“Tionghoa di Negeri Riouw”

“… populasi orang Tionghoa di Riouw Lingga mendominasi secara statistik kependudukan hingga mencapai 80 persen dari total penduduk pada tahun 1834 di seluruh negeri.

Menurut laporan dari kepala kampung Nongsa di Batam saat itu, Raja Yakub, sudah ada 3.000 orang Tionghoa dari Singapura yang mendarat di sana. Mereka telah membagi diri menjadi tiga tempat yang berbeda di dalam sungai, yaitu Nongsa, Tanjung Bemban dan dan Muka Kuning, dengan rencana untuk menghancurkan seluruh penduduk dari kapiten orang-orang Tionghoa Kanton di Rio, yang dikenal sebagai “Kwani-Haijs” atau kelompok “Moeka Mera“. …”


BAN HOK adalah kapiten China yang kaya di Tanjungpinang, pada tahun-tahun awal sejak perjanjian London 1824 antara Belanda – Inggris disepakati. Hampir tidak ada barang komoditas dagang dari warga Tionghoa di Riouw (sebutan yang biasa dilekatkan masa itu untuk Afdeeling/ wilayah yang terdiri dari Tanjungpinang secara khusus, kepulauan Bintan pada umumnya dan Kepulauan Batam serta Karimon pada masa itu, pen.) yang tidak melalui tangan pria itu. Ia menampung dan menjual kembali seluruh produk hasil kebun dan hutan di Riouw dari para tengkulak etnis Tionghoa bahkan pribumi yang ada di wilayah ini.

Perawakannya digambarkan sebagai orang yang gendut. Namun ramah terhadap semua orang. Aktifitas hariannya lebih banyak dihabiskan di pelabuhan dagang Tandjoeng Pinang masa itu. Ia mengontrol arus keluar masuk barang hasil bumi di wilayah ini.

Untuk mendukung aktifitas usahanya, Kapiten Tionghoa, Ban Hok, dilaporkan juga memiliki beberapa kapal Jung dan pukat dagang untuk menghantarkan barang hasil bumi ke wilayah lain. Misalnya ke Singapura atau Batavia.

Kota dagang Tandjoeng Pinang masa itu, disinggahi kapal-kapal dari ‘negeri di atas angin/negeri sebelah barat; India, Arab dan Eropa’, juga ‘negeri di bawah angin/ negeri sebelah timur : kepulauan nusantara, negeri Tiongkok dengan kapal-kapal jung China dari tanah leluhur pria itu.

Namun sejak perjanjian London 1824, situasinya menjadi lebih sepi. Sejak 1827, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menerapkan kebijakan pelabuhan bebas di wilayah Riouw Lingga dan negeri bawahannya. Namun, kebijakan itu belum mampu menyaingi Singapura.

Peta negeri Riouw Lingga pada potongan peta : Strait of Malacca – sheet 2/ © Horsburg – James Walker 1823 (data pengumpulan peta 1806 – 1823)/ Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Kapal-kapal dagang dari ‘Negeri di atas angin‘ lebih memilih bandar Singapura. Kebijakan pelabuhan bebas yang diterapkan pemerintah kolonial, hanya sedikit berimbas pada kegiatan lego jangkar kapal-kapal dari ‘negeri di atas angin‘ itu pada perairan di sekitar Teloek Boelan/ Boolang Bay (Teluk Tering di pulau Batam). Mereka memanfaatkan waktu tunggu bongkar muat barang dengan biaya lebih murah di teluk perairan sebelah timur Batam masa itu sebelum bergerak ke Singapura.

(Tentang aktifitas Lego jangkar kapal-kapal di Teluk Tering masa itu, bisa disimak pada artikel : Orang Tring Bumban’ di Teloek Boelan)

Peta wilayah negeri Riouw Lingga, merupakan peta yang dibuat dari pengumpulan data sejak tahun 1833 dan diterbitkan pada 1861. Dibuat oleh seorang akademisi Belanda bernama P.J. Veth. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Penerapan pelabuhan bebas di bandar Riouw dan perairan sekitarnya, diawali tahun 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Majoor CPJ Elout sebagai Residen Riouw yang juga merangkap sebagai komandan militer di Riouw (sumber : lihat Groninger courant, 25-05-1827). Majoor CPJ Elout menggantikan L. Graaf van Ranzow dan menerapkan pemerintahan militer.

Pengangkatan Majoor Elout, diduga terkait dengan pengamanan maksimum yang perlu dilakukan pada kawasan di sekitar perairan Riouw Lingga, terutama di perairan sekitar selat Singapura (Singapore Straat) yang menjadi garis pembagi wilayah kekuasaan Inggris di sisi Utara (Singapura dan Semenanjung Malaya) dan Belanda di sisi selatan (Riouw Lingga). Paska perjanjian London, gesekan kepentingan dengan Inggris masih terjadi. Misalnya pada peristiwa klaim kesultanan Johor yang didukung Inggris terhadap wilayah Karimon dan sekitarnya pada 1827.

Pengangkatan Elout kemudian disusul keluarnya resolusi Pemerintah Kolonial Belanda pada 23 September 1828 No. 14. yang menetapkan Pelabuhan di Riouw (Tandjoeng Pinang) sebagai pelabuhan bebas. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda juga ingin bersaing dengan pelabuhan bebas Singapoera yang sudah berada dalam kewenangan Inggris kala itu. Kebijakan pelabuhan bebas yang pernah diberlakukan di Singapura oleh Belanda pada masa sebelum perjanjian London, juga ditetapkan di Riouw.

