Zoo FM : ‘Kebun Binatang’ yang Menggebrak Singapura, Akhir 80 – Awal 90-an
Awal Hiruk Pikuk Media Massa di Batam
ALUNAN lagu-lagu Top 40s yang sedang populer, pop rock dan sesekali jazz, mendadak menghentak telinga publik Batam pada 1987. Siaran dari sebuah radio yang kelihatannya baru mulai mengudara, bisa ditangkap melalui radio di mobil, perangkat HI-FI di rumah atau bahkan dari radio transistor dual band AM/FM. Banyak diisi song list lagu-lagu populer barat dengan sesekali muncul suara host radio yang mengiringi dalam bahasa Inggris. Sesuatu yang luar biasa bagi masyarakat yang tinggal di pulau sepi bernama Batam masa itu
LANTUNAN lagu “Heaven is a Place on Earth” milik Belinda Carlisle yang baru saja booming di top chart Billboard Amerika awal tahun 1988 dan dibahas di saluran Tv5 Singapore Broadcasting Corporation (SBC, sekarang berubah jadi Media Corps Singapore, pen.), mendadak muncul di saluran radio pada frekuensi 101,6 FM.
Itu lagu rilisan baru!
Biasanya, untuk bisa mendengarkan secara penuh dengan segera, perlu membeli kasetnya. Atau, jika sabar menunggu, baru diputar di stasiun-stasiun radio Singapura, 3 hingga 6 bulan setelahnya. Tapi ini sudah disiarkan secara bebas dari radio siaran baru.
Awalnya, publik mengira siaran yang dipancarkan pada gelombang FM 101,6 tersebut adalah siaran baru dari radio di negeri jiran Singapura. Pada masa itu, warga di Batam memang terbiasa dijejali dengan siaran-siaran asal negeri Singapura dan Malaysia. Mulai yang bersiaran bahasa Inggris, Melayu hingga Chinese dan Tamil. Satu-satunya siaran dalam negeri yang bisa ditangkap di Batam adalah siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Tanjungpinang. Itupun melalui gelombang Amplitudo Modulation (AM) yang berkualitas teknologi mono.
Namun, logat host radionya saat berbicara lebih kental ‘American Style‘, daripada ‘Singlish‘. Mereka menyebut sebagai Radio Ramako Batam.
SIARAN ujicoba Radio Ramako di Batam, mulai mengudara tepat pada 11 Maret 1987. Disiarkan dari Wisma Bukit Nagoya Hotel di kawasan Lubuk Baja, Nagoya. Awalnya bersiaran dengan kekuatan pancar terbatas. Di Nongsa, siaran radio baru ini, sudah bisa disimak, namun dengan kualitas yang tidak begitu jernih.
Walau begitu, kehadiran mereka dalam waktu singkat, langsung menyita perhatian publik. Radio Ramako Batam menancapkan diri sebagai perusahaan media massa pertama yang beroperasi dari pulau industri yang sedang dibangun kala itu.
Bulan Agustus tahun berikutnya, pada 1988, radio Ramako Batam langsung menggebrak dengan siaran dari lokasi pameran pembangunan dalam rangka peringatan HUT RI ke-43 yang digelar di pinggir jalan kawasan Nagoya. Tepatnya di pertigaan (sekarang menjadi perempatan, pen.) jalan Imam Bonjol, komplek Bumi Indah yang baru selesai dibangun.
Sepertinya, para kru sengaja membawa perangkat siar dari studio On Air yang berada tepat di seberang lokasi untuk lebih mengenalkan diri ke publik.
Seorang penyiar dengan warna rambut jagung dan kumis senada, terlihat memandu siaran dari salah satu stand pameran. Jarinya fasih mengendalikan perangkat mixer audio di studio mini yang dibuat. Sesekali, saat lagu tengah diputar, dengan cekatan memilah beberapa Compact disc untuk diputar selanjutnya.
“Hai, i’m Hendri, this is the Amazing FM 101,6 Ramako Batam!” ujarnya lantang.
