“Mereka yang Bersumpah Jadi Terasing di Tanah Batam”

Orang Sabimba di Teloek Senimba – Awal Kedatangan & Eksploitasi Terhadap Mereka

MEREKA adalah kelompok masyarakat asal tanah Bugis yang terdampar di sebuah pulau kecil bernama Batam. Tidak dapat kembali hingga berketurunan di sana. Mereka bersumpah untuk mengisolasi diri dalam hutan dan labirin sungai-sungai yang sunyi karena deraan hidup di tanah tempat mereka terdampar.


ORANG Sabimba pernah tercatat mendiami bagian pulau Batam yang dilalui oleh sungai yang disebut Sungai Sabimba beserta anak-anak sungainya. Pada tahun 1846, sekelompok sisa orang Sabimba yang masih mendiami wilayah sekitar hutan di teluk Senimba, bagian barat daya Batam, disebutkan merupakan kelompok suku terisolir yang tinggal di hutan-hutan dan aliran sungai di sekitarnya. Mereka dikelompokkan sebagai orang hutan yang bergantung sepenuhnya dari hasil hutan tanpa mengupayakan ladang atau budidaya jenis apa pun, serta tidak memiliki perahu.

Dokumen : Journal Of The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume I, diterbitkan oleh Singapore Print At Mission Press, 1847, salah satu penulisnya, James Richardson Logan dalam catatan : ‘The Orang Sabimba of Extremity of The Malay Peninsula’, menyebut orang Sabimba merupakan kelompok orang dari tanah Bugis yang terdampar di pulau sunyi bernama Batam.

Pada awal kedatangan mereka ke Batam ratusan tahun sebelumnya, kelompok orang dari tanah Bugis yang kemudian disebut orang Sabimba, memiliki kebiasaan bertani dan berburu seperti orang Melayu lainnya. Kisah kedatangan mereka ke Batam, dicatatkan oleh Logan dalam jurnalnya. Ia berhasil menemui sekelompok sisa orang Sabimba di Batam dalam kunjungannya ke Batam pada 1846.

Catatan J.R. Logan dalam jurnal-nya:

Dalam sebuah perjalanan dari Celebes ke arah barat, sebuah kapal yang membawa sekelompok orang asal tanah Bugis (yang kemudian disebut orang Sabimba, pen) dan seorang Raja-nya, terdampar di pantai Batam. Beberapa orang selamat. Karena tidak memiliki cara untuk kembali ke tanah air mereka, mereka memutuskan untuk tinggal di pulau itu hingga berketurunan di sana.

Catatan J.R. Logan lainnya tentang kelompok orang Sabimba masa itu :

Setelah beberapa generasi, jumlah mereka meningkat. Mereka (kelompok orang asal tanah Bugis, pen) itu hidup dengan nyaman, membuat ladang dan secara bertahap memulihkan kondisi hidup mereka seperti di tanah air mereka. Namun, sayangnya, mereka menarik perhatian perompak dan kampong mereka dihancurkan. Mereka membuat ladang dan rumah baru, tetapi lagi-lagi mereka diserang oleh perompak. Mereka pindah ke tempat lain, tetapi penyerang mereka yang kejam dan gigih terus menemukan mereka dan melanjutkan serangan mereka setiap beberapa tahun. Akhirnya, ketika kampong mereka dihancurkan untuk ketujuh kalinya, mereka putus asa, meninggalkan kebiasaan lama mereka, dan mencari keselamatan dengan mengembara di hutan dan membatasi diri pada makanan yang diberikan oleh hutan secara alami.”

Perubahan cara hidup kelompok orang asal tanah Bugis di pulau Batam itu lambat laun berubah. Mereka hidup dengan lebih mengisolasi dalam hutan-hutan, dan tinggal mengembara melalui anak-anak sungai di sekitar Batam.

Untuk mencegah keinginan kembali ke ‘kenyamanan’ peradaban yang membuat mereka berkali-kali terpapar penjarahan, perbudakan, atau kematian, seluruh anggota kelompok suku itu membuat sumpah bahwa mereka tidak akan pernah lagi membuat ladang, hidup dalam kehidupan yang menetap, atau bahkan makan ayam/unggas.