Potongan peta selat Singapura pada tahun 1826 yang dibuat oleh James Horsburg/ John Batteman
( To the Honourable The Court of Directors of the United East India Company This Chart of Malacca Strait Singapore Strait and the Southernmost Promontory of Asia )

Masa awal setelah perjanjian London 1824 dengan Inggris, menjadi tahun-tahun sulit Pemerintah Kolonial dan kesultanan Riouw Lingga dalam mengupayakan perdagangan di wilayah ini. Beberapa poin hasil perjanjian dengan Inggris, membuat pihak kolonial Belanda perlu memikirkan regulasi aturan baru. Singapura, bandar ramai yang terus berkembang itu, sudah lepas dari tangan mereka. Belum lagi ancaman dari para perompak yang selalu menjadi momok yang menakutkan dan harus mereka berantas.


PENJELAJAH maritim terkenal asal Inggris, George Windsor William Earl mendeskripsikan Ban Hok sebagai orang yang menyenangkan kepada semua orang. Dalam Journal ‘The Eastern East or Voyages & Adventures in The Indian Archipelago in 1832 – 33 – 34, catatan Earl yang sempat menyinggahi Tandjoeng Pinang sekitar tahun 1834 :

“… Pada tanggal 27 Desember (1834), setelah tinggal selama empat hari di Batavia, saya naik kapal Theodora, dan ketika pagi hari berikutnya, jangkar ditarik, dan kami berlayar keluar dari pelabuhan dengan angin barat yang kuat. Dua kapal dagang Belanda, yang menuju ke Belanda, berlayar bersama kami, dan salah satunya, sebuah kapal yang indah dengan desain frigat, berlayar di samping kami dan berbicara dengan kami. Kapal itu membawa sekelompok tentara yang sakit, yang kembali ke Eropa …” demikian catatan awal William Earl, saat akan memulai pelayarannya kembali dari Batavia – Singapura dengan transit sebentar di bandar Tandjoeng Pinang.

Peta selat Riouw (Riouw Straat), dibuat oleh Z.M. Brik, seorang Officer Hindia Belanda., memperlihatkan bandar Tandjoeng Pinang dan pemukiman orang Tionghoa yang telah ada di sekitarnya. Peta diterbitkan pada tahun 1820. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Setelah berlayar selama beberapa hari melawan angin yang tidak menguntungkan, pada tanggal 31 Januari (1835), kami memasuki selat Rhio yang sempit, dan pada tanggal 2 Februari, kami berlabuh di depan bandar Belanda yang bernama sama (Rhio/Riouw/Tandjoeng Pinang, pen) di pulau Bintang (Bintan) …”

Bagian selat di mana kota ini terletak berdasar catatan Earl, memiliki penampilan seperti danau pedalaman. Di sekitarnya terdapat beberapa pulau kecil yang hijau. Rumah-rumah warga pribumi dibangun di atasnya dengan model rumah panggung pinggir pantai.

Saat tiba di bandar Tandjoeng Pinang yang juga menjadi ibukota residensi Riouw/Rhio Lingga itu, tidak ada tanda-tanda aktivitas komersial. William Earl hanya melihat sebuah kapal tunggal terletak di pelabuhan dekat kota, tetapi tidak ada awak kapal di atasnya. Pada bagian dermaga yang memiliki pelantar panjang menghubungkan ke darat, hanya terlihat beberapa awak kapal perang Belanda, yang dengan malas-malasan memperbaiki layar mereka.

“… Saya diperkenalkan oleh kapten (Kapal Theodora, pen.) kepada seorang individu yang sering saya dengar disebut dengan baik, Ban Hok. Seorang Kapiten Cina Rhio, yang keramahan dan kebaikannya diberikan tanpa membedakan negara atau warna kulit. Kami menemukannya sedang duduk di gudangnya, mengawasi pengemasan beberapa keranjang gambier, dengan seorang pelayan yang sedang meletakkan botol ale pucat merk Hodgson dan beberapa gelas di atas sebuah tong, untuk hiburan dua orang Belanda yang bersamanya saat itu.

Ban Hok, seorang pria gemuk dengan wajah yang baik hati, mendekati kami, dan setelah memberikan kami semuanya jabat tangan yang hangat, meminta kursi dan botol ale lain. Ketika kami telah mengambil minuman ini, dia pikir sudah waktunya untuk melakukan bisnis, dan karena kapten memiliki beberapa keranjang tembakau untuk dijual, kesepakatan segera disepakati. Sebuah perahu dikirim ke atas kapal untuk mengambil barang-barang. Dia tampak sangat terganggu karena kami tidak dapat tinggal untuk makan siang bersamanya, tetapi ketika dia menemukan bahwa dia tidak dapat membujuk kami untuk tinggal, sebuah tiffin yang substansial dipesan untuk kami. Ban Hok adalah, seperti yang dia layak disebut, adalah seorang pria kaya. Dia adalah pedagang utama di Rhio, sebagian besar hasil pulau ini melewati tangannya.

Setelah tinggal selama sekitar dua jam kami berpamitan, Ban Hok meminta kami untuk menjadikan rumahnya sebagai rumah kami jika kami mengunjungi Rhio lagi. Pasang surut menguntungkan kami, kami menarik jangkar segera setelah kami naik kapal, dan kami melanjutkan perjalanan kami …” (George Windsor William Earl, 1834)

Riouw, pulau Kecil yang Terpisah dari Bintan

SAAT menyusuri wilayah perairan ini, William Earl memiliki kesimpulan bahwa yang disebut pulau Bintang (Bintan), sebenarnya terdiri dari sekelompok pulau-pulau, termasuk pulau Rhio/Riouw yang menjadi lokasi bandar Tandjoeng Pinang . Begitu juga dengan Battam yang berarti wilayah kepulauan dengan pulau terbesar bernama Batam. Keduanya memiliki banyak selat sempit yang memungkinkan para perompak pribumi bersembunyi di antaranya, untuk kemudian beraksi saat mendapati target kapal dagang yang memungkinkan mereka untuk dikuasai.