Kemunculan kru radio ini yang bersiaran langsung di publik, menjadi terobosan baru yang menarik rasa penasaran warga Batam saat mengunjungi pameran pembangunan di ruas jalan Imam Bonjol, bulan Agustus tahun 1988.
SEBULAN kemudian, studio siar Radio Ramako Batam pindah ke sebuah bukit di Tanjung Pinggir, tepatnya di jalan Kolonel Sugiono. Mereka menempati bangunan yang lebih tepat disebut bungalow di kawasan yang masih dikelilingi hutan.

Dengan menggunakan peralatan serta teknologi standar internasional dan daya pancar yang ditambah menjadi 3,5 kW, siaran mereka kala itu menjadi lebih jernih dan menjangkau hingga ke negeri Jiran Singapura, bahkan Malaysia!
Konsep siaran juga diubah lebih funky dan mengusung tema ‘kebun binatang’, menyesuaikan lokasi siarannya yang berlokasi dari sebuah bukit di tengah hutan pinggiran kota Batam.
Nama-nama penyiar mereka yang sudah dikenal sebelumnya, mulai menggunakan nama binatang di belakang nama mereka. Seperti Hendri yang berubah jadi ‘Hendri Kangaroo’, Julie yang menjadi ‘Julie Peacock’, Peter yang berubah jadi ‘Peter Snake’, Sam menjadi ‘Sam Hippo’ serta Andi yang berubah jadi ‘Andi Lion’.
Konsep itu digagas konsultan mereka, seorang Filipina yang menjabat Program Director Radio Ramako Batam kala itu, sekaligus penyiarnya: Jonathan Noel B. Jabson alias Joe Monkey. Mereka juga melabeli para pendengar radio yang ditambahi kata ‘Zoo‘ itu dengan sapaan lucu : “Bung Kumis and Nona Manis.”
Jabson, pria asal Filipina yang pernah mengenyam kursus penyiaran di Bailey School of Broadcasting Amerika itu, dikontrak sejak 29 Mei 1988 hingga dua tahun ke depan, untuk menangani perintisan awal radio asal Batam tersebut. Sebelumnya, ia telah melanglang buana di 13 stasiun radio di Filipina.
Kemunculan siaran Ramako yang bisa ditangkap jelas di Singapura, kemudian membuat banyak warga negeri pulau itu tertarik. Seperti misalnya seorang siswi kelas akutansi bernama Hii Siew Ming. Sebagai anak muda kala itu, ia biasanya update dengan perkembangan musik, terutama top 40s Amerika. Pilihannya adalah membeli kaset saat mengetahui ada update perkembangan musik yang disenangi.
“I used to listen to my cassete tape after night. But, since this radio, i switch on my radio even at one or two in the morning when i stay up to study,” sebutnya pada The Straits Times Singapura, tahun 1988.
Surat kabar terkemuka Singapura, The Straits Times edisi terbit 12 September 1988, kemudian menerbitkan artikel berjudul : ‘Zeroing in on FM Zoo’s Hot Pop‘
“You heard ‘em? There was this unknown station blaring out hot pops over your car radios, ghetto busters and home hi-fi, and you wanted us to solve the mystery? So we did …”
“Anda sudah mendengarnya? Ada stasiun radio tak dikenal yang memutar lagu-lagu populer di radio mobil, ghetto blaster, dan hi-fi rumah, dan anda ingin kami memecahkan misteri itu? Jadi kami melakukannya …“
Menurut The Strait Times, publik Singapura menghubungi nomor hotline surat kabar itu karena penasaran. Satu-satunya petunjuk adalah bahwa sinyal tersebut berasal dari Pulau Batam, di selatan Singapura.
