Kilas Sejarah Bandara Hang Nadim; “Dari Tanjung Uncang, Berharap Lufthansa”

Saya pertama ke Batam tahun 1983, akhir. Saya ingat, saat itu bertepatan dengan pembentukan pemerintah kota Batam, tanggal 24 Desember 1983

Wah, dari triplek. Sedih rasanya saat itu“. (Fitrah Kamaruddin – 2017).

Batam Will be able to run on its own and we will propose to the president to proclaim this island a province with a special status“. (B.J. Habibie – The Straits Times, 24 November 1988).


PEMBANGUNAN Bandara Hang Nadim tahap (Phase) III, disepakati untuk dikerjakan oleh konsorsium perusahaan asal Jepang, Korea Selatan dan Indonesia pada tahun 1988. Mereka akan mengembangkan infrastruktur bandara ini, terutama landasan pacunya dari 3600 meter saat itu, menjadi terpanjang di Asia tenggara, 4200 meter!

Bangunan terminal yang saat itu masih sederhana, juga akan dibangun menjadi lebih komplek dan memenuhi skala penerbangan internasional. Terminal kargo juga akan ditempatkan terpisah dari kondisi saat itu yang masih menyatu dengan terminal penumpang. Targetnya, pesawat berbadan besar seperti jet Airbus dan Boeing sudah bisa menyinggahi bandara ini mulai tahun 1992.

Kontrak kerjasama antara pemerintah dan konsorsium perusahaan multi nasional terdiri dari C. Itoh dari Jepang, Hyundai dari Korea Selatan serta kelompok perusahaan nasional yang terdiri dari PT. Puri Bangun Mestika, PT. Bangun Sura Inti dan PT. Citra Harapan Abadi. Nilai kontrak pengerjaan awal yang disepakati adalah Sin$ 94,1 Miliar (sekitar Rp. 80 Miliar dalam kurs saat itu).

Koran Jakarta Post yang kemudian dilansir oleh The Straits Times Singapura dalam pemberitaan edisi 24 November 1988 menuliskan bahwa Ketua Badan Otorita Batam saat itu, B.J. Habibie menargetkan aktifitas penerbangan di Hang Nadim ke depannya, bisa menarik lalulintas penerbangan internasional dengan tawaran pengisian bahan bakar Avtur yang lebih murah di sini. Namun, ia menjanjikan bahwa harga avtur yang ditawarkan tetap bersaing berbanding penawaran di bandara Changi, Singapura.

Dengan target awal ini, maskapai penerbangan Indonesia seperti Garuda Indonesia yang memiliki banyak rute tujuan ke luar negeri, bisa menggunakan Hang Nadim sebagai hub pengisian bahan bakar dari sebelumnya dilakukan di Singapura.

B.J. Habibie saat itu menyebut, pembangunan tahap III Bandara Hang Nadim menuju kelas internasional, merupakan bagian penting dalam penyiapan pulau Batam sebagai wilayah industri manufaktur, alih kapal serta pariwisata.

Menurut Habibie, saat seluruh proses penyiapan infrastruktur pendukung di Batam telah selesai seluruhnya pada tahun 2006, masa kerja Badan Otorita di pulau Batam akan selesai. Pulau Batam dan pulau-pulau penyangga di sekitarnya, diperkirakan telah bisa berjalan sesuai rel pada masterplant.

Batam Will be able to run on its own and we will propose to the president to proclaim this island a province with a special status”. (B.J. Habibie – The Straits Times – 24 November 1988).

Phase I; Merintis di Tanjung Uncang, Dibangun di Batu Besar

AWALNYA, bandara ini dibangun sebagai bandara perintis sejak tahun 1976 untuk mempercepat mobilisasi orang serta barang dalam kegiatan pembukaan Batam sebagai pulau industri sejak awal tahun 1971.

Seorang mantan karyawan Otorita Batam, Fitrah Kamaruddin menyebut, pengoperasian bandara Hang Nadim sebagai bandara perintis di Batam, masih berlangsung pada akhir tahun 1983.

Saya pertama ke Batam itu tahun 1983, akhir. Saya ingat, saat itu bertepatan dengan pembentukan pemerintah kota Batam, tanggal 24 Desember 1983 (Fitrah Kamaruddin – 2017).