Peta kuno yang dibuat oleh E. H. Van De Platt, mendeskripsikan Riouw sebagai nama pulau tersendiri yang terpisah dari pulau utama, Bintan. Wilayah Senggarang saat itu juga merupakan pulau tersendiri yang dibatasi selat kecil dengan pulau utama Bintan. Peta dipublikasi pada 1840. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Pada masa itu, wilayah perairan yang tergolong rawan aksi perompakan, salah satunya adalah jalur pelayaran dari bandar Riouw di Tandjoeng Pinang yang melewati sisi Utara pulau Batam sebelum masuk ke Selat internasional Singapura, di sekitar perairan pulau Nongsa (pulau Puteri pen.). Wilayah perairan di sekitarnya menjadi garis pembagi kekuasaan Inggris dan Belanda masa itu.

Wilayah perairan rawan lain adalah perairan di sekitar Selat Riouw dekat pulau Galang yang disebut dalam banyak dokumen Belanda dan Inggris sebagai ‘Sarang Perompak’.

Pemimpin Tionghoa di Riouw

BAN Hok, resmi dilantik jadi Kapiten Tionghoa di wilayah Afdeeling Tandjoengpinang pada 1828. Ia meneruskan peran para pendahulunya, memimpin kaumnya yang berasal dari Tiongkok di negeri ini sejak 1818. Wilayah kerjanya meliputi Kepulauan Bintang (Bintan), kepulauan Karimon dan kepulauan Batam.

Dalam catatan seorang pegawai di residen Riouw Lingga, Elisa Netscher, pelibatan orang Tionghoa dalam pemerintahan di negeri Riouw Lingga mulai dilakukan sejak tahun 1818, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memiliki peran kembali dan menjalin kesepakatan dengan pihak kesultanan dalam konteks ‘Persahabatan’.

Pada tahun 1818, Orang-orang Tionghoa di Kepulauan Riouw, kecuali mereka yang tinggal di Tandjoeng Pinang, tunduk pada yurisdiksi YamTuan Muda Riouw Lingga. Namun dalam hal terkait dengan pajak, mereka yang tinggal di seluruh Pulau Bentan masa itu, tunduk pada pengadilan residen di Riouw.

Tempat tinggal Kapiten Orang Tionghoa di Tandjoengpinang di sebelah kelenteng Tionghoa, diperkirakan di sekitar jalan Temiang kota Tanjungpinang sekarang. Merupakan potongan peta kuno yang diterbitkan sebelum tahun 1820. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Pada tahun 1818, orang-orang Tionghoa berada di bawah komando seorang kapiten bernama Tan-Hoo, dan dua orang tua-hania (pemimpin perang), yaitu Tan-Tiauw-Goean dan Tan-Tiasing. Sementara di setiap distrik (kepulauan Bintan, Karimon dan Batam), ada seorang abooi dan toeabak yang memimpin. Kapiten dan tua-hania ditunjuk oleh YamTuan Muda Riouw Lingga, sementara pemimpin seperti abooi dan toeabak ditunjuk oleh tua-hania.

“…Tidak ada gaji tetap yang diberikan kepada mereka saat itu. Namun para pemimpin Tionghoa yang menjabat, punya hak istimewa untuk menjual opium, daging babi, arak, dan lilin dalam jumlah kecil, serta memiliki rumah judi, yang digunakan untuk membiayai kebutuhan YamTuan Muda dan pejabat-pejabat kesultanan lainnya …” tulis Netscher dalam dokumen laporan : ‘Beschrijving Van Een Gedeelte Der Residente Riouw’

Pada tahun 1828, setelah perjanjian London 1824, hak-hak istimewa tersebut dihapuskan. Sistem pemerintahan Orang Tionghoa yang baru, kemudian dibentuk. Para pejabatnya digaji dan ditunjuk oleh pemerintah kolonial, dengan sepengetahuan dari YamTuan Muda Riouw Lingga.

Pada tahun 1828, ketika Ban Hok ditunjuk sebagai kapiten (Kong-Si) orang-orang Tionghoa untuk warga Tionghoa, posisi jabatan tua-hania, abooi, serta toeabak dihapuskan.

Orang-orang Tionghoa di distrik-distrik dipimpin oleh pejabat-pejabat yang digaji oleh pemerintah dengan jabatan letnan/ Touh-Keh.

Aktifitas seorang warga Tionghoa yang sedang menjemur udang untuk pembuatan terasi di depan kelenteng di jalan Merdeka Tanjungpinang, sekitar akhir 1800-an. © Troppen Museum/ koleksi pribadi

Sejak tahun 1818, beberapa orang telah menjabat sebagai kapiten (Kong-Si) orang-orang Tionghoa di Riouw dalam catatan Elisa Netscher:

  1. Ten-Hoo, kapiten orang-orang Tionghoa di Kanton (berpusat di Senggarang, Tandjoeng Pinang)
  2. Tan-Tiauw-Goean, mantan tua-hania.
  3. Tan-Ahooi.
  4. Tan-Hoo, yang kemudian digantikan oleh Oei-Banhok, sebagai kapten orang-orang Tionghoa di kelompok Tionghoa asal Hokkien yang tinggal di kota utama Tandjoeng Pinang serta orang dan Kanton di Senggarang.

Setelah kematian Kapiten Ban Hok pada tahun 1845, pemerintahan atas orang-orang Tionghoa di wilayah Afdeeling Tandjoeng Pinang (Bintan, Karimon dan Batam) dibagi. Ada dua orang Tionghoa yang ditunjuk, yakni Oei-Tiksing, sebagai kapiten orang-orang Tionghoa asal Hokkien, dan Tan-Tjie Hoe sebagai kapiten orang-orang Tionghoa asal Kanton.

Kapiten orang Tionghoa Hokkien tinggal di kampung Tionghoa di Tandjoeng Pinang. Sedangkan kapiten orang Tionghoa asal Kanton tinggal di kampung Kwanton di Senggarang.