“Penggemar radio yang menyetel FM 101,6 pada hari Jumat ini akan mendengar suara-suara aneh dari sebuah “Kebun Binatang” di Pulau Batam. Sebenarnya, itu adalah stasiun musik. Amazing FM Zoo 101,6 memiliki penyiar radio yang bernama Joe Monkey, Peter Snake, Henry Kangaroo, Julie Peacock, Sam Hippo, dan Andi Lion. Stasiun ini bersiaran mulai pukul 6 pagi hingga tengah malam (pukul 5 sore hingga 11 malam Waktu Indonesia) setiap hari dengan siaran dalam bahasa Inggris dan Indonesia.” The Straits Times, Jumat 12 September 1988.
“Bung Kumis and Nona Manis, This is The Amazing FM, Zoo 101,6 Ramako Batam! ” sapa Joe Monkey yang membuat publik Singapura kian penasaran.
DJ Filipina berusia 29 tahun kala itu dinilai publik Singapura memiliki suara yang mirip dengan host American Top 40s, Casey Kasem. Joe dibawa dari stasiun radio DWRK FM di Manila pada bulan Mei 1988 ke Batam untuk membantu mempersiapkan siaran radio Ramako FM 101,6.
“Stasiun radio kami akan dijalankan dengan cara yang sama seperti stasiun radio di Amerika Serikat,” kata Jonathan Jabson yang sudah berkecimpung di siaran radio selama 15 tahun pada sebuah kesempatan wawancara dengan reporter The Straits Times, Geraldine Goh.
Menurut Jonathan Jabson, ia menginstruksikan kepada host radio-nya (deejays) untuk menjangkau para pendengar mereka dengan kepribadian yang ramah serta lucu. Termasuk sesekali menceritakan anekdot yang lucu untuk menghibur.
“… Kami ingin membantu pendengar kami rileks dan menikmati diri mereka sendiri. Saya mengatakan kepada para DJ saya untuk tidak menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya, tapi untuk memproyeksikannya kepada audiens mereka,” sambung Jonathan.
Sesekali dalam siaran, para host radio yang diformat ceria itu, juga sering mengajak seseorang yang merupakan staf bagian umum di radio itu untuk berkomunikasi dengan mereka di tengah siaran. Kelihatannya seseorang bernama Nurdin yang diberi label nama binatang yang sama dengan mereka, Walangsangit; sejenis kutu yang berbau menyengat.
“Yes, I’m now accompanied by a loyal partner, Nurdin Walangsangit. But, it seems he’s busy cleaning the studio. Hey Nurdin, how’s it going?”
STASIUN radio senilai $10 juta yang dimiliki oleh Ramako Media Promosindo itu, memiliki kantor pusat di Jakarta. Mereka telah mendapatkan izin khusus dari pemerintah untuk melakukan siaran dengan daya 1,5 kW yang kemudian menjadi 3,5 kW saat itu. Dengan kekuatan pancar tersebut, Ramako Batam optimis bisa menjangkau area dalam radius 70 km di sekitar Batam, termasuk Singapura dan juga Malaysia di Johor. Hal ini berbeda dengan stasiun radio lain di Indonesia yang tidak diizinkan untuk melakukan siaran melebihi batas 1 kW yang dioperasikan oleh Radio Republik Indonesia. Tak tanggung-tanggung juga, mereka sekaligus membawa seorang Sound Engineer berpengalaman asal Filipina, Apolinario Delgado untuk meracik audio keluaran radio tersebut menjadi apik.

Menurut Jabson, mereka menggunakan Compact Disc (CD) untuk memutar musik ke pendengar radio Ramako Zoo 101,6 sehingga audio yang disiarkan melalui gelombang udara menjadi lebih jernih. Sebuah terobosan baru lainnya kala itu, di saat banyak pengelola radio di Indonesia yang masih menggunakan pita kaset untuk memutar lagu yang dipancarkan dari stasiun radio.
Sesuai kebijakan aturan pemerintah Indonesia kala itu, Ramako Zoo 101,6 juga merelai siaran berita pada jam-jam tertentu melalui radio milik pemerintah, RRI.
“Siap-siap untuk menerima ‘sesuatu yang berbeda’ dari kami di Batam,” kata Jabson pada penghujung tahun 1988.
