Masyarakat Kepulauan Batam; Akhir Abad19, Awal 20

ADA perbedaan tingkat kehidupan antara penduduk asli di Batam, Rempang dan Galang masa itu, dibanding orang Tionghoa yang secara populasi dan ekonomi mendominasi. Menurut H. Blink, seorang Geografer dan peneliti bidang Etnologi Belanda (1852-1931), penduduk Pribumi mungkin mengalami demoralisasi akibat kemiskinan.

“Penduduk Pribumi yang sebenarnya mengalami demoralisasi karena kemiskinan, akibat dari penindasan dan salah urus penduduk asli serta kesewenang-wenangan para pangeran dan orang-orang besar, yang sangat bosan dengan mereka.”


SEORANG Ahli geografi dan Etnologi dari Belanda di awal abad-20, DR. Hendrik Blink, melakukan perjalanan ke Kepulauan Riau (Riouw Lingga, pen) dan membuat tinjauan geografis serta etnologi terhadap wilayah ini.

Dalam buku berjudul : ‘Netherlandch Oost En West Indie – Geographisch, Ethnogeaphisch En Economisch Beschreven’, terbitan Boekhandel En Brukkerij voorheen Leiden 1907, secara geografis, ia membagi wilayah Kepulauan Riau (saat itu dikenal sebagai Kepulauan Riouw-Lingga, pen), menjadi empat kelompok kepulauan besar. Masing-masing adalah Kepulauan Karimun, Kepulauan Batam, Kepulauan Bintang, Kepulauan Lingga dan Kepulauan Singkep.

“… Kepulauan ini terdiri dari ratusan pulau, sebagian besar sangat kecil, mengelompok di sekitar beberapa pulau yang lebih besar. Alhasil, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok: 1. kelompok Karimon, 2. kelompok Batam, 3. kelompok Bintang, 4. kelompok Lingga dan 5. kelompok Singkep… “

Pengelompokkan dilakukan Blink, berdasarkan keberadaan pulau besar di sekitarnya. Kepulauan tujuh (kepulauan Anambas, pen) dan Natuna dimasukkan dalam kelompok kepulauan Bintang (Bintan, pen).

Lukisan tentang sebuah pulau di Kepulauan Riau masa lalu. Diberi judul “Riouw” karya Heldring O.G.H. dan dipublikasi pada tahun 1883. © Universiteit Leiden Netherland

“… Sebagian besar pulau-pulau ini terbentuk dari punggung bukit Malaka (Semenanjung Malaya, pen) yang terlipat, yang putus di sini dan sebagian tenggelam di bawah laut, namun beberapa pecahan pegunungan yang hancur masih terlihat. Batuan dasar sebagian besar pulau terdiri dari granit, gneiss, dan batuan sedimen tua: batuan serpih tua, dll. Pengaruh gelombang, arus laut (yang deras di selat ini dengan lebar dan kedalaman yang bervariasi, sehingga kecepatannya terkadang mencapai 7 mil per jam), pelapukan dan kerja hewan karang, serta pendangkalan, bekerja sama untuk terus-menerus mengubah bentuk pulau-pulau ini, dan juga di banyak selat. untuk terus mengubah kondisi air… “

“…Lingga, yang sebagian besar terdiri dari dataran aluvial, berpotongan dengan pegunungan dengan puncak yang tinggi dan bergerigi, dimana Puncak Lingga, pada ketinggian 4.000 kaki, adalah yang tertinggi. Singkep bergunung-gunung di sebelah timur laut, sedangkan pesisir dan daerah pedalamannya berupa dataran berawa… “

Pulau Batam masa itu dideskripsikan sebagai pulau terbesar di antara kelompok pulau-pulau di sekitarnya. Kondisi geografisnya terdiri dari bukit-bukit yang ditutupi hutan lebat. Ketinggiannya antara 200 hingga 300 kaki dari permukaan laut. Pulau itu terlihat masih alami, sama halnya dengan gugusan pulau Rempang dan Galang di dekatnya.

“Pulau-pulau di kelompok Batam berbukit-bukit, tetapi biasanya, tingginya tidak lebih dari 200 hingga 300 kaki.”

Tapi, Blink sepertinya terkesan dengan kondisi alam pulau terbesar di kepulauan Riau, yakni Bintan yang dituliskannya sebagai pulau Bintang. Menurut Blink, ada gunung yang menjulang setinggi 1235 kaki di sana. Kondisi pantainya juga rendah dan datar. Banyak tebing dan terumbu karang.

Gunung Bintan terlihat dari perairan selat Riau (Riouw Straat) awal abad ke-20. © Leiden University Netherland.

