“Orang Moeka Koening di Hutan Batam”
“Batin bernama Pajar, yang tinggal di Pulo Loban (Lobam, Bintan pen.), dipercaya oleh YamTuán Mudá dari Rhio untuk mengurus suku ini. Ia mengunjungi mereka dari waktu ke waktu, membawa beras dan barang-barang lain, dan menerima imbalan berupa hasil hutan yang mereka kumpulkan untuknya. Mereka dilarang berdagang dengan orang lain di bawah ancaman hukuman berupa dijatuhkan ke dalam air …” (Logan, 1847).
… Jika kita menyusuri hutan di sekitar wilayah ini sekarang, kita akan sampai pada sebuah lokasi yang dikenal sebagai ‘Telaga Bidadari’. Aliran sungai kecil dari lokasi ini mengalir ke pangkalan antara Sungai Mukakuning dan Sungai Sa Raya yang kini berubah jadi waduk tadah hujan, Dam Mukakuning.
JUMLAH mereka sekitar 50 orang pada tahun 1846. Orang Muka Kuning yang tinggal di hutan belantara bagian tengah pulau Batam, berasal dari moyang yang sama dengan Orang Sabimba yang mendiami hutan di sisi barat daya dan Orang Tring Bumban’ di wilayah timur pulau yang sama. Sama-sama menggunakan senjata sumpitan untuk berburu, berpantang makan ayam serta takut menenggelamkan kepala ke dalam air.
Menurut Peneliti Inggris, James Richardson Logan yang mengunjungi mereka pada tahun 1846, tempat hidup Orang Moeka Koening (Muka Kuning) relatif jauh dari laut. Ia perlu menempuh perjalanan dengan menyusuri anak sungai Sa Raya, yakni Sungai Muka Kuning di hutan belantara Batam.
Catatan J.T. Logan dalam “Journal Of The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume I, diterbitkan oleh Singapore Print At Mission Press, 1847 : The Orang Muka Kuning”:
“Suku ini tinggal di hutan-hutan di sepanjang Sungai Sa Raya atau lebih tepatnya di anak sungainya, Sungai Muka Kuning, yang bergabung dengan Sungai Sa Raya dari sebelah kiri, sekitar lima jam perjalanan dari mulut sungai. Setelah menaiki Sungai Muka Kuning sekitar empat jam, kita akan mencapai Pankallan Sungai Raya, dari mana berjalan kaki selama lima jam akan membawa kita ke kampung-kampung Orang Utan atau manusia hutan …”
Lokasi aliran Sungai Muka Kuning yang menjadi lokasi hidup ‘Orang Moeka Koening masa lalu, diperkirakan berada di sekitar hutan Bukit Daeng masa kini.
Jika kita menyusuri hutan di sekitar wilayah ini sekarang, kita akan sampai pada sebuah lokasi yang dikenal sebagai ‘Telaga Bidadari’. Aliran sungai kecil dari lokasi ini mengalir ke pangkalan antara Sungai Mukakuning dan Sungai Sa Raya yang kini berubah menjadi waduk tadah hujan, Dam Mukakuning. Di lokasi ini kemungkinan menjadi tempat hidup orang Moeka Koening di masa lalu.

Catatan Logan pada kunjungannya tahun 1846, mereka mendiami gubuk-gubuk yang tersebar di hutan sekitarnya. gubuk-gubuk kecil mereka terletak di bawah pohon-pohon. Lantainya dari kayu-kayu kasar yang disusun berjejer dan ditopang empat tiang setinggi sekitar tiga kaki. Atap kediaman mereka terbuat dari daun sirdang yang ditumpuk langsung di bagian atasnya, tanpa dinding perantara. Gubuk mereka terbuka di kedua ujungnya dan tidak memiliki tangga atau pintu.
Pria-pria suku ini sebagian besar mengenakan chawat dari kulit tirap. Sementara wanitanya mengenakan sarung pendek dari kain.
Mereka tidak menanam tanaman atau memelihara hewan kecuali anjing. Dengan bantuan anjing-anjing ini, dan dengan menggunakan sumpitan, siligi atau tombak dari kayu nibung, kapak, palu, serta pisau, mereka memperoleh makanan sehari-hari di hutan dengan cara berburu. Orang Moeka Koening juga mengumpulkan rotan, dammar, serta kayu agala, yang mereka tukar dengan beras, kain, alat-alat, tembakau, dan garam dari kelompok masyarakat lain yang secara berkala rutin mengunjungi mereka.
Suku Orang Moeka Koening, seperti disebutkan Logan, relatif bisa berinteraksi dengan orang luar dari kelompok mereka, walau tetap memutuskan untuk mengisolasi di hutan-hutan Batam.