“… karena terkadang suara ayam jantan mengkhianati tempat tinggal mereka kepada perompak,” tulis J.R. Logan pada jurnalnya.

Catatan tentang pola hidup terisolasi orang Sabimba di sisi barat daya Batam masa itu, hampir serupa dengan pola yang dijalani oleh kelompok orang Tring Bumban’ yang tinggal di bagian timur pulau Batam (di sekitar Teluk Tering, pen) di masa yang kurang lebih sama. Dalam catatan seorang peneliti lain yang melakukan kunjungan ilmiah ke Batam pada tahun 1907, C. Bodden Kloss; orang Tring Bumban’ yang hidup terisolasi, memiliki senjata berburu berupa racun sumpitan yang identik digunakan oleh suku-suku asli di Kalimantan. (Baca tulisan : ‘Orang Tring Bumban’ di Teloek Boelan). Walaupun memiliki kemampuan berburu, mereka memiliki pantangan untuk membunuh serta memakan unggas ayam.

Potongan peta berjudul : Kaart van den Battam-archipel en Kateman, ©  J.G. Schot, 1882, Universiteit Leiden/ koleksi pribadi

“… Informanku meyakinkan kepadaku bahwa meskipun anak panah beracun itu efektif melawan anak panah liar binatang namun mereka tidak akan pernah membunuh unggas ayam…” sebut Kloss dalam catatannya: ‘Some Visit to Batam‘ pada dokumen : “Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society yang dipublikasi pada Desember 1907″.

Fakta ini beriringan dengan fakta orang Sabimba yang tinggal di barat daya Batam dan disebut J.R. Logan dalam catatan tahun 1847 sebagai kelompok orang yang melarang membunuh hewan unggas ayam.

Sementara temuan Kloss menyebut, walau menggunakan alat berburu berupa racun sumpitan yang identik dengan suku Tring Dayak di Kalimantan, ia tidak yakin ‘Orang Tring Bumban’ berasal dari Kalimantan. Perangkat berburu racun sumpitan yang digunakan Orang Tring Bumban’, awalnya diperoleh dengan jalan barter. Kemungkinan terjadi pada masa perjalanan mereka dari Celebes ke arah barat yang akhirnya terdampar di pulau Batam.

Ada dugaan, orang Tring Bumban yang tinggal di wilayah timur pulau Batam, merupakan kelompok yang berasal dari tempat yang sama dengan Orang Sabimba yang mendiami hutan di barat daya Batam: ‘Mereka sengaja mengisolasi diri menjadi primitif dan tinggal di hutan-hutan sunyi di pulau Batam karena deraan kehidupan‘.

Menurut J.R. Logan, kelompok Orang Tring Bumban’ dikesankan sebagai kelompok yang lebih tertutup dan liar dibanding Orang Sabimba masa itu.

Tradisi Hidup Secara Terisolir

Apa pun dasar dari tradisi ini, itu mencerminkan kondisi mereka saat ini,” tulis Logan dalam jurnalnya yang terbit di tahun 1847.

Untuk bertahan hidup pada hutan-hutan dan sepanjang aliran sungai-sungai kecil di Batam, Orang Sabimba tidak menanam sayuran apa pun, tetapi menggunakan daun, akar, dan buah yang diberikan oleh hutan.

“… Seperti akar kaluna, simpoh, ajas, aprio, katapi, omat nibong, ubi bias, ubi sirat, buah tamidak, buah bilok, buah tampui, buah maneling, buah pecho, buah kabes, buah ridan, buah kadumpa, buah rinjas, buah mangos ut, buah kalading, buah pass, buah durian, buah lakup, buah pakald, buah tore“, tulis J.R. Logan yang sempat bertemu dan mengamati cara hidup kelompok Orang Sabimba di Batam pada 1846.

Mereka makan daging hewan hutan apa pun yang dapat mereka bunuh, dan ketika terkadang mereka berinteraksi dengan orang-orang yang lebih beradab, mereka tidak menunjukkan keberatan terhadap jenis makanan apa pun, kecuali ayam, yang mereka hindari.