Selain untuk Afdeeling Tandjoeng Pinang, ada juga Kapiten Tionghoa berpangkat Letnan/ Kong-Si di sebuah kampung Tionghoa di Lingga yang ditunjuk oleh sultan Riouw Lingga serta pemimpin Tionghoa di kawasan kepulauan Tujuh Anambas – Natuna yang ditunjuk pemerintah kolonial berdasarkan masukan penguasa pribumi ‘Orang Kaya’ setempat.

Orang Tionghoa dan Peran

KOMUNITAS Orang Tionghoa di negeri Riouw pada masa lalu, menyebar di banyak wilayah. Mereka dapat menyesuaikan diri dengan berbagai pekerjaan. Selain sebagai penjual makanan dan pedagang, banyak juga yang mengupayakan pembukaan kebun-kebun di wilayah ini.

Dalam sebuah dokumen Belanda: ‘Kommerzielles Hanfbuch Von Niederlandisch Indien‘, ditulis F.A. Schoeppel, disebut bahwa kelompok orang Tionghoa di Kepulauan nusantara telah ada sejak lebih dari seribu tahun.

Sebuah peta denah kuno yang diterbitkan pada tahun 1791 oleh komissioner Militer Hindia Belanda, menampilkan pemukiman orang Tionghoa yang padat di sekitar wilayah yang kini dikenal sebagai pelantar dan sekitar jalan Merdeka serta perkampungan orang Tionghoa di pulau Senggarang. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Pada awal abad ke-20, jumlah orang Tionghoa di Hindia Belanda tercatat lebih dari setengah juta orang. Mereka bahkan telah lama mengenal budaya di negeri ini.

Schoeppel mencatat bahwa gelombang migrasi orang Tionghoa pada masa awal, diduga berasal dari provinsi Fokien (distrik Tschang-tschou). Sedangkan migrasi pada abad 19 – 20, sebagian besar berasal dari pelabuhan Tsinan-tschou dan Hing-hua (juga di provinsi Fokien).

Orang Tionghoa biasanya tidak membawa wanita ke kampung halaman baru mereka di negeri Hindia Belanda, walau sering bolak balik ke negeri leluhur mereka masa itu. Kecuali mereka yang baru saja berimigrasi (Sin-kheh). Kebanyakan warga Tionghoa yang ada di Hindia Belanda menurut Schoeppel, merupakan orang Tionghoa campuran. Mereka bisa berasal dari ibu Melayu. Namun, kebanyakan lebih memilih wanita Cina campuran kelahiran negeri ini. Walau sudah ada sejak ribuan tahun di sini, mereka teguh pada adat dan tradisi leluhur.

Sebuah lukisan perayaan Cap Go Meh oleh orang Tionghoa di kampung pecinan Tanjungpinang. © Troppen Museum

Sementara itu, catatan seorang misionaris Jerman, Eberhard Herman Rottger (E.H. Rottger) – yang sempat bertugas di negeri Riouw Lingga selama lebih 5 tahun – populasi orang Tionghoa di Riouw Lingga mendominasi secara statistik kependudukan hingga mencapai 80 persen dari total penduduk pada tahun 1834 di seluruh negeri Riouw Lingga.

Di pedalaman pulau Bintan dan juga wilayah kepulauan Batam, terutama di pulau utamanya, juga didominasi oleh masyarakat Tionghoa yang menjalankan aktifitas perkebunan.

Catatan E.H. Rottger :

“… Penduduk utama Riouw adalah orang Tionghoa. Seperti di banyak tempat lain di kepulauan ini, mereka juga merupakan bagian dari roda mesin yang menggerakkan ekonomi. Tanpa orang Tionghoa, pedalaman Riouw akan menjadi hutan yang tidak dapat ditembusi; tidak ada lada dan gambir, tidak ada tanaman kopi dan rempah-rempah di sini, dan tanpa orang Tionghoa, wilayah ini hanya akan menjadi beban bagi Pemerintah Hindia Belanda …,”

Populasi orang Tionghoa di negeri Riouw Lingga pada tahun 1834 menurut Rottger sekitar 11 ribu hingga 12 ribu orang.Kebanyakan berasal dari provinsi Hokkien dan Kwantung (Kanton).

“… Orang Cina Enioy dari provinsi Hokkien dan Te-o-tsuh dari daerah pegunungan di provinsi Kwantung adalah yang terbesar daripada orang Lan-kühs (kelas bawah) dari sekitar Macao, Whampoa, Kanton, dll. Yang terakhir ini sebagian besar terdiri dari kelas pelayan, dengan nama koelie (buruh); banyak di antaranya juga merupakan tukang besi, tukang kayu, tukang batu, tukang sepatu, tukang jahit di beberapa wilayah di negeri Riouw Lingga kala itu …

Dua pemukiman orang Tionghoa di ibukota residensi Riouw Lingga di Tandjoeng Pinang. Kelompok Tionghoa Hokkien mendiami wilayah pelantar hingga kampung Pecinan (sekarang wilayah sekitar jalan Merdeka) dan Tionghoa Kanton mendiami wilayah Senggarang. © Peta dibuat oleh J.J.A.D Phaff dan R.P. Struick dan diterbitkan pada 1860. National Archief Netherland/ koleksi pribadi.

Sesuai pengaturan sistem pemerintahan di Riouw Lingga pada masa setelah perjanjian London 1824 antara Inggris – Belanda, Orang Tionghoa di Riouw Lingga diatur dan dipimpin oleh seorang warga Tionghoa yang diangkat pemerintah Residensi Belanda dalam jabatan perwira. Seperti halnya, Ban Hok yang menjadi pemimpin Tionghoa di wilayah Afdeeling Tandjoeng Pinang masa itu (wilayahnya meliputi kepulauan Bintan, Batam dan Karimon, pen.). Jabatannya Kapitan (Kong-Sie).