“… Karena keragaman bentuk dan kekayaan permainan warna, perjalanan melintasi selat pulau-pulau ini menawarkan kesempatan untuk melihat beragam pemandangan alam yang tiada tara. Secara keseluruhan, iklimnya sangat indah; panasnya di mana-mana dipengaruhi oleh laut dan arusnya, sementara curah hujan cukup besar. Vegetasi di sana kaya akan spesies dan bentuk; lereng gunung sebagian besar masih tertutup hutan lebat. Kondisi alam pulau-pulau ini belum cukup diteliti secara ilmiah… “

Kondisi Masyarakat di Batam Rempang Galang, Akhir Abad 19 – Awal Abad 20

TIGA pulau terbesar di kelompok Kepulauan Batam – ‘Batam, Rempang dan Galang’ – dideskripsikan masih alami pada 1907. Terdiri dari hutan di bagian bukit-bukitnya dan juga hutan mangrove di wilayah pesisir. Populasi penduduk yang sedikit, tersebar di hutan dan bagian pesisir.

Blink menyebut suku darat dan sebagian besar etnis Tionghoa menghuni bagian daratan. Sementara suku laut menghuni di bagian pesisir. Catatannya juga menyebut orang Melayu, Bugis dan sebagian Tionghoa lain menghuni wilayah pesisir Pulau Batam, Rempang dan Galang. Ada juga beberapa kelompok orang Eropa (Belanda, pen) yang menghuni pulau-pulau kecil di sekitar Batam dan bekerja sebagai pegawai negeri (pegawai pemerintah kolonial Belanda). Seperti misalnya di pulau Sambu, Belakangpadang, Kepala Jerih dan juga pulau Bojan (pulau Boyan, pen).

Populasi asli pulau-pulau ini terdiri dari Orang Benoea (atau Orang Darat), orang-orang kafir yang tidak beradab, yang hidup sengsara di hutan rawa di pulau Rempang, Galang dan Batam. Selanjutnya dari Orang Laoet, kelompok nelayan pengembara di Laut Cina, penyembah berhala, dan dari orang Melayu, Bugis, Cina dan beberapa orang Eropa. Yang terakhir ini sebagian besar adalah pegawai negeri sipil, tentara, pedagang, dan pegawai …”

Populasi orang Benoea (Benoewa) yang hidup di pulau Rempang, Galang dan Batam berdasarkan pendataan sejak awal abad 20 berjumlah sekitar 1000 orang ( Data dari buku ‘Manual of Dutch East Indies’ terbitan tahun 1921).

Orang Darat (suku Benoewa) sekitar tahun 1915, diperkirakan di Kepulauan Batam. © F. J.B. Obernetter, Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi.

Mereka dideskripsikan sebagai kelompok masyarakat yang masih primitif, belum beragama dan hidup mengembara di hutan-hutan perbukitan pulau Batam, Rempang dan Galang. Bahkan hingga ke hutan rawa. Untuk bertahan hidup, mereka bergantung dari memburu hewan-hewan hutan yang lebih kecil. Sementara untuk beras, orang darat di ketiga pulau ini memperolehnya dengan cara barter dengan pedagang Cina serta Melayu/Bugis.

Catatan dalam buku ‘Manual of Dutch East Indies’:

“… Mereka adalah orang-orang yang pendiam dan pemalu, menjalani kehidupan yang mandiri; Meskipun mereka berbicara bahasa Melayu, selain bahasa mereka sendiri, tipe mereka sangat berbeda dengan orang Melayu, mempunyai wajah bulat, hidung kecil, dan dahi rendah dan rata. Rambutnya panjang dan kaku, serta pertumbuhannya cukup banyak di sekujur tubuh, sehingga orang Melayu menyebutnya orang utan… “

Foto warga di Pulau Rempang saat dikunjungi P. Wink tahun 1930. Mereka sudah lebih maju dalam berpakaian (Sumber: P. Wink, 1930: antara hlm.  338 dan 339)./ Koleksi pribadi

Pulau Batam, secara umum dikelompokkan sebagai pulau-pulau besar oleh peneliti H. Blink bersama pulau Rempang dan Galang. Wilayah pedalamannya, juga banyak dihuni oleh orang-orang Tionghoa, selain penduduk asli orang Benoea (orang suku darat, pen).

Catatan H. Blink pada 1907:

“… Secara umum, wilayah pedalaman pulau-pulau besar dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang bertani di sana: budaya gambir dan lada yang berdagang di kota-kota utama dan di sana-sini di pesisir pantai, sedangkan orang-orang Melayu kebanyakan tinggal di kampung-kampung kecil di pesisir pantai… “

Sebagai ahli Geografi dan Etnologi, H. Blink membuat catatan tentang pola kebiasaan hidup penduduk yang tinggal di tiga pulau besar di kepulauan Batam (Batam, Rempang dan Galang pen) pada masa itu.