“Batam island won’t be able the same again“, tulis The Straits Times mengomentari siaran ujicoba Radio Ramako Batam tahun 1988 kala itu.
Bahasa gado-gado English logat ‘American‘ yang sesekali dipadu komunikasi bahasa Indonesia yang gaul, membuat Ramako dengan cepat mendapat tempat tersendiri di publik Singapura dan Malaysia, termasuk bagi warga Batam yang masih berpenduduk sedikit saat itu.
PERISTIWA menarik dilaporkan surat kabar The Straits Times edisi 6 November 1988. Seorang pria yang akan menyeberang ke Batam dari Singapura menggunakan kapal Fery, dihentikan di area custom pelabuhan.
Petugas custom Singapura saat itu melihat sebuah benda mencurigakan yang dipegang sang pria. Bentuknya perpaduan sebuah detonator dan perangkat bicara walkie talkie.
“What is that?” tanya seorang petugas.
“This? it is a radio“, jawab sang pria yang berkebangsaan Indonesia itu.
Ia langsung menekan sebuah tombol berwarna hijau dari perangkat tersebut, yang membuat para petugas custom Singapura berlarian, mencari tempat untuk berlindung.
Namun, satu-satunya efek yang muncul dari tombol perangkat yang ditekan tersebut bukan ledakan, namun suara seperti yell jingle : “,The Amazing FM Zoo 101,6!”

Belakangan, pria itu diketahui bernama Bambang J. Rachmadi, sang pemilik radio baru asal Batam. Ia sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Batam melalui Singapura pada bulan November 1988.
RADIO Ramako Batam didirikan oleh seorang pengusaha muda Jakarta yang juga bankir, Bambang J. Rachmady. Kelak juga dikenal sebagai pengusaha sukses warung Waralaba MC Donald dan Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia. Radio berkonsep baru yang bersiaran dari Batam itu merupakan bagian dari grup Ramako di Jakarta.
Isterinya, Adyanti Soedarmono, merupakan Puteri wakil presiden RI kala itu, Soedarmono.
Pada 11 maret 1989, Radio Ramako Batam akhirnya diresmikan oleh Wakil Presiden RI, Soedarmono, SH sebagai radio siaran swasta nasional di kota Batam. Zoo FM 101,6 dengan konsep funky ala ‘Kebun Binatang’ mengudara secara resmi.
Selain Jonathan Noel B. Jabson alias Joe Monkey, yang juga merangkap sebagai Program Director, nama lain yang dikenal publik saat awal-awal kemunculan radio ini di Batam pada 1988 adalah:
Andi Lion alias R. Djati Udiono/ Andy Yudha. Pria yang berusia 30 tahun itu juga merangkap sebagai koordinator host radio/ Deejay di radio Ramako Batam.
Peter Snake (30 tahun) alias Harry Purnomo, berasal dari Jakarta dan sudah berkecimpung di dunia radio sejak awal dekade 80-an.
Sam Hippo (28 tahun) alias Uke Syam. Berasal dari kota kembang Bandung. Ia mulai bergabung di Ramako sejak April 1987.
Hendrik Kangaroo (26 tahun), bernama asli Hendri Worotikan. Hendri sudah malang melintang di dunia radio di Jakarta. Seperti radio Draba dan Mustang.
Julie Peacock (24 tahun), bernama asli Retno Raharni Ekowati. Ia juga sempat mencicipi pengalaman di dunia radio Jakarta sejak tahun 1985 di radio Suara Perkasa.

Menggebrak Singapura, Menduduki Posisi Puncak
HANYA dalam kurun 8 bulan sejak dioperasikan secara resmi, Zoo FM 101,6 langsung menggebrak Singapura. Hasil Survei Research Singapore (SRS) untuk jumlah pendengar radio berbahasa Inggris pada November 1989 di Singapura; Zoo FM 101,6 yang bersiaran dari Batam, langsung menerobos di posisi puncak, mengungguli radio-radio berbahasa inggris sejenis yang dikelola di bawah SBC.