Asal-usul kelompok ini, bisa disimak pada artikel : “Mereka yang Bersumpah Jadi Terasing di Tanah Batam“
Kehidupan Orang Moeka Koening di Hutan Batam
SEPERTI halnya Orang Sabimba yang tinggal di hutan sekitar teluk Senimba dan orang Tring Boemban’ di hutan sekitar teluk Tering, orang Moeka Koening juga berpantang makan unggas ayam. Ketiga kelompok masyarakat yang diduga berkerabat dengan asal usul sama, dari tanah Celebes itu, juga berpantang membenamkan kepala ke dalam air. Dalam keyakinan mereka, aktifitas itu dapat mendatangkan bala bagi individu dan kelompok mereka.
Peneliti James Richardson Logan yang sempat menemui mereka pada 1846, mendapati informasi bahwa seorang Batin Melayu rutin mengunjungi mereka dari waktu ke waktu untuk menagih hasil bumi yang mereka kumpulkan.
“Batin bernama Pajar, yang tinggal di Pulo Loban (Lobam, Bintan pen.), dipercaya oleh YamTuán Mudá dari Rhio untuk mengurus suku ini. Ia mengunjungi mereka dari waktu ke waktu, membawa beras dan barang-barang lain, dan menerima imbalan berupa hasil hutan yang mereka kumpulkan untuknya. Mereka dilarang berdagang dengan orang lain di bawah ancaman hukuman berupa dijatuhkan ke dalam air …” (Logan, 1847).
Hukuman itu begitu menakutkan bagi orang Moeka Koening. Ketakutan yang sama juga dirasakan kelompok orang Sabimba dan Tring Boemban’. Bagi mereka, lebih baik dibunuh secara langsung daripada harus menjalani hukuman dijatuhkan ke dalam air.
“Untuk 1000 rotan, mereka menerima 4 gantang beras kasar; untuk 100 obor dammar, 6 gantang; dan untuk satu keranjang (14 kaki dalam dan lebar) kayu agila, 4 gantang. Mereka memiliki konsep yang kabur dan terdistorsi tentang Pencipta dari orang Melayu pada umumnya …“
Orang Moeka Koening yang tinggal di hutan Batam, dalam penilaian Logan, memiliki konsep kepercayaan yang agak berbeda dengan orang Melayu pada umumnya yang tinggal di pesisir. Konsep keyakinan mereka sepertinya dipengaruhi oleh kebudayaan proto Melayu sebelum mengenal Islam.
Dalam hal pernikahan pada kelompok ini, mereka biasanya akan menikahkan anak perempuan ketika payudaranya telah muncul. Ketika pernikahan telah disepakati, orang tua pengantin pria akan mengirimkan kepada orang tua pengantin wanita 3000 rotan, sepotong kain pelindung tubuh, dan dua cincin perak. Pernikahan berlangsung di rumah pengantin wanita, di hadapan seorang Batin dan beberapa tamu.
“…Mereka duduk berdampingan dan diminta untuk bergandengan tangan, sementara orang tua mereka menasihati mereka untuk saling baik dan menghindari perselisihan. Kemudian diadakan pesta, di mana pasangan baru menikah makan dari piring yang sama atau daun yang sama. Nyanyian dan tarian ke rabana mengikuti. Batin menerima hadiah 2000 rotan. Jika suami tidak puas dengan istrinya, dia dapat mengembalikannya kepada orang tuanya, dan setelah berlalu satu bulan, pihak-pihak dapat membentuk koneksi lain. Poligami tidak dikenal. Anak-anak dari saudara laki-laki tidak dapat menikah. Bidan atau dukun yang membantu pada saat kelahiran, akan menerima 4000 rotan…“
Pada proses persalinan kedua, dukun akan memperoleh bayaran 3000 rotan, 2000 pada kesempatan ketiga, dan 1000 pada kelahiran berikutnya. Satu-satunya obat yang diberikan untuk segala macam keluhan sakit yang dialami kelompok ini adalah ramuan kulit kayu pangar untuk ibu, dan ramuan akar untuk anak.
Dalam tradisi kematian, orang Mukakuning yang meninggal akan dikuburkan dekat rumah mereka. Jasad akan dimasukkan dalam sebuah liang sedalam lebih kurang 1,5 kaki bersama senjata atau alat bertahan hidup sehari-hari yang mereka miliki. Sumpitan berburu untuk laki-laki dan pisau untuk wanitanya.
“… Sekitar sebulan setelah penguburan, keluarga meninggalkan gubuk dan membuat yang baru di tempat yang jauh. Wajah satu-satunya laki-laki suku yang saya lihat berbentuk belah ketupat, dan dalam hal ini, dan panjang dan bentuk rahang bawah serta bentuk bagian bawah wajah, mendekati orang Biduanda Kálláng …”