Menurutnya, masyarakat Melayu yang tinggal di beberapa kampung di pesisir tiga pulau besar itu, merupakan kelompok bahari yang kurang suka bertani. Mereka menggantungkan hidup dari aktifitas di laut sekitarnya. Kelompok Bugis lebih bervariasi karena mengupayakan beberapa kebun di tiga pulau besar tersebut. Ada juga yang melakukan kegiatan perdagangan, membawa hasil kebun ke Tanjungpinang atau Singapura.

Sebuah pantai di wilayah Kepulauan Riau tahun 1911. Diperkirakan di Nongsa, pulau Batam. Tampak di latar belakang Pulo Nongsa (pulau Puteri, pen) dengan menara suar asetilennya. © Foto : C.H. de Goeje (Inspektur Pelayaran Hindia Belanda). Universiteit Leiden Netherland. Koleksi pribadi.

H. Blink menyebut orang Tionghoa sebagai kelompok masyarakat dominan yang ada di Batam, Rempang dan Galang masa itu. Baik secara ekonomi, maupun populasi.

Pulau-pulau tersebut memperoleh arti penting ekonominya dari orang Tionghoa, yang merupakan populasi utama“, catat H. Blink.

Ada perbedaan tingkat kehidupan antara penduduk asli di Batam, Rempang dan Galang masa itu, dibanding orang Tionghoa, yang secara populasi juga mendominasi. Menurut H. Blink, penduduk Pribumi mungkin mengalami demoralisasi akibat kemiskinan.

Penduduk Pribumi yang sebenarnya mengalami demoralisasi karena kemiskinan, akibat dari penindasan dan salah urus penduduk asli serta kesewenang-wenangan para pangeran dan orang-orang besar, yang sangat bosan dengan mereka.”

Kapal uap Albatros, Lucifer dan Pherus dengan latar depan beberapa pekerja pembangunan menara suar, sekitar tahun 1911 di sekitar Selat Singapura (Singapore Straat), kemungkinan di Pulo Nongsa (pulau Puteri) Batam. © Foto : C.H. de Goeje. Universiteit Leiden Netherland. Koleksi pribadi.

Penjelasan tentang kondisi pulau Batam lainnya bisa disimak dalam dokumen ‘Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie” yang ditulis oleh D. J. J. De Hollander, seorang Doktor dari Akademi Militer Kerajaan Belanda. De Hollander mencatatkan kondisi Batam dalam dokumen yang terbit tahun 1889. Menurutnya, pulau Batam yang terletak di sebelah timur selat Riau (Straat Riouw) dan di sisi selatan selat Bulang (Straat Boelang) memiliki dua teluk yang menjorok cukup jauh ke daratan. Masing-masing, di sebelah barat adalah Teluk Jodoh (Teluk Djodoe) dan di sisi paling timur adalah Teluk Tering (Teluk Tring).

“… Di antara teluk-teluk ini terbentang sebidang tanah yang titik ekstrimnya disebut T. Sengkoewan. Kampung yang dikenal terletak di sekitar teluk. Dari timur laut: Nongsa, Tring, Belian, Djoedoe dan Mentaran; Di sisi barat daya, dekat selat Boelang, terletak kampung Batoe Adji. Tidak ada gunung atau sungai penting yang ditemukan di sana. Lahan yang cocok untuk berbagai jenis budidaya ini terutama digunakan untuk budidaya gambir dan lada, yang banyak ditanam di perkebunan dan diekspor ke Riouw (Tanjungpinang, pen) … “

Menurut Hollander, hasil perkebunan serupa yang dikirim ke Tanjungpinang, sebagian besar berasal dari Pulau Rempang, Galang, Senggarang (dekat Tanjungpinang, pen), Kelong (daerah di Bintan, pen) serta pulau Sugi.

Masyarakat di pulau-pulau sekitar Batam

CATATAN etnologi H. Blink pada 1907 juga menggambarkan kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau di sekitar perairan Batam. Beberapa pulau kecil seperti misalnya pulau Belakangpadang, Sambu dan pulau Buluh, banyak dihuni oleh suku Bugis atau Tungau dan sebagian Tionghoa.

Dalam catatan lain, pulau Boelan dan pulau Kepala Jerih, sudah dihuni kelompok pekerja perkebunan asal pulau Jawa (umumnya dari Jawa Barat, pen.) sejak awal abad 20. Selat Boelang (Straat Boelang) yang ramai dan terhubung ke Selat Singapura (Straat Singapore) memudahkan pengembangan wilayah-wilayah sekitarnya oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pulau-pulau itu dijadikan sebagai lokasi perkebunan milik pemerintah kolonial.