Zoo FM menjangkau 13,7 persen jumlah total pendengar radio di Singapura dengan total pendengar harian mencapai 284.000 orang. Posisi kedua ditempati Radio 1 SBC yang menjangkau 11,7 persen atau sekitar 241.000 dan di posisi ketiga oleh Radio 10 SBC (Perfect 10 FM), menjangkau 10,3 persen pendengar yang setara 213.000 orang. (Lihat : The Straits Times, 16 November 1989, halaman 28).
Walau memiliki jangkauan pendengar terbanyak saat itu, General Manager Radio Ramako Batam saat itu, Cornell R.H. Tobing menyebut bahwa radionya tidak spesifik menyasar pasar Singapura. Ia membandingkan siaran radio-radio Singapura yang juga bisa disimak bebas di pulau Batam.
Pernyataan agensi radio tersebut di Singapura, Peter Ang, nilai revenue advertising yang diraih oleh Ramako Batam sejak mulai membuka agensi periklanan mereka di Singapura awal Januari 1989, disebut sudah sangat memuaskan.
Namun, ia sedikit menyesalkan survei berbeda yang dirilis Lembaga penyiaran Singapura (SBC) yang mempublikasi hasil berbeda dengan mencantumkan radio perfect 10 Singapura menguasai pasar pendengar hingga 40 persen.
“SRS Media Index 89 adalah survei yang mapan dan secara luas digunakan oleh industri periklanan di Singapura. Survei ini secara resmi telah mengkonfirmasi bahwa The Amazing FM Zoo 101,6 adalah stasiun radio berbahasa Inggris nomor 1 yang didengarkan di Singapura. Angka yang dikutip untuk Perfect 10 sebesar 40 persen dari survei yang dilakukan oleh Singapore Broadcasting Corporation sendiri tidak didukung oleh SRS Media Index,” sebut Peter Ang pada November 1989.
Walau tidak disebut secara langsung, rivalitas radio asal Batam dengan radio-radio Singapura, mulai terjadi untuk memperebutkan kue iklan di negeri singa tersebut.
Luncurkan Stasiun kedua, Coast 100
SUKSES merambah pasar Singapura dengan konsep Funky ala ‘kebun binatang, pengelola Radio Ramako Batam kembali meluncurkan stasiun radio keduanya, hanya 8 bulan setelah peluncuran resmi Zoo FM 101,6.
Coast 100 di saluran 100,7 FM. resmi diluncurkan dan mengudara pada 10 November 1989. Stasiun radio kedua milik Ramako Group di Batam ini memainkan middle of the road music yang bergenre easy listening. Dibawakan secara penuh bahasa Inggris, host di stasiun ini adalah orang yang sama dengan di stasiun Zoo 101,6.
Nama ‘Coast‘ terinspirasi dari lokasi tempat mereka mengudarakan siaran di wilayah Tanjung Pinggir, Batam yang berada di bukit pinggir pantai.
Bersiaran di dua saluran frekuensi dengan format yang berbeda, membuat para penyiarnya perlu menampilkan citra yang berbeda pula. Jika di Zoo 101,6, para DJ bersiaran dengan format ceria dan menggunakan label nama binatang, pada Coast 100 100,7, mereka tampil lebih konvensional ala penyiar radio Amerika Top 40s. Hanya nama depan yang digunakan untuk memperkenalkan diri ke pemirsa.
Singapore Broadcasting Corporation merespons beberapa bulan kemudian dengan peluncuran siaran 24 jam di Radio Perfect 10.
Saat itu, media The Business Times Singapura memberi bocoran ke khalayak di negeri jiran itu, bahwa kelompok Radio di Batam juga sedang mempertimbangkan peluncuran stasiun ketiga, yang akan melakukan siaran dalam bahasa Mandarin, pada akhir tahun depan.