Untuk tempat tinggal, Orang Sabimba membuat gubuk-gubuk seadanya di hutan dengan lantai di tanah, dan tidak pernah tinggal lama di tempat yang sama. Mereka selalu berpindah dan mengembara ke hutan-hutan lain di sekitarnya melalui sisi labirin anak-anak sungai di sekitar Hutan Teluk Senimba.

Logan juga mencatat bahwa dalam adat pernikahan, pengantin pria mempersiapkan sebuah gubuk sendiri di mana ia membawa pengantin wanita pada hari pernikahan dari rumah Batin di mana mereka dipersatukan. Sebanyak 12 helai kain putih, dan beberapa sirih dan pinang diserahkan oleh pengantin pria kepada Batin untuk orang tua pengantin wanita.

Aturan pernikahan lain yang dicatat J.R. Logan adalah anak-anak dari sesama saudara laki-laki tidak boleh menikah. Tetapi anak-anak dari saudara perempuan dan dari saudara laki-laki dan perempuan diperbolehkan.

Ketika salah satu anggota keluarga meninggal, jenazahnya dibersihkan, dibungkus dengan kain dan dikuburkan di sebuah lubang, dengan membuat sebuah lubang di sisi untuk menerima jenazah. Di atas kuburan, mereka meletakkan nasi, sebuah panci, sebuah kapak, sebuah beliung, sebuah pisau, sirih dan pinang, dan berdoa agar arwah tidak memanggil mereka atau meminta sesuatu dari mereka di masa depan.

Api kemudian dinyalakan di samping kuburan.

Pada hari ketiga dan ketujuh, mereka mengunjungi kuburan, dan setelah sebulan, mereka meninggalkan rumah dan mencari lokasi baru untuk tempat tinggal mereka. Harta benda dari orang yang meninggal turun kepada anak laki-laki.

Perzinahan dalam kelompok Orang Sabimba dihukum dengan denda 1.000 dipukul rotan. Sedangkan pemerkosaan seorang perawan di kelompok itu, dihukum dengan kewajiban menikahi korban dan memberikan hadiah adat kepada orang tuanya.

Orang Sabimba yang tinggal di sekitar hutan barat daya Batam masa itu juga percaya bahwa mandi dapat menyebabkan musibah. Oleh karena itu, mereka menjauhi mandi dengan cara yang sama seperti mereka menjauhi memakan unggas ayam. Kepala mereka pantang dibenamkan ke dalam air.

“… Hukuman satu-satunya yang diancamkan oleh orang pesisir kepada mereka, atau yang pernah diberikan adalah dengan membenamkan mereka dalam air, yang sangat mereka takuti sehingga mereka mengatakan bahwa mereka lebih suka dibunuh seketika daripada dibenamkan ke dalam air,” sebut Logan.

Dalam catatan J.R. Logan saat menemui kelompok Orang Sabimba pada tahun 1846, komunitas mereka tinggal di sekitar Sungai Tamar. Terdiri dari 25 orang laki-laki, 30 orang perempuan, dan 15 anak-anak. Mereka semua adalah bawahan Temenggung kesultanan Johor yang tidak tunduk pada kesultanan Riouw Lingga masa itu.

Sebagian besar kelompok Orang Sabimba yang pernah tinggal di hutan Batam pada masa sebelum kunjungan Logan, sudah banyak yang berhijrah ke pulau Singapura dan semenanjung Malaya di Johor, mengikuti perpindahan Temenggung Johor dari pulau Bulang ke Singapura, sekitar tahun 1811.

Mereka tidak memiliki kebiasaan sunat, tidak menggosok gigi, tidak membuat lubang di telinga. Mereka tidak memiliki agama, tidak memiliki dewa-dewa atau makhluk gaib yang bernama, hampir tidak memiliki obat-obatan, tidak memiliki upacara kematian. Hanya suami yang membantu saat proses melahirkan“, tulis Logan lagi pada catatannya.

Untuk membantu proses persalinan, mereka memberikan ramuan dari daun Saloso, dan mereka juga menggunakan cara yang sama seperti orang Melayu. Api dinyalakan di dekat ibu untuk mengusir roh jahat. Ramuan dari ranting sejenis pohon tertentu, juga diberikan kepada ibu.