Selain Ban Hok, seorang perwira Tionghoa berpangkat kapiten masa itu, juga ditunjuk untuk wilayah Kepulauan Lingga. Sementara untuk membantu keduanya, ada sekitar 8 perwira Tionghoa berpangkat letnan yang ditempatkan di masing-masing Afdeeling (Onder), termasuk di Kepulauan Batam.

Para perwira Tionghoa, menurut laporan Hendri Borel dalam dokumen : ‘De Chineezen in Netherlandsch Indie‘, dianggap serupa pegawai kolonial Belanda karena mereka digaji oleh pemerintah kolonial. Berbeda dengan pemerintahan kesultanan yang menangani pribumi, dimana tanggung jawab keuangan untuk penggajian berada di pihak kesultanan melalui tunjangan tahunan yang diberikan Belanda kepada Sultan dan YamTuan Muda. Kesamaannya, kedua model tata kelola, baik pribumi dan Tionghoa, dikontrol oleh sistem pemerintahan kolonial Belanda. Mulai dari tingkatan Residen, Asisten Residen hingga Controleur.

Tugas pejabat Tionghoa sebagai pelindung warga Tionghoa dan menangani permasalahan warga mereka, juga mencatat jumlah populasi orang Tionghoa di wilayah residensi Belanda. Dalam bertugas, mereka dibantu oleh lembaga yang disebut Dewan China (China Raad) untuk mengelola dana kematian, pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah, pengadaan fasilitas umum untuk kegiatan usaha warga Tionghoa hingga menerbitkan kartu izin pernikahan.

Dewan Cina ini juga bergabung dalam Dewan Residensi Riouw Lingga (residentieraad) dan mulai efektif berjalan pada tahun 1832.

Dewan (residentieraad) sendiri terdiri dari para pejabat Belanda, Sultan dan para pemimpin komunitas seperti Cina, India dan lainnya. Meski dewan ini dipimpin langsung Residen, tetapi keputusan-keputusan yang dibuat, diharap akan membantu program-program yang akan dijalankan pemerintah Residensi Riouw masa itu.

Wilayah Pecinan di bandar Tandjoeng Pinang sekitar abad ke-19. © National Archief Netherland/ koleksi pribadi

Dalam struktur pemerintahan Orang Tionghoa yang dibentuk Belanda saat itu, seorang Kepala Tionghoa dengan nama Kong-Si (Kapiten), dalam tugasnya juga dibantu para pemimpin distrik (Touh-Keh/Letnan) dari enam belas distrik di seluruh wilayah negeri Riouw Lingga masa itu. Kapiten Cina seperti Ban Hok menerima gaji dari Pemerintah Belanda sebesar ƒ2400. Sementara masing-masing pemimpin distrik menerima ƒ500 hingga ƒ600 per tahun, sebagai imbalan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di distrik mereka. Kong-Si juga duduk di Dewan Daerah (Cina Raad) ketika kepentingan orang Tionghoa dibahas di pemerintahan residensi Riouw Lingga.

Orang Tionghoa Menembus Belantara Batam

SECARA umum, wilayah kepulauan Batam, terutama di pulau utamanya, hanya dihuni di wilayah bagian pesisir pada sekitar abad 18 hingga 19. Sementara di bagian pedalaman, dihuni oleh kelompok yang dikenal sebagai suku hutan (Orang Sabimba, Muka Kuning dan Tring Bumban‘) yang mengupayakan belantara Batam dengan cara sederhana; memanfaatkan apa yang ada di hutan tanpa membuat kebun-kebun.

Peta Kepulauan Batam dan Bintan terbitan tahun 1846 yang dibuat oleh J.D. Lange. © Universiteit Leiden/ koleksi pribadi

Jumlah penduduknya relatif jarang dibanding kepulauan Bintan, dimana salah satu lokasinya, Tandjoeng Pinang telah dijadikan bandar dagang sejak abad 18.

Pembukaan wilayah perkebunan di pulau Batam oleh orang Tionghoa, mulai massive dilakukan sejak pembentukan tata pemerintahan orang Tionghoa di negeri Riouw Lingga di era setelah perjanjian London 1824.

Pada era kepemimpinan Ban Hok, paling tidak sudah ada beberapa wilayah Orang Tionghoa di pulau utama kepulauan Batam.

Seorang Etnolog Belanda di awal abad 20, Hendrik Blink (H. Blink) menyebut orang Tionghoa sebagai kelompok masyarakat dominan yang ada di Batam, Rempang dan Galang masa itu. Baik secara ekonomi, maupun populasi.

Pulau-pulau tersebut memperoleh arti penting ekonominya dari orang Tionghoa, yang merupakan populasi utama“, catat H. Blink Dalam buku berjudul : ‘Netherlandch Oost En West Indie – Geographisch, Ethnogeaphisch En Economisch Beschreven’, terbitan Boekhandel En Brukkerij voorheen Leiden, 1907.

Awalnya, pembukaan lokasi dilakukan di sekitar wilayah hutan dekat pesisir Batam, mengingat masih sulitnya akses untuk menembus belantara hutan di pulau itu. Orang Tionghoa biasanya menembus hutan-hutan Batam yang kemudian menjadi aksesnya, melalui bagian sungai dan anak-anak sungainya. Jalur sungai dan anak sungai itu juga yang diikuti seorang peneliti asal Inggris, James Richardson Logan serta John Turnbull Thomson beberapa bulan setelah kunjungan Logan. Mereka berkunjung ke hutan Batam pada tahun 1846.

Pada tahun-tahun tersebut, kelompok orang Tionghoa disebut telah menghuni wilayah hutan di beberapa pesisir Batam hingga lebih ke tengah. Ada kawasan Tan Bo Sie (Tembesi), Doeriangkang dan Moeka Koening.