“… Namun, mereka mungkin akan menghadapi beberapa masalah dalam mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang Indonesia untuk saluran Mandarin. Sementara itu, SBC dikabarkan sedang memfinalisasi rencana untuk stasiun musik Mandarin 24 jam …“ (The Business Times, 11 November 1989)
Saat awal diluncurkan, radio Coast 100 melakukan siaran dari pukul 6 pagi hingga lewat tengah malam (waktu Singapura sekitar pukul 7 pagi hingga 1 pagi). Jam siaran bahkan akan diperpanjang menjadi 24 jam pada akhir bulan November 1989.
Sang pemilik, Bambang Rachmadi kepada The Business Times menyebut bahwa Coast 100 ditargetkan untuk pendengar berusia antara 25 hingga 50 tahun. Sementara Zoo 101,6, ditargetkan untuk kelompok yang lebih muda. Kedua stasiun radio ini memutar lebih banyak musik kontemporer dan pop. Bambang juga menyebut bahwa stasiun radio terbaru, Coast 100 akan mulai menayangkan iklan dalam dua bulan pertama. Pendapatan iklan untuk Coast 100 diharapkan dapat mencapai $2,5 juta per tahun.
Rencana ekspansi bisnis kelompok Radio Ramako di Batam, sepertinya meresahkan bagi para pengelola radio Singapura di bawah jejaring Singapore Broadcasting Corporation (SBC).
UPAYA protektif pengelola media di Singapura, SBC, terhadap ancaman pengaruh dua radio stasiun asal Batam, memicu ketidakpuasan dari publik Singapura sendiri. Pada 9 Juni 1990, protes terhadap cara SBC menangani isu persaingan, disampaikan oleh warga negara itu secara terbuka di koran The Straits Times.

Ho Seeng Che, seorang Singaporean (warga negara Singapura) memprotes cara salah satu stasiun tv milik SBC, Tv5 dalam mengelola isu persaingan antar radio-radio berbahasa Inggris di Singapura, di tengah maraknya pertumbuhan stasiun radio baru yang bisa diakses di negeri jiran tersebut. Dalam program “Feedback Devoted” yang digelar mereka, Che menilai produser program Tv5 sengaja menghilangkan komentar warga tentang keberadaan dua stasiun radio asal Batam, Zoo FM dan Coast 100.
“Sebagai pemirsa tetap program ‘Feedback Devoted’ di SBC 5, saya sangat kecewa dengan cara produser menangani beberapa isu pada edisi tayang 3 Juni 1990. Dalam program tersebut, umpan balik menyediakan segmen untuk menanggapi respons pendengar radio Singapura terhadap peningkatan jumlah stasiun radio. Selama seluruh segmen, tidak satu kata pun disebutkan tentang dua stasiun radio Batam: Zoo FM dan Coast 100. Seluruh slot tersebut dikhususkan untuk wawancara dan komentar tentang tiga stasiun radio berbahasa Inggris yang dioperasikan oleh Singapore Broadcasting Corporation. Sepertinya mereka sedang membuat fitur tentang stasiun radio SBC.
Jika tujuan segmen tersebut adalah untuk mengeksamin respons pendengar Singapura terhadap peningkatan jumlah stasiun radio, maka harus juga menampilkan wawancara dan komentar tentang dua stasiun radio Batam. Setelah semua, telah terbukti bahwa sejumlah besar pendengar Singapura mendengarkan Zoo FM dan Coast 100 secara teratur.
Apa yang disajikan dalam program tv ‘Feedback Devoted’ adalah satu sisi dan bias. Saya tidak bisa tidak merasa bahwa produser telah mengedit komentar (atau lebih mungkin pujian) tentang Zoo FM dan Coast 100.
Ayolah SBC, program tv terkini seperti ‘Feedback Devoted’ haruslah objektif dan tidak bias jika ingin memiliki nilai informatif. Persaingan dari stasiun Batam hanya akan meningkatkan profesionalisme stasiun radio kita.