Tali pusar dipotong dengan pisau bambu dan bubuk kunyit diterapkan. Pada hari ketiga, ibu mandi dengan air yang dicampur dengan ramuan daun kamdio, diikuti dengan aplikasi jus jeruk. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan di hutan untuk mencari makanan, dengan bayinya terikat di bawah lengan dengan mulutnya menghadap ke dada. Bayi tidak diberi nama sampai beberapa bulan kemudian. Anak-anak Orang Sabimba juga tidak pernah dipukul.

Dalam pengamatan J.R. Logan terhadap Orang Sabimba yang tinggal di hutan Batam kala itu, ia melihat perbedaan yang mencolok dari ciri-ciri tubuh, dibanding ‘Orang Benoea‘ yang tinggal di hutan pulau Rempang dan Galang.

Kepala (bentuk kepala, pen) mereka, secara langsung terlihat sebagai bagian dari ras yang berbeda dari suku Binua (Benoea). Kepala mereka secara khusus lebih besar dan terbentuk dengan tipe yang berbeda. Wajah mereka sangat panjang, yang disebabkan oleh panjang dan tonjolan rahang bawah. Bibir mereka kuat tapi tebal. Rahang mereka sedikit menjorok ke depan, tapi ketebalan bibir mereka menghilangkan kesan tersebut. Ketika dilihat dari samping …”, sebut Logan.

Kesan J.R. Logan saat bertemu dengan beberapa Orang Sabimba kala itu, yang pria memiliki bahu yang sempit/ kecil dan lengan mereka kurus, mendekati karakteristik orang asli dari benua Australia.. Sementara wajah yang wanita dikesankan sangat lebar di sekitar tulang pipi, sehingga menampilkan fitur yang Mongoloid yang begitu menonjol.

“…Keduanya pada awalnya tampaknya tidak memiliki ide dan tidak suka berbicara. Pria itu ketika ditanya menjawab, dan sampai batas tertentu mengatasi keraguanannya. Pada malam hari kedua, ia menjadi sangat ramah di bawah pengaruh segelas cherry brandy, dan sejak itu menjadi lebih terbuka. Wanita itu duduk dengan mata tetap menatap ke tanah, dan wajahnya mengenakan ekspresi kebodohan yang putus asa. Tidak ada senyum, tidak ada pandangan atau gerakan yang mengungkapkan kehadiran pikiran atau perasaan, yang pernah menerangi ekspresi tetapnya yang lesu …”, catat Logan.

Yang juga menarik menurut J.R. Logan, bahasa dan logat di antara mereka, hampir serupa dengan kelompok Orang Biduanda Kallang di pulau Singapura. Fakta ini sejalan dengan kesan yang ditangkap peneliti lain, C. Bodden Kloss pada publikasinya tentang suku hutan di Batam pada 1907.

Orang Sabimba Dalam Catatan J.T. Thomson

SEORANG peneliti Inggris lain, John Turnbull Thomson (J.T. Thomson) yang tertarik dengan catatan kunjungan J.R. Logan ke pulau Batam dan bertemu orang Sabimba, akhirnya juga mengunjungi kelompok suku tersebut beberapa bulan kemudian.

Dalam catatannya : ‘Mark of The Seletar and Sabimba Tribes‘ pada dokumen jurnal yang sama : ‘Journal Of The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume I, diterbitkan oleh Singapore Print At Mission Press, 1847′, ia sependapat dengan beberapa catatan Logan.

Seperti misalnya fakta bahwa Orang Sabimba yang tinggal di hutan Batam, merupakan kelompok masyarakat dengan asal berbeda dibanding kelompok Orang Binua (Benoea/suku darat) di pulau Rempang dan Galang.

Kesimpulan didasari tinjauan fisiognomi dari bentuk tubuh Orang Sabimba masa itu. Walau memiliki ciri serupa dengan kelompok orang yang tinggal di bagian timur pulau Batam (Orang Tring Bumban’ di Teluk Tering), Orang Sabimba dikabarkan lebih ramah terhadap kehadiran orang luar di lingkungan mereka.

Salah satu senjata berburu mereka, yakni sumpitan, memiliki kesamaan dengan yang digunakan oleh Orang Tring Bumban’ yang hidup lebih tertutup dan liar seperti disebutkan dalam catatan peneliti John Richardson Logan beberapa bulan sebelumnya.