Penyebutan nama-nama wilayah itu pada peta-peta kuno, berawal dari kebiasaan penyebutan lokasinya oleh warga setempat, untuk menunjukkan lokasi tempat tinggal dan kebun-kebun orang Tionghoa di Batam. Wilayah Tan Bo Sie yang kemudian berubah jadi Tembesi, diduga berawal dari nama orang Tau-Keh Tionghoa yang membuka hutan di wilayah itu pertama kali. Penyebutan wilayah ‘Moeka Koening‘ oleh orang setempat di Batam masa itu, diduga berawal dari pembukaan hutan untuk perkebunan oleh orang Tionghoa dari kelompok ‘Moeka Koening‘.

Masa itu, Orang Tionghoa hidup berkelompok-kelompok di negeri Riouw. Selain karena kesamaan asal seperti Tionghoa Hokkien dan Tionghoa Kanton, mereka juga berkelompok atas dasar kesamaan kepentingan. Selain kelompok ‘Moeka Koening‘ , beberapa kelompok serupa juga ditemui, misalnya kelompok ‘Moeka Itam‘ yang banyak terkonsentrasi di wilayah Singapura dan sebagian kecil Tandjoeng Pinang serta kelompok ‘,Moeka Mera‘ yang mulai merambah hutan bagian timur pulau Batam.


PADA bulan April 1856, dilaporkan telah terjadi kerusuhan antar kelompok Tionghoa di Batam. Kerusuhan dipicu hak konsesi lahan untuk perkebunan di pulau ini. Area hutan Batam saat itu mulai ramai dilirik untuk dijadikan lokasi perkebunan terutama Gambir, setelah area wilayah di pulau Bintan dianggap mulai tidak produktif untuk menanam tanaman tersebut.

Menurut laporan peristiwa yang disampaikan pejabat dalam negeri Kolonial Belanda, Baron Van Hoevel pada bulan juli 1856, kerusakan dipicu rasa tidak puas perkumpulan Tionghoa yang dikenal sebagai “Tinteh-Kay” atau “Moeka Itam“, yang memiliki cabang-cabang di Keresidenan Rio dan sekitar Singapura atas hak konsesi yang diperoleh kelompok Tionghoa lain “Kwani-Haijs” atau “Moeka Mera” yang menggarap lokasi di sekitar hutan Sei Panas Batam.

Berikut laporannya :
“… Pada tanggal 10 April, mereka menerima laporan yang mengkhawatirkan tentang sikap suatu perkumpulan orang-orang Tionghoa yang dikenal sebagai “Tinteh-Kay” atau “Moeka Itam”, yang memiliki cabang-cabang di Keresidenan Rhio dan sekitar Singapura. Mereka yang tergabung dalam perkumpulan tersebut telah merencanakan untuk menyerang dan menghancurkan orang-orang Tionghoa lainnya di Rhio, yang dikenal sebagai “Kwani-Haijs” atau “Moeka Mera“.

Wakil Residen Riouw, yang pertama kali menerima laporan tersebut, tidak hanya memberitahukan hal tersebut kepada Residen, tetapi juga kepada Tumenggung di Singapura, yang juga diminta untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerusuhan orang-orang Tionghoa dari Singapura dan terutama di Johor, di mana, menurut rumor, sudah ada 5.000 orang Tionghoa yang bersenjata berkumpul untuk menyerang wilayah Belanda …”

Namun menurut Baron, laporan tersebut datang terlambat di Singapura untuk mencegah kedatangan kelompok Tionghoa “Moeka Mera” ke Batam. Beberapa ribu orang Tionghoa dari Singapura dilaporkan telah mendarat di wilayah Moeka Koening (kawasan yang digarap kelompok Tionghoa berbeda, pen), Nongsa, Tring, dan Tanjung Bemban.

Mereka mulai membunuh dan menghancurkan perkebunan gambir dan lada di Batam.

Laporan Baron, aksi perusakan dan pembunuhan terhadap kelompok Tionghoa “Moeka Mera” di wilayah hutan Sei Panas Batam, telah berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum Wakil Residen di Tandjoeng Pinang dan YamTuan Muda dapat mengumpulkan orang dan mengatasi kerusuhan itu, pemberontak telah melakukan kerusakan besar di wilayah timur hutan Batam.

Ekspedisi penumpasan yang ditulis Baron ‘terburu-buru’, akhirnya dikirimkan ke Batam di bawah Hadji Ibrahim yang merupakan saudara laki-laki yang Dipertuan Muda Riouw masa itu.

Menurut laporan dari kepala kampung Nongsa di Batam saat itu, Raja Yakub, sudah ada 3.000 orang Tionghoa dari Singapura yang mendarat di sana. Mereka telah membagi diri menjadi tiga tempat yang berbeda di dalam sungai, yaitu Nongsa, Tanjung Bemban dan dan Muka Kuning, dengan rencana untuk menghancurkan seluruh penduduk dari kapiten orang-orang Tionghoa Kanton di Rio, yang dikenal sebagai “Kwani-Haijs” atau kelompok “Moeka Mera“.


SEIRING makin berkembangnya area perkebunan di pulau utama kepulauan Batam oleh Orang Tionghoa pada pertengahan hingga akhir abad 19, mereka mulai merintis pembangunan jalur darat sederhana sebagai penghubung agar bisa membawa hasil kebun dengan lebih efektif. Penggunaan jalur yang memanfaatkan sungai dan anak-anak sungai di pulau Batam menjadi kurang memadai seiring meningkatnya hasil produksi. Perluasan wilayah perkebunan hingga ke bagian tengah pulau, membuat kebutuhan jalur darat menjadi penting.