Dalam penjelajahan yang dilakukan oleh seorang peneliti lain, C. Bodden Kloss pada 1906, ia menyebut jumlah ‘Orang Moeka Koening’ saat itu berkisar 100 orang. Hanya tinggal kelompok itu yang tersisa di pedalaman Batam. Sementara dua kelompok lain dari bagian suku tersebut; Orang Sabimba dan Tring Boemban’, dilaporkan telah punah.
Nama ‘Orang Moeka Koening’ menurut Klosse, tidak dikenal oleh masyarakat setempat. Di sekitar lokasi hutan itu, orang tempatan menyebut mereka sebagai ‘Orang Utan’.
Penyematan nama ‘Orang Moeka Koening’ oleh J.T. Logan dalam kunjungannya pada 1846, dalam perkiraan Klosse, didasari nama tempat atau hutan tempat mereka bermukim.
“Namun, di pedalaman Batam masih ada suku yang hampir tidak terjamah, yang meskipun pulau ini kecil dan mereka adalah nomaden, tidak pernah turun ke laut. Mereka tampaknya adalah “Orang Moeka Koening” seperti yang disebutkan Logan (suku lainnya, Treng-Boemban tampaknya telah mengalami nasib yang sama dengan Sabimba), meskipun nama tersebut tampaknya tidak dikenal oleh masyarakat pesisir …” (C.Bodden Klosse – 1906)
Asal Nama Mukakuning
NAMA hutan Mukakuning yang menjadi tempat tinggal orang ‘utan’ Moeka Koening di Batam pada masa lalu, diduga merupakan penyebutan yang disematkan orang setempat terhadap lokasi perkebunan Orang Tionghoa masa itu.

Pada masa yang kurang lebih sama dengan kehidupan mereka yang tinggal mengisolasi di hutan sekitarnya, pada sekitar aliran sungai yang berdekatan dengan pesisir laut, juga menjadi tempat bermukim sekelompok orang Tionghoa dari kelompok ‘Moeka Koening’ (Huan Mian Zu). Mereka mengupayakan hutan sekitarnya sebagai lahan perkebunan.
Dalam catatan gubernur jenderal Hindia Belanda, Jan Jacob Rochussen pada 1847, ia juga menyebut wilayah Muka Kuning di Batam sebagai lokasi pemukiman Orang Tionghoa. Dalam catatannya, ia menyebut telah terjadi penyerangan oleh sekelompok Tionghoa dari Singapura terhadap orang Tionghoa yang mendiami wilayah itu di Batam.
Sementara dalam catatan pejabat dalam negeri Kolonial Belanda, Baron Van Hoevel pada bulan juli 1856, nama ‘Moeka Koening’ juga disebutkan beriringan dengan nama kelompok Tionghoa lain di masa itu, yakni kelompok “Tinteh-Kay” atau “Moeka Itam” dan kelompok Tionghoa “Kwani-Haijs” atau “Moeka Mera” saat terjadi kerusuhan lanjutan antar orang Tionghoa di wilayah Sei Panas, Batam.
Mengenai ini, bisa disimak pada artikel : ‘Tionghoa di Negeri Riouw‘.
Sementara kelompok Tionghoa berbeda, Moeka Mera (Kwani-Haijs),
diduga telah datang dan membuka wilayah bagian timur Batam, dekat Teluk Tering di Sungai Panas, paska kesepakatan kerjasama Kolonial Belanda – Kesultanan Riouw Lingga pada 1818. Mereka dimobilisasi oleh kapiten Tionghoa saat itu, Tan Hoo.

Namun, hanya nama kelompok Tionghoa Moeka Koening yang kemudian identik dan jadi penyebutan nama wilayah di Batam; Muka Kuning. Kelompok Moeka Mera yang menghuni bagian timur pulau Batam, tidak identik menjadi nama wilayah karena lokasi tempat tinggal kelompok itu sudah lebih dulu dikenal orang sebagai : Sei Panas.
(*)
Lampiran :

“Orang Moeka Koening di Hutan Batam” - GoWest.ID
3 minggu ago[…] Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com […]