan-angan bagi para nelayan yang beraktifitas di sekitar perairan ini.
Kerang Hijau dan Rusaknya Perairan
KERANG hijau. Koloni ini mulai muncul di sekitar perairan laut Batam Centre sejak beberapa tahun terakhir. Masyarakat biasa mengenalnya dengan sebutan Kupang. Hewan laut yang hidup berkoloni dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssusnya pada benda-benda keras. Seperti misalnya kayu, bambu, batu, ataupun substrat lain yang keras.
Kerang hijau ini, punya nama ilmiah Perna viridis. Sejenis binatang lunak atau moluska yang hidup di laut. Bercangkang dua serta berwarna hijau.
Di Indonesia julukannya terhitung beragam. Masyarakat Kepulauan Riau biasa mengenalnya dengan nama Kupang. Di Jakarta, kerang hijau juga dikenal dengan nama kijing (Jakarta). Masyarakat Banten dan sebagian Jawa Barat menyebut Kedaung. Di Maluku Utara, Kerang Hijau dikenal dengan nama bia tamako.
Melansir beberapa sumber, kerang hijau merupakan sumber protein, vitamin B12, asam amino, lemak, serta omega-3 dan omega-6, sangat baik bila dikonsumsi manusia.
Di laut, warna cangkang dan bentuk, biasanya akan tertutup oleh hewan lain yang hidup menempel pada cangkang mereka untuk bertahan hidup, yakni teritip. Hewan jenis antropoda yang masih berkerabat dengan kepiting dan udang. Hubungan simbiosis Komensalisme antara Kerang Hijau dan Teritip sangat umum ditemui bila kita menjumpai kedua jenis hewan ini di dasar-dasar laut.
Oleh sebagian masyarakat, hewan laut ini mulai diburu karena memiliki potensi ekonomi, untuk dijadikan lauk pauk di rumah. Seperti halnya kerang darah yang sudah lebih dulu dikenal orang.
“Sudah sejak beberapa tahun ini muncul banyak di sekitar Teluk Belian ini, terutama yang dekat ocarina sana”, sebut Basri, seorang nelayan yang tinggal di kampung Kelembak. Sebuah perkampungan kecil warga lama Batam yang terletak di seberang Batam Centre.
Melihat potensi ekonominya, pria berusia sekitar 60 tahunan itu sekarang banting setir menjadi nelayan pemburu Kupang. Hampir setiap hari, ia mengarahkan perahu ketintingnya ke arah pantai Ocarina. Lokasi tempat kemunculan kerang-kerang hijau tersebut. Dalam sehari, ia bisa membawa pulang berkilo-kilo gram kerang hijau yang langsung diangkut menggunakan perahu.
“Biasanya kita ambil saat laut surut. Sekilo kalau masih sama cangkang dan belum diolah, bisa laku Rp. 10 ribu. Kalau sudah diolah (dilepas cangkangnya dan direbus, pen) bisa dijual Rp. 30 ribu ke pasar. Di pasaran, harganya mencapai Rp. 45 ribu per kilo (gram) “, katanya.
Fenomena kemunculan kerang-kerang hijau di sekitar perairan Batam Centre ini, menjadi berkah tersendiri bagi kelompok nelayan di Kampung Kelembak. Di tengah sulitnya mencari tangkapan lain hewan laut saat ini karena perubahan perairan dan makin susutnya area hutan-hutan mangrove, kerang-kerang hijau tersebut, seperti menjadi berkah tersendiri bagi mereka.
Kabar buruknya, kemunculan hewan ini di sekitar perairan Batam centre, diduga menjadi penanda makin rusaknya lingkungan perairan sekitar.
Seperti diketahui, kerang hijau merupakan salah satu organisme bioindikator perairan yang dapat merespon pencemaran lingkungan dengan cepat. Mereka memiliki mekanisme filter-feeder, sehingga berbagai partikel bisa masuk di dalam tubuh kerang hijau, khususnya logam berat.
Ada yang menduga, koloni kerang hijau kemungkinan terkena dampak metal limbah berat, seperti misalnya limbah minyak hitam dari out port limit (OPL) yang saban tahun selalu menerpa pantai-pantai di Batam. Kerang-kerang tersebut diduga bergerak ke wilayah permukaan laut yang lebih dangkal serta memulai koloni barunya. Seperti yang banyak terlihat di sekitar pantai Ocarina Batam Centre.
(*)
Nasib Nelayan Teluk Belian Di Tengah Kerusakan Ekosistem Mangrove - GoWest.ID
4 minggu ago[…] Artikel dan video ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com […]