Jika situasi saat ini adalah sesuatu yang patut dijadikan contoh, penyiar SBC memiliki banyak hal yang harus dipelajari dari rekan-rekan mereka di Batam karena sebagian besar penyiar baru di Class 95 (salah satu stasiun radio di bawah SBC) terdengar seperti mereka tidak menyukai pekerjaan mereka,” demikian tulis Ho Seeng Che panjang lebar di halaman surat pembaca koran The Straits Times edisi terbit 9 Juni 1990.
PADA tahun 1991, surat kabar berbahasa Melayu Singapura, Berita Harian, menyoroti begitu mudahnya pemberian izin untuk pendirian radio di Indonesia. Mereka menghitung pada tahun 1991, terdapat lebih dari 500 stasiun radio swasta di bawah PRSSNI yang telah beroperasi di Indonesia. Sementara pemerintah Indonesia hanya memiliki satu radio, yakni RRI. Hal ini menyebabkan perebutan ‘kue iklan’ yang begitu massive antar radio-radio swasta Indonesia.
Artikel tersebut kemudian membandingkan pola berbeda yang dilakukan pemerintah Singapura terhadap pengelolaan seluruh radio di negeri jiran tersebut yang ditangani di bawah jejaring milik pemerintah, Singapore Broadcasting Corporation (SBC), sehingga persaingan bisa dikendalikan menjadi lebih sehat.

‘Perang’ siar antara dua stasiun radio di Batam dengan sejumlah radio di bawah jejaring SBC Singapura, sepertinya terjadi. Hampir dua tahun sejak pertama kali mengudara pada November 1989, siaran Coast 100 di frekuensi 100,7 mulai terganggu sinyal asing pada 1991. Pendengar stasiun radio tersebut di Batam dan Singapura, mengeluhkan siaran dari radio berbeda berbahasa Tamil yang masuk dalam siaran radio Batam berhomebase di Tanjung Pinggir itu.
The Straits Times mendapat laporan saat itu, bahwa ada stasiun radio baru: NTUC Radio Heart Singapura yang bersiaran dalam dua bahasa berbeda tiap hari, Chinese dan Tamil, berada pada frekuensi yang hampir beririsan dengan Coast 100 di 100,3 FM.
Namun saat dikonfirmasi ke juru bicara kementerian informasi dan seni Singapura, diperoleh jawaban bahwa hal itu di luar kewenangan mereka.
“… Juru bicara Kementerian Informasi dan Seni Singapura, yang mengeluarkan izin untuk mengoperasikan stasiun radio itu mengatakan bahwa mereka tidak memiliki yurisdiksi atas frekuensi pada band FM, yang diatur dan dikoordinasikan oleh Uni Telekomunikasi Internasional. Saat ini, semua frekuensi telah terisi penuh …” (The Straits Times, 25 Maret 1991, halaman 25)
Inisiasi Stasiun TV Berhomebase Batam
DI luar dugaan publik Singapura dan Singapore Broadcasting Corporation (SBC) tentang rencana peluncuran stasiun radio ketiga milik Ramako grup yang berbasis bahasa Mandarin di Batam, sebuah kabar menghentak muncul pada tahun 1992. Kelompok usaha Ramako merilis informasi tentang rencana diversifikasi bisnis mereka di Batam dengan pendirian sebuah stasiun televisi yang berhomebase di kota pulau itu. Mereka menjalin kemitraan dengan salah satu raksasa bisnis di Indonesia, Salim grup.
Badan hukum juga telah didirikan, yakni PT. Ramako Indo Televisi Batam atau RIT.
Dua sosok di balik rencana besar itu adalah, pemilik Ramako Grup Bambang J. Rachmadi dan CEO Salim Group, Anthony Salim. Ramako Indo Televisi Batam (RIT Batam) rencananya akan mulai dioperasikan pada tahun 1993, sekitar bulan Juli dan Agustus dari Batam.