Pulau Kepala Jeri telah menjadi lokasi perkebunan karet milik pemerintah kolonial Belanda dan diupayakan sejak tahun 1901. Perkebunan karet ini dikembangkan bersama dengan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Riau. Pada awal abad ke-20, kaum penjajah mulai mendatangkan puluhan pasangan suami istri serta lelaki bujangan dari Jawa untuk membuka perkebunan karet di pulau yang awalnya tak berpenghuni tersebut secara berkala.

Para pekerja tinggal di barak-barak kayu  yang berderet-deret membentuk setengah lingkaran. Di tengah kompleks, terdapat  tanah lapang yang menjadi lokasi para pekerja berbaris untuk didata, baik sebelum maupun seusai bekerja di kebun-kebun karet”.

Bekas-bekas bangunan perkebunan, seperti rumah-rumah panggung kayu yang memanjang, masih terdapat di pulau Kepala Jeri hingga kini.

Sementara pulau Boelan (pulau Bulan/ Bulang, pen.) diupayakan sebagai lokasi perkebunan oleh kelompok masyarakat, terutama orang Tionghoa atas konsensus dengan pihak kerajaan. Hal serupa terjadi di Batam dan diupayakan oleh kelompok masyarakat Tionghoa. Iklan-iklan lowongan kerja di pulau Boelan oleh pengusaha Tionghoa, misalnya, disampaikan melalui pemberitaan surat kabar.

Surat kabar The Straits Times Singapura, juga memuat iklan lowongan kerja untuk perkebunan karet di pulau Bulang (Boelan). Di koran The Straits Times edisi 14 Maret 1912, halaman 8, tertera iklan lowongan tersebut.

Foto
Iklan lowongan kerja di sebuah perusahaan karet di pulau Bulang. The Straits Times edisi 12 Maret 1912. © F. Nasional Library of Singapore.

Dua tahun sebelumnya, pada 29 Agustus 1910, residen Belanda di Tanjungpinang melaporkan tentang peningkatan jumlah permohonan izin penanaman karet di pulau Bulang (Boelang). Sebuah perusahaan yang mengeksplorasi pulau itu, telah mengakuisisi lahan yang luas di sekitar Sungei Penaran, Bulang. Banyak pekerja Melayu yang didatangkan ke perkebunan karet di sana. Seorang pengusaha Singapura bernama Tuan Dillon dan Hiloles asal Singapura, dilaporkan juga telah memanfaatkan pulau Sugi (pulau di dekat pulau Bulang, pen) untuk menanam kelapa dan karet. Laporan tersebut dipublikasi di koran The Straits Times.

Kliping pemberitaan di koran The Straits Times Singapura tentang pulau Bulang (Boelang) edisi 29 Agustus 1910. Koleksi pribadi

Hasil produksi karet dan beberapa komoditi perkebunan lain di pulau-pulau sekitar Batam menjadi bagian penting dari industri perkebunan dunia di masa lalu.

Dua pulau teramai di sisi Utara selat Bulang lainnya, pulau Belakang Padang dan terutama pulau Sambu (Samboe), lebih gemerlap dan maju karena minyak. Sebuah laporan dari seorang penulis Singapura, Bob Hacket dalam artikel “Singapore Oil”, pulau kecil itu sudah berfungsi lama sebagai kawasan Kilang minyak, bahkan sebelum pulau Batam berpenduduk ramai seperti sekarang, pulau ini lebih hidup dari Batam.

Kapal-kapal di perairan di Samboe dekat Batam kepulauan Riouw , 1911. © Foto : C.H. de Goeje. Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi.

Pulau Sambu di Batam telah menjadi kawasan kilang penyimpanan minyak oleh Royal Dutch Shell sejak tahun 1927.  Beberapa laporan Belanda yang lebih lama, bahkan menyebut aktifitas penampungan minyak di sana sudah ada sejak menjelang akhir dekade 1800-an.

Pembangunan menara suar asetilen di sekitar perairan pulau Samboe (Sambu, pen) dekat Batam pada 1921. © Universiteit Leiden Netherland. Koleksi pribadi

Stanvac yang melakukan produksi minyak bumi di Sungai Gerong dan beberapa wilayah lain di Sumatera Selatan, memiliki kendala dalam membawa muatan minyak berkapasitas besar untuk ekspor ke internasional  melalui Singapura. Penyebab utamanya adalah kondisi jalur pelayaran di sungai Musi yang hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal tanker kecil. Sehingga, dibutuhkan lokasi baru untuk penampungan minyak-minyak hasil produksi dari Sumatera Selatan.

(*)

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search