Terminal penumpang bandara Hang Nadim Batam saat masih sebagai bandara perintis pada akhir 1970-an, awal 1980-an. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ koleksi pribadi

Bangunan terminal bandara perintis Hang Nadim saat itu, dibangun sederhana, semi permanen dengan bagian dinding atas menggunakan triplek. Begitu juga dengan fasilitas menara pengontrolnya.

Wah, dari triplek. Sedih rasanya saat itu. (Fitrah Kamaruddin – 2017).

Saat itu, Fitrah mendapat penugasan dari Jakarta untuk ikut merintis pembangunan di pulau industri Batam. Ia datang bersama beberapa rekan dengan penugasan serupa. Di Jakarta, nama Batam sedang ‘harum‘ karena sering diperbincangkan sebagai calon lokomotif baru perekonomian Indonesia. Dalam berbagai seminar, pulau Batam akan digagas menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru Indonesia, bersanding dengan pusat ekonomi ASEAN, Singapura yang telah eksis terlebih dahulu.

Untuk mempercepat proses pembangunan Batam sesuai rencana masterplant; pulau industri, hub perkapalan serta area pariwisata terpadu, pemerintah mendatangkan hampir keseluruhan tenaga ahli dari lintas departemen/ kementerian.


BANDARA di Batam yang kemudian diberi nama ‘Hang Nadim‘, telah dirintis sejak awal pembangunan pulau Batam oleh Pertamina, awal dekade 1970-an sebagai Phase I dari rencana pengembangan. Awalnya, akan dibangun di lokasi sekitar Tanjung Uncang, di sisi barat pulau Batam. Selain pertimbangan topografi yang memungkinkan, lokasi perairan sekitarnya juga telah cukup ramai dengan beberapa pelabuhan rakyat untuk rencana proses bongkar muat material pembangunan.

Namun, rencana ini batal diteruskan. Pihak Singapura yang mendapat kabar rencana pembangunan sebuah bandar udara baru di Batam tersebut, melayangkan protes keberatan. Mereka menilai, pengoperasian bandara baru di Batam itu nantinya, akan menyebabkan benturan wilayah udara dengan operasi bandara milik mereka di daerah Paya Lebar. Terutama pada proses take off dan landing. Jika diteruskan, mereka tidak bisa memberikan izin pemanfaatan wilayah udara di sekitarnya.

Seperti diketahui, berdasarkan keputusan lembaga penerbangan sipil internasional (International Civil Aviation Organization/ ICAO) pengelolaan wilayah udara di seluruh Kepulauan Riau saat itu masih dilakukan oleh Singapura. Flight Information Region (FIR) wilayah Kepulauan Riau ditangani oleh Singapura melalui konvensi yang digelar ICAO di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946.


PROSES survei penentuan wilayah bandar udara di Batam, kemudian dilakukan lagi dengan melibatkan sebuah konsultan Singapura, Robin Ednasa pada masa pengelolaan pulau Batam di bawah Badan Otorita, sekitar tahun 1976. Hingga akhirnya didapat lokasi di sekitar wilayah Batu Besar.

Grup perusahaan tersebut, Robin Shipyard, sebelumnya juga dilibatkan dalam proses pembangunan pelabuhan laut Batu Ampar di awal 1970-an di masa pengelolaan oleh Pertamina.

Dalam buku : “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam Era Ibnu Soetowo – JB Sumarlin”, di era Ibnu Soetowo, disebutkan bahwa pemilihan lokasi bandara di Batu Besar dilakukan secara sederhana. Survei topografi dan peninjauan lapangan langsung oleh Marsekal pertama  Soedjatmiko selaku Kepala Badan Pelaksana (Kabalak) dan staf teknik Otorita Batam serta pihak kontraktor Robin Ednasa.

Kondisi Batam saat itu masih dipenuhi hutan belantara.

Kondisi ruas jalan di pulau Batam saat awal dikembangkan oleh Otorita Batam pada dekade 1970-an. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Ya, hutan. Semua mobil di sini Land Rover karena dia menghendaki double gardan kan untuk jalan di lumpur“, kata Dirut PT. Esqarada, Daniel Burhannudin dalam keterangannya tentang Batam di era 70-an seperti dikutip dari dokumenter “Mereka Bicara Tentang Batam – Dulu, Sekarang dan Yang Akan Datang“.

Sejalan dengan masa pembangunan bandara perintis