Pihak Singapura merespon kabar yang disampaikan kantor berita Antara itu, dengan menyebut ada pihak ketiga yang ikut berkolaborasi di balik rencana pendirian stasiun TV di Batam, yakni seorang pengusaha bernama Nor Selamat Asmoprawiro yang masih bersaudara dengan menteri penerangan RI, Harmoko.
Koran ‘The Business Times‘ Singapura kala itu memprediksi, pengoperasian RIT dari Batam akan juga menjangkau para penonton di Singapura dan bahkan Johor. Seperti halnya, Radio Zoo FM dan Coast 100 yang menguasai pasar pemirsa Singapura, stasiun TV RIT di Batam punya potensi serupa.
Apalagi menurut mereka, Salim Grup memiliki kepentingan karena mempunyai investasi yang besar di kota pulau itu melalui sejumlah perusahaan bisnis mereka.
Kabar pelarangan dan perubahan format
PADA sekitar tahun 1993, muncul desas-desus larangan untuk penayangan iklan Singapura di media-media luar negeri di Batam. Walau tidak ada bantahan atau pembenaran, dalam beberapa bulan setelahnya, jumlah penayangan iklan asal Singapura di dua radio asal Batam yang telah beroperasi, Zoo dan Coast 100 menurun. Siaran Coast 100 juga mulai banyak ditinggalkan pendengar karena masalah irisan frekuensi siar yang menggangu siarannya, belum kunjung bisa diselesaikan. Sementara itu, kabar pengoperasian stasiun televisi RIT Batam pada sekitar bulan Juli – Agustus 1993, tidak pernah kunjung terlaksana.
Pada tahun berikutnya, Zoo melakukan perubahan format siaran dengan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar siaran. Jika sebelumnya perbandingan bahasa pengantar Inggris dan Indonesia di radio ini bisa mencapai 80 : 20, sejak 1993, penggunaan bahasa Indonesia oleh para penyiar Zoo 101,6 menjadi lebih dominan.
Kabar perubahan mengejutkan kemudian datang dari radio mereka yang lain, Coast 100 FM 100,7 yang berubah nama menjadi Batam FM 100,7 mulai tahun 1995. Banting setir dari sebelumnya menggunakan bahasa Inggris secara penuh. Tagline-nya juga diubah menjadi ‘Jalur Musik Indonesia’.
Gangguan Splitter siaran berbahasa Tamil yang sebelumnya kerap terdengar di frekuensi mereka, mendadak hilang.
Meniru ‘saudaranya’ yang bersiaran dengan konsep nama penyiar dari kebun Binatang’ , Batam FM mulai bersiaran dengan para host radio/deejay yang menggunakan nama belakang dari ‘tokoh pewayangan’.
Pada tahun tersebut, stasiun radio Coast 100 yang berubah jadi Batam FM, digawangi sejumlah nama penyiar seperti Dipo Tetuko, Ian Rahwana dan Dika Sembadra. Mereka mulai menyiarkan musik yang 100 persen Indonesia. Sambutan positif terhadap perubahan nama dan format siaran ini, terutama didapat dari pemirsa mereka di Batam. Re-branding dan perubahan konsep siaran ini juga diikuti target revenue iklan dari dalam negeri.
Era periklanan yang menyasar kue iklan di negeri jiran Singapura, sepertinya berakhir. Namun, keberadaan dua stasiun Radio milik Batam itu, telah meningkatkan gairah munculnya media massa lokal lainnya di Batam.
Sebuah radio baru bernama ‘Bentara Persada’ mulai mengudara dari Belakang Padang pada sekitar tahun 1993. Sementara untuk media massa koran, mulai muncul koran lokal Riau Pos di pasaran Batam. Koran lokal itu dicetak dari Pekanbaru dan beredar tiap hari di Batam sejak 1993.
(*)
Foto cover : ilustrasi, © F. ALIVE Radio
Gita Utari
1 bulan agoMasyaAllahhh terimakasih banyak untuk story dibalik perusahaan tempat kami mencari nafkah saat ini…
Sehat² terus orang baik… Smg bahagia dunia sampai akhirat 🤲