“Rempang Dalam Dokumen Catatan Masa Lalu”
KEBERADAAN Orang Darat di Pulau Rempang (Batam) disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930).
Waktu itu, Tanjung Pinang (dalam ejaan lama ditulis ‘Tandjoengpinang’) berstatus administratif sebagai salah satu onderafdeeling dalam wilayah Residentie Riaouw en Onderhoorigheden (Keresidenan Riau dan Wilayah-wilayah Taklukannya) dengan ibukotanya (hoofdplaats) Tanjung Pinang.
Wilayahnya meliputi: Pulau Bintan, Rempang, Galang, Batam dan pulau-pulau kecil sekitarnya, kelompok Pulau Tambelan dan Wates, juga kelompok Pulau Pendjantan (St. Barbe) dan Pengiki (Staatblad van het Nederlandsch-Indië over het jaar 1922. Weltevreden: Landsdrukkerij, 1923: 4; Reegeeering Almanak voo Nederlandsch Indië 1924. Batavia: Landsdrukkerij, 1924: 166-167).
Sekitar 80 tahun sebelumnya, Residen Riouw, E. Netscher, sudah menyebut-nyebut juga kelompok suku yang menghuni Pulau Rempang yang disebutnya ‘orang Benoea’, sebagaimana dapat dibaca dalam tulisannya “Beschrijving van een gedeelte de Residentie Riouw” (Deskripsi Bagian dari Residensi Riau) yang diterbitkan dalam Tijdscrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 1854 dan 1855.
Sedangkan penulis lain menyebut mereka dengan nama ‘orang Oetan’, misalnya oleh J.G. Schot yang menulis artikel “De Battam-Archipel” (Kepulauan Batam) yang dimuat secara berseri dalam majalah De Indische Gids, 1882 & 1883.
Meskipun Orang Darat dianggap penganut agama tempatan, menurut Wink, mereka mengenal konsep “Allah”. Mereka juga disebutkan memiliki tradisi penghormatan terhadap leluhur, berdasarkan rasa takut terhadap balas dendam orang yang meninggal. Tradisi turun menurun itu lewat tujuh, 40 dan 100 hari persembahan makanan di makam orang yang meninggal, sambil berseru, “hoen makan!.”
Ahli linguistik Jerman, Hans Kahler meyakini, Orang Darat di Rempang ada kaitan dengan orang asli di Malaysia yakni Orang Senoi. Dia mengolah data dari Kolonial Tijdsohrift tahun 1939. Dalam laporan itu, Orang Darat mewakili penduduk pra-Melayu yang berpindah-pindah. Orang Darat hidup nomaden dalam keseharian menukar hasil hutan dengan makanan dan barter barang bekas dengan pedagang Tiongkok. Mereka hidup dari berburu dan menangkap ikan juga.
Beberapa temuan Hans Kahler menyebutkan, Suku Darat memiliki senjata sejenis sumpit. Begitu juga satu-satunya hewan peliharaan mereka adalah anjing. Orang Darat hidup monogami dan tak memiliki kepala suku resmi.
Sudah sejak 1840an, bahkan mungkin lebih awal lagi, tanah Pulau Rempang sudah diolah menjadi ladang-ladang untuk penanaman gambir.
Keterlibatan pendatang Cina dalam perdagangan produk ini dicatat oleh beberapa sarjana Belanda, antara lain dalam laporan yang berjudul “Over de gambier- en pepperkultuur op Riouw” (Tentang budaya gambir dan lada di Riau) dalam Tijdschrift voor Nijverheid in Nederlandsch Indië, Deel 1 (1854): 136-144 yang mencatat adanya 42 ladang gambir di Pulau Rempang pada tahun 1854 dan tulisan A.F.P. Graafland, “Schets der Chineese vestigingen in de Afdeeling Kārimon” (Sketsa tentang pemukiman orang Cina di Afdeeling Karimun) dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 37,3 (1888): 506-544.
Rempang dalam Peta dan Publikasi Masa Lalu
CATATAN DR. Suryadi, Ahli sejarah dari Leiden University, walau terselip di antara taburan pulau-pulau yang lusinan jumlahnya di Kepulauan Riau, Pulau Rempang tidak dianggap sepele oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada masa lampau.
Ini antara lain dapat dikesan dari penamaan sebuah kapal yang dioperasikan oleh maskapai pelayaran Stoomvaart Maatschappij Nederland. ‘S.s./stoomschip Rempang’ dioperasikan oleh perusahaan ini tahun 1947 sampai 1968.
“Ada beberapa kapal lainnya yang diberi nama menurut nama-nama pulau yang ada di Sumatra/Kepulauan Riau, seperti s.s. Roepat, s.s. Riouw, s.s. Banka, s.s Bengkalis, s.s. Karimoen, s.s. Poelau Roebiah, s.s. Nias, s.s. Enggano dan s.s. Krakatau, yang merefleksikan kuatnya orientasi bahari bangsa Belanda”, tulis Dr. Suryadi.
Catatan Dr. Suryadi :
“Bahkan dalam Atlas Sekolah Hindia Nederland oleh W. van Gelder (lihat misalnya edisi 1919; cet. ke-10), Pulau Rempang dicatat sebagai salah satu pulau yang penting di Riau agar dapat diketahui oleh murid-murid sekolah. Dan sejak 1880an, selat yang memisahkan Pulau Setoko dan Pulau Rempang sudah menjadi laluan kapal penumpang dan barang dari Selatan ke Utara, tepat keluar dekat Tanjong Piajo (Tanjung Piayu, pen).“
Karena menjadi lalu lalang kapal penumpang dan barang sejak zaman dulu, di sekitar teluk Duriangkang yang tidak jauh dari Tanjung Piayu di Batam, sempat tumbuh menjadi perkampungan penduduk yang banyak dihuni kaum pendatang. Seperti Tionghoa, Bugis, Jawa hingga orang Melayu sendiri yang berpindah dari pulau-pulau di sekitarnya. Keberadaan mereka dan keturunannya, masih terlihat hingga awal dekade 1990-an, sebelum wilayah itu dibendung menjadi sebuah danau reservoir tadah hujan oleh Otorita Batam.
Catatan Dr Suryadi juga menyebut, pada tahun 1946, Survey Allied Land Forces Southeast Asia (ALFSEA) di bawah koordinasi Belanda memproduksi peta Pulau Rempang dengan detail infrastruktur dan kontur tanahnya (lihat: Nationaal Archief, Den Haag, Nummer Toegang: 4.MIKO, Inventarisnummer: 265.11).
Dalam beberapa dokumen dan publikasi asing masa itu, pulau Rempang sudah dikenal sebagai salah satu wilayah pendudukan tentara Jepang untuk mengontrol jalur perdagangan di sekitarnya.
Salah satu dokumen publikasi tentang pulau Rempang dan tentara Jepang, dipublikasi oleh Koran Straits Times edisi 18 Juni 1946: “Japs to Leave Rempang Prison Isle”.
(*)
Sumber :
Artikel P. Wink: Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930
Artikel E. Nescher, Beschrijving van een gedeelte de Residentie Riouw 1854
Catatan Dr Suryadi : Rumpang Informasi Historis tentang Rempang
Straits Times, 18 Juni 1946