Berdasar publikasi dari ‘Het Kolonial Weekblad’ tanggal 31 Mei 1923, seorang Tionghoa bernama Tuan Khouw Pek Siang menjabat sebagai letnan Tionghoa di Batam pada tahun 1895 dan dipromosikan menjadi kapten pada tahun 1900 untuk menangani aktifitas orang Tionghoa di Kepulauan Batam dan sekitarnya.

Peta Riouw Lingga : Kaart der residentie Riouw met onderhoorigheden, aangrenzende deel van Sumatra’s Westkust en schiereiland Malakka/ Versteeg W. F. – 1871

Awalnya, mereka membuat jalur setapak penghubung antara lokasi-lokasi perkebunan. Seperti misalnya dari area perkebunan Asiamkang di hutan bagian timur Batam, menuju ke teluk Tring dekat kampung Belian. Juga jalan setapak penghubung ke area perkebunan lain di wilayah Duriangkang.

Lambat laun, hampir seluruh wilayah area perkebunan milik orang Tionghoa di sana menjadi terhubung di daratan pulau Batam. Dengan tersambungnya akses jalan darat di Batam masa itu, memudahkan pengangkutan hasil kebun ke dermaga-dermaga tradisional di pesisir pulau Batam, untuk selanjutnya, bisa dibawa ke ibukota Tandjoeng Pinang atau dijual langsung ke Singapura. Aktifitas mereka ini, dikoordinir oleh pemimpin, seorang letnan (Tau-Keh) yang berkedudukan di pulau Boeloeh masa itu.

Kelak, jalan-jalan setapak yang dirintis orang Tionghoa di pulau Batam, menjadi jalur pembuka pada masa pengembangan pulau Batam oleh Pertamina dan Badan Otorita Batam pada 1970-an. Hingga akhirnya, berkembang menjadi ruas-ruas jalan utama seperti sekarang.

Kepulauan Batam Di Awal Abad 20

GAMBIR merupakan komoditas yang penting untuk diperdagangkan di negeri Riouw pada abad ke-18 hingga akhir 19. Tidak saja digunakan sebagai salah satu bahan untuk mengonsumsi sirih dalam kebudayaan Melayu,
tetapi juga penting sebagai zat pewarna kain, “penyamak kulit”, obat-obatan, dan getahnya untuk keperluan industri lain.

Aktifitas pengeringan Gambir di kampung Tionghoa di Tandjoeng Pinang, sekitar tahun 1915 – 1930. Hasil Gambir dari perkebunan di Batam, biasanya dibawa ke bandar Tandjoeng Pinang selain dijual langsung ke Singapura. © F. Troppen Museum Netherland

Tingginya kebutuhan gambir, terutama oleh negara-negara di Eropa, menyebabkan permintaan gambir di pasaran makin meningkat. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda bersama pihak kesultanan Riouw Lingga, banyak memberikan hak konsesi pengolahan wilayah untuk perkebunan. Terutama kepada warga Tionghoa. Di pulau Batam, berhektar-hektar lahan hutan berubah menjadi area kebun. Begitu juga di pulau-pulau sekitarnya. Seperti pulau Bulang dan Kepala Jeri.

Namun, era perkebunan Gambir dan lada di banyak wilayah di negeri Riouw Lingga, mulai menurun pada awal abad ke-20. Penyebabnya hampir sama dengan yang terjadi di wilayah pulau Bintan pada pertengahan abad-19, tanah-tanah yang ditanami Gambir menjadi tidak subur lagi setelah digarap dalam rentang beberapa periode.

Banyak lahan yang kemudian menjadi tidak produktif lagi di Batam masa itu.

Booming karet di awal abad 20, membuat banyak kebun Gambir dan lada di negeri Riouw Lingga, termasuk Batam, mulai dialihkan menjadi kebun karet. Warga Tionghoa banyak yang kemudian beralih menanam karet. Pada era tanaman karet di Batam, kebun-kebun masih didominasi orang Tionghoa di bagian pedalaman. Sementara Pendatang asal Selayar dan Buton mengupayakan tanaman karet di wilayah pesisir. Penduduk asli Melayu tetap mengupayakan kehidupan dari laut di sekitarnya, selain memiliki sejumlah kebun kelapa.

Penorehan getah yang masih dilakukan masyarakat di Kepulauan Riau masa sekarang. © F. Steijlen, Fridus – 2012

Menjelang tahun 1920-an, wilayah pulau Batam banyak didominasi kebun karet. Begitu juga di pulau Bintan.

Selain digarap oleh Orang Tionghoa dan penduduk pribumi, pemerintah kolonial juga mulai menggarap area di sekitar kepulauan Batam dengan mendatangkan para pekerja asal pulau Jawa, terbanyak dari Jawa bagian barat. Seperti misalnya di pulau Kepala Jeri. Sementara pulau Bulang, diupayakan dengan hak konsesi oleh pengusaha Tionghoa asal Singapura. Sementara di pulau Batam, mereka menggarap kebun karet melalui Maatschappij Soengei Penaran Rubber Estate mulai Februari 1911, bekerjasama dengan pengusaha asal Singapura, A.M. Sarkies.

Potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Dokumentasi foto udara yang diambil pemerintah kolonial pada era tahun 1941 – 1945 di wilayah Batam pada peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9, menampilkan kondisi demografi wilayah Batam bagian timur dengan titik-titik pemukiman warga dan area usaha perkebunan yang makin meluas. Peta dibuat pada masa 1941 – 1945, menggabungkan data yang didapat melalui foto udara dan pendataan wilayah kependudukan oleh pemerintah kolonial masa itu.