“… Sumpitan yang mereka gunakan sama dengan yang digunakan oleh suku Dayak di Sambas, Kalimantan, dari mana senjata itu diimpor dari Singapura, dan dari sana menyebar ke Sungai Tembran, tempat mereka sekarang tinggal. Panah mereka tidak memiliki bulu, tetapi Orang Sabimba membuat deskripsi yang lebih kasar tentang hal itu. Panah mereka beracun dengan getah pohon Upas, dan disebut “ipoh“, demikian catatan Thomson dalam jurnalnya.

Suku ini, yang menurut catatan Thomson terdiri dari 80 orang dewasa dan anak-anak, bekerja sebagai pengumpul rotan untuk orang Melayu, yang memberikan imbalan berupa beras, senjata, dan peralatan. Mereka mengaku pernah menjadi bagian dari orang Boolang (kelompok Temenggung kesultanan Johor yang pernah tinggal di pulau Bulang, pen), tetapi tampaknya tidak memiliki kenangan yang jelas tentang masa lalu mereka. Tempat tinggal mereka di hutan kawasan bukit Senimba, dikabarkan juga terisolir dari kehidupan suku-suku lainnya di kawasan itu.

Saat kunjungan Thomson, diketahui kelompok Orang Sabimba yang tersisa di sekitar hutan Senimba berjumlah 80 orang. Pemimpin mereka bernama Bintang. Thomson juga sempat mencatat beberapa nama Orang Sabimba masa itu, yang dikesannya berbeda dengan nama-nama orang Melayu atau suku darat yang tinggal di Rempang dan Galang.

Nama-nama pribadi mereka berbeda dari nama-nama suku lain dan termasuk orang Melayu. Berikut nama orang-orang Sabimba seperti dicatat Thomson :

Nama Laki-laki : Dosan, Kissah, Nassip, Kassap, Nosan, Kadang, Masei, Sadang, Penis, Awing, Soning.

Nama Perempuan : Nongei, Nekang, Soo Kang, Sangkang, Boon Teh, Impang.

Kelompok Orang Sabimba tersisa yang masih ditemui di Batam pada tahun 1846 menurut Thomson, mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit pohon. Wanita mereka berpakaian seperti wanita Melayu, tetapi pria hanya mengenakan sehelai kain kulit kayu yang melilit di sekitar pinggang dan melalui kaki. Pakaian mereka terbuka dan longgar, dan mereka berperilaku dengan hormat.

Orang Melayu berbicara tentang mereka sebagai lebih baik daripada monyet, dan memperlakukan mereka sebagai orang yang lebih rendah daripada diri mereka sendiri“, catat Thomson.

Ilustrasi Orang Sabimba seperti yang dibuat oleh J.T. Thomson. © Singapore Print At Mission Press/ koleksi pribadi

Catatan ciri fisik Orang Sabimba dibanding Orang Seletar di pulau Singapura, seperti dideskripsikan oleh Thomson pada 1846 :

Suku Seletar:

– Bentuk kepala: Lebar dan pendek.

– Wajah: Lebar dan datar.

– Hidung: Datar dan lebar.

– Bibir: Tebal dan berwarna gelap.

– Gigi: Berukuran besar dan berwarna kuning.

– Rambut: Keriting dan berwarna hitam.

– Kulit: Berwarna coklat tua.

– Tinggi badan: Relatif pendek.

– Berat badan: Relatif ringan.

Suku Sabimba:

– Bentuk kepala: Lebih panjang dan sempit daripada suku Seletar.

– Wajah: Lebih panjang dan sempit daripada suku Seletar.

– Hidung: Lebih tinggi dan sempit daripada suku Seletar.

– Bibir: Lebih tipis dan berwarna merah daripada suku Seletar.

– Gigi: Berukuran lebih kecil dan berwarna putih daripada suku Seletar.

– Rambut: Lurus dan berwarna hitam.

– Kulit: Berwarna coklat muda.

– Tinggi badan: Relatif lebih tinggi daripada suku Seletar.

– Berat badan: Relatif lebih berat daripada suku Seletar.

Dengan temuan itu, Thomson berkesimpulan bahwa Kelompok Orang Seletar di Singapura, berbeda secara asal dengan Orang Sabimba di Batam.

Lantas, bagaimana dengan Orang Biduanda Kalang di Singapura?

Eksploitasi Terhadap Orang Sabimba di Batam

SEJAK tahun 1811, orang Sabimba yang mendiami hutan-hutan di Batam, dipindahkan secara bertahap ke pulau Singapura dan Johor, sejak zaman Temenggung Abdul Rahman. Hal itu seiring perpindahan sang Temenggung dari pulau Bulang di perairan Batam ke Singapura.

Peta Kepulauan Batam dan Bintan terbitan tahun 1846 yang dibuat oleh J.D. Lange, merupakan bagian dari dokumen catatan Rotger selama 10 tahun tinggal di Hindia Belanda. Rotger adalah pendeta dan juga ilmuwan yang jadi acuan James Richardson Logan dalam meneliti keberadaan ‘Orang Sabimba’ dan Orang Tring Bumban’ di Batam. © Universiteit Leiden/ koleksi pribadi

Pada kunjungannya ke Batam tahun 1846, James Richardson Logan mendapati jumlah orang Sabimba yang ada di hutan Senimba, pulau Batam hanya bersisa 70 orang. Sementara catatan dari J.T. Thomson yang mengunjungi mereka beberapa bulan setelahnya, jumlah mereka ada sekitar 80 orang. Perbedaan jumlah terjadi karena memang cukup sulit mengumpulkan Orang Sabimba yang tinggal di hutan Batam masa itu secara bersamaan.

Sementara bagian dari kelompok mereka yang disebut Orang Tring Bumban’, hidup dengan lebih mengisolasi di bagian timur Batam, di hutan-hutan sekitar Teluk Tering. Cukup sulit untuk menemui mereka.

Menurut Logan, Orang Sabimba di barat daya Batam terus dipindahkan secara bertahap oleh Ketemenggungan Johor dari waktu ke waktu. Pada tahun 1845, misalnya – setahun sebelum dikunjungi Logan – Orang Sabimba di Batam mengaku, beberapa dari kelompok mereka juga telah dibawa lagi ke Singapura oleh orang Ketemenggungan di Singapura dari kesultanan Johor.

Mengapa kelompok Orang Sabimba terus dipindahkan dari Batam masa itu?

Informasi tentang perpindahan mereka secara bertahap, disampaikan James Richardson Logan. Ia mencatat bahwa perpindahan ‘Orang Sabimba’ di Batam masih terus terjadi setelah tahun 1811.

Setelah kematian Temenggung Abdul Rahman pada 1825, aktifitas Ketemenggungan di Singapura, sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh keponakannya yang bernama Daeng Ibrahim (pada banyak catatan sejarah lain, Daeng Ibrahim disebutkan sebagai anak Temenggung Abdul Rahman). Walau pada kenyataannya, penobatan Daeng Ibrahim sebagai Temenggung di kesultanan Johor Pahang yang berpusat di Singapura, baru terjadi pada 1841, ia begitu mendominasi Ketemenggungan di Singapura pada kesultanan Johor di era setelah wafatnya Temenggung Abdul Rahman.

Catatan Logan :
In 1845 the Temenggong diverted his men to the task of establishing a monopoly over the new trade. All gutta-percha brought into Singapore had to be sold to him at a fixed price, and he stationed boats at the harbour entrance to intercept prahus and buy up their cargoes of gutta.55 In addition, Ibrahim organized his own search parties and diverted several primitive aborigine tribes, who had traditionally been his serfs, to collect gutta in Johore: the Biduanda Kallang, the original inhabitants of Singapore island, and the Orang Sabimba, whom he brought from Battam …

Terjemahannya :
Pada tahun 1845, Temenggong (di Singapura, pen.) mengalihkan anak buahnya untuk memonopoli perdagangan baru. Semua getah perca yang dibawa ke Singapura harus dijual kepadanya dengan harga tetap, dan dia menempatkan perahu di pintu masuk pelabuhan untuk menangkap perahu dan membeli muatan getah perca mereka. Selain itu, Ibrahim mengorganisir tim pencari sendiri dan mengalihkan beberapa suku aborigin primitif, yang secara tradisional telah menjadi budaknya, untuk mengumpulkan getah perca di Johor: Biduanda Kallang, penduduk asli Pulau Singapura, dan Orang Sabimba, yang dia bawa dari Batam …”

Menurut Logan, secara perikehidupan dan kemampuan, Suku Benua (Orang Darat) yang ada di hutan-hutan Johor masa itu, lebih unggul daripada orang-orang suruhan/ budak Temenggong seperti ‘Orang Sabimba’ dan ‘Orang Biduanda Kalang’ di Singapura.

Oleh karena itu, orang Benua asal Johor diarahkan untuk mengeksploitasi wilayah Teloek Belanga di Singapura yang saat itu dijadikan markas ketemenggungan era Daeng Ibrahim. Penghulu dan pedagang Melayu, banyak di antaranya dari Singapura, mengunjungi seluruh pedalaman di sana dan menemui Orang Benua Johor dan Orang Sabimba yang dipindahkan dari Batam untuk mendapatkan getah perca.

Hampir tidak ada kampung yang tidak dikunjungi oleh mereka,” kata J. R. Logan, yang juga menjelajah hingga ke pedalaman Johor.

Sementara ‘Orang Sabimba’ dari Batam, diarahkan untuk tinggal di hutan Johor, ‘saudara mereka’byang memiliki kesamaan ciri , suku Biduanda Kalang’, diperintahkan tinggal di hutan sekitar Singapura.

Pedagang luar dikeluarkan, dan suku asli harus menjual hasil mereka kepada penghulu yang membeli semua persediaan dari mereka. Pengumpul membeli getah perca dari suku asli dengan harga $2,50 hingga $3 per pikul dan menjualnya kepada Temenggong dengan harga $7 hingga $10. Sementara barang-barang dari Singapura dijual dengan harga yang sangat tinggi ke para penduduk asli. Sebuah cangkir yang berharga satu sen di Singapura, dijual kepada suku asli dengan harga sembilan sen,‘ tulis Logan dalam catatannya.


MENGAPA Orang Sabimba begitu loyal dengan perintah Temenggung kesultanan Johor di Singapura?

Dalam dokumen Logan disebutkan bahwa Orang Sabimba dieksploitasi oleh pihak Ketemenggungan di Singapura untuk mencari getah perca dan rotan di hutan-hutan Singapura serta Johor masa itu. Sebelumnya di hutan Batam, pada era sebelum Temenggung Abdul Rahman.

Ketaatan mereka karena menganggap para bangsawan Temenggung sejak era di pulau Bulang adalah bangsawan pemimpin mereka secara turun temurun, yang terhubung dengan Radja Bugis yang membawa nenek moyang mereka dari ‘Tanah Bugis’.

Eksploitasi Orang Sabimba yang terdampar di Batam oleh pihak Ketemenggungan, diduga telah berlangsung selama ratusan tahun, sejak masa awal nenek moyang mereka terdampar di pulau itu.

Catatan menarik dari dokumen berbeda dan memiliki hubungan dengan keberadaan suku yang mendiami hutan di pulau Batam, dituliskan Eberhard Hermann Rottger (E.H. Rotger). Pendeta asal Jerman yang sempat tinggal di pulau ini pada tahun 1835.

Rottger bahkan menemukan fakta awal lain bahwa ‘Orang Hutan’ yang tinggal di Batam kala itu, kemungkinan pernah terhubung dengan bangsa Portugis di masa ratusan tahun sebelumnya. Catatan Rottger tentang keberadaan kelompok suku primitif di hutan sekitar Batam, Rempang hingga Galang pada tahun 1835, jadi informasi pembuka bagi peneliti lain yang kemudian mengupas keberadaan kelompok Orang Utan seperti suku Benoea di Rempang, Orang Sabimba di Barat daya pulau Batam serta Orang Muka Kuning dan Tring Bumban’ di bagian lain pulau yang sama.

Pendeta Rottger yang tinggal di Kampung Nongsa kala itu, sempat membuat catatan tentang keberadaan suku primitif yang tinggal di hutan pulau Batam sekitar tahun 1835.

Ia menulis :

Berkat bantuan orang-orang dari Radja Issa di Battam, kadang-kadang berhasil melihat mereka, karena mereka tahu pohon-pohon di mana mereka bisa membuat semacam gubuk atau tenda dari ranting-ranting. Karena mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan penduduk pantai, sifat penakut dan liar mereka dapat dengan mudah dijelaskan. Meskipun mereka hampir telanjang, mereka masih memiliki perasaan malu; mereka menyembunyikan diri sebelum mengikuti orang-orang pantai untuk dibawa ke Radja (Issa’, pen) dengan menutupi pinggang mereka dengan sepotong kulit tipis atau gamut …

Sebuah pantai di wilayah Kepulauan Riau tahun 1911. Diperkirakan di Nongsa, pulau Batam. Tampak di latar belakang Pulo Nongsa (pulau Puteri, pen) dengan menara suar asetilennya. © Foto : C.H. de Goeje (Inspektur Pelayaran Hindia Belanda). Universiteit Leiden Netherland. Koleksi pribadi.

Menurut Rottger, orang Melayu saat itu tidak menemukan senjata apa pun di antara mereka untuk pertahanan, kecuali sebuah pipa tiup untuk berburu. Hewan berkaki empat, burung, ular, cacing, umbi-umbian, dan buah liar adalah makanan mereka, yang mereka makan secara kasar. Karena terbatasnya literasi saat itu, pendeta Rottger hanya menyebut kelompok suku primitif yang tinggal di hutan Batam sebagai ‘Orang Utan’.

Fakta menarik yang ditemui pendeta Rottger – walau orang-orang Melayu di kampung Nongsa menyebut mereka tidak mengenal Tuhan – ketika seseorang di antara ‘Orang Utan’ tersebut mendekati pohon yang besar, mereka berteriak dengan takut: o Deos!

Menurut pendeta Rottger, kata itu terdengar seperti kata dalam bahasa Portugis yang berarti: O, Tuhan!

“… ini akan menjadi bukti bahwa mereka (atau moyang mereka, pen.) mungkin telah berinteraksi dengan seseorang yang berbicara bahasa Portugis…” tulis Rottger dalam catatannya yang pertama kali dipublikasi pada 1844.

“Fakta lain, berdasarkan catatan pendeta E.H.Rottger yang tinggal di kampung Nongsa pada tahun 1835, bisa membuka ruang diskusi baru tentang catatan sejarah pulau Batam yang banyak ditulis sejak tahun 2010; Radja Issa yang disebut perintis sistem pemerintahan di pulau Batam meninggal pada tahun 1831?”

(Catatan tentang ‘Pendeta Rottger, Radja Issa’ dan Kampung Nongsa’, serta apa sebenarnya yang menjadi mandat kuasa kepada Radja Issa’, akan disampaikan pada artikel berbeda di situs ini, pen).

Temuan Rottger pada 1835 dengan lokasi diperkirakan di sekitar Sungai Nongsa atau di sekitar Teloek Tering tersebut, sejalan dengan hasil penelitian dua Etnolog Inggris, James Richardson Logan dan Jhon Turnbull Thomson pada Journal ilmiah tentang Orang Sabimba dan Orang Tring Bumban’ di Batam pada tahun 1847. J.T. Logan sendiri bahkan mengakui dalam catatannya bahwa informasi awal kelompok Orang Utan di Batam yang kemudian dikenalinya sebagai Orang Sabimba dan Orang Tring Bumban serta Orang Muka Kuning, berdasarkan informasi dari catatan pendeta Rottger.

Mereka adalah kelompok Orang asal ‘Tanah Bugis’ di Celebes yang terdampar ratusan tahun lalu di pulau Batam. Kelompok yang kemudian mengikrarkan sumpah untuk mengisolasi diri dari kehidupan di luar mereka, hingga menjadi bagian perikehidupan kelompok tersebut secara turun temurun selama ratusan tahun setelahnya.”

(*)

Gambar cover : Potongan peta bernama “Kaart van de Noordkust van het Eiland Bantang” menampilkan Soengai Senimba di Batam. © Boom, E.H., Swart, Jacob, Ettling, T. - 1847 Universiteit Leiden/ koleksi pribadi

About Author /

Admin

2 Comments

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search

Silahkan bagikan konten ini.