Pesisir timur pulau Batam pada potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Di wilayah pesisirnya, mulai dari kampung Nongsa, kampung Teloek Mata Ikan, kampung Tanjung Bemban, Batu Besar, Tanjung Gedabang, kampung Jabi, Pangkalan Api, kampung Panau hingga Kabil, banyak dihuni pribumi Melayu. Mereka mengupayakan kebun kelapa dengan mata pencarian utama dari laut. Belum ada akses jalan terhubung antar kampung. Hubungan sosial dan ekonomi antara warga di kampung-kampung ini lebih banyak dilakukan melalui jalur laut. Ada beberapa orang Tionghoa yang juga mendiami wilayah kampung-kampung orang pribumi di sini.

Di kampung orang pribumi, mereka biasanya mengupayakan toko kelontong/ warung runcit atau menjadi tengkulak hasil laut.

Di kampung Poenggoer yang dihuni lebih banyak orang Tionghoa, sudah ada jalan setapak terhubung ke bagian daratan pulau Batam, menghubungkan ke lokasi perkebunan karet milik Chutem Kiam yang meluas hingga Kabil. Menurut seorang pegawai Belanda, P. Wink dalam catatannya tahun 1929, wilayah kampung Poenggoer juga sempat dijadikan ibukota District (setara kecamatan) Batam pada era setelah pembubaran sistem pemerintahan Afdeeling (Onder) Batam yang berpusat di Pulau Bojan pada 1907. Namun pada sekitar tahun 1922, ibukota District Batam di Poenggoer dirasa tidak diperlukan lagi, seiring mulai ditunjuknya kembali pejabat pribumi untuk mengisi model pemerintahan keamiran di pulau Boeloeh untuk mengelola sistem pemerintahan setingkat kecamatan di Kepulauan Batam.

Wilayah kampung Djodoe, Batu Ampar, Sengkuang, Bengkong dan perairan sekitar teluk Tering pada potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Pada peta yang sama, sisi berbeda di pesisir, mulai dari utara ke arah timur; terlihat kampung Djodoe, kampung Batu Ampar (di lokasi yang dikenal sebagai Batu Merah saat ini), kampung Sengkuang dan Bengkong. Sementara di sekitar teluk Tering terlihat kampung Belian, Senggunung, kampung Sambau dan Bakau Serip (pada peta tertulis : Bakau Slit). Ini merupakan kampung-kampung warga pribumi pendatang. Sejak awal abad 20 (kecuali warga di kampung Belian), penduduk kampung-kampung wilayah ini didominasi pribumi asal Selayar, Buton, Nusa Tenggara dan sedikit warga asal pulau Boyan dari Jawa Timur.

Kampung tempat tinggal mereka banyak yang beririsan dengan wilayah perkebunan Orang Tionghoa di bagian timur Batam.

Di sekitar kampung Bengkong, ada perkebunan karet dan pemukiman orang Tionghoa bernama Lim Hoa, Aufugi dan Hakoin yang membangun alur jalan setapak di wilayah mereka untuk kepentingan pengangkutan hasil kebun. Jalan setapaknya mengarah hingga ke wilayah Sungai Panas yang dikelola oleh Tiotin, Tenji dan Sosiut, berlanjut ke Teloek Djodoe, tempat tinggal Tenji dan Si Tam.

Wilayah sekitar Batam Centre pada potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Di wilayah Batam Centre, dekat Tanjung Lamun (Ocarina saat ini), terdapat area perkebunan karet milik pribumi bernama H. Charit yang terhubung jalan setapak ke lokasi orang Tionghoa bernama Henseteyon (lokasi di sekitar bundaran Madani Batam Centre saat ini), Lien (di sekitar bukit Klara).

Wilayah sekitar Duriangkang pada potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Sementara di wilayah sekitar Duriangkang, area perkebunan Orang Tionghoa lebih ramai lagi. Ada milik Chakanchang, Tanhatmo, Tanayu, Tiosran hingga ke wilayah Duriangkang. Area perkebunan di sini terhubung ke jalan setapak ke lokasi Kangboi, yang sepertinya merupakan lokasi penumpukan hasil karet.

Pembukaan wilayah hutan-hutan Batam bagian timur oleh Orang Tionghoa masa lalu, dilakukan melalui jalur Duriangkang, wilayah perairan Teluk Tering dan juga di Teluk Jodoh. Sementara di bagian barat melalui Tanjung Piayu, Tembesi, Sagulung, Batuaji dan perairan sekitar Mentarau (Tiban).

Bentangan jalan yang dibuat oleh orang Tionghoa pada potongan peta berjudul : Riouw Archipelago Sheet 9 dengan data yang dikumpulkan melalui foto udara pada periode 1941 – 1945. Diterbitkan pada tahun 1947. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

Ada yang menarik dari data foto udara yang dikonversi dalam bentuk peta yang dipublikasi pada 1947 ini. Sebuah ruas jalan utama yang lebih besar, sudah terbentang dari arah Sei Panas hingga ke bagian barat Batam, melewati wilayah Moeka Koening hingga ke Sagulung. Di sekitar Mukakuning, beberapa warga Tionghoa yang bermukim di antaranya : Sing Joe Hing, Ah Tai, Sen Kui Ho.

Ruas jalan utama itu menjadi penghubung jalan setapak dari berbagai lokasi perkebunan di wilayah Utara pulau Batam hingga ke arah barat.

Di masa sekarang, bentangan jalan yang dirintis oleh mereka, dikembangkan hingga menjadi ruas jalan utama : Laksamana Bintan – Letjend Ahmad Yani – Letjend Suprapto, dari Sungai Panas hingga wilayah Sagulung.

(*)

Cover: Sebuah lukisan perayaan Cap Go Meh oleh orang Tionghoa di kampung pecinan Tanjungpinang masa lalu. © Troppen Museum

Lampiran

Foto : Peta negeri Riouw Lingga tahun 1860, disusun oleh P. Baron Melvill Van Carnbee dan W.F. Versteeg. © Universiteit Leiden Netherland/ koleksi pribadi

About Author /

Admin

2 Comments

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search

Silahkan bagikan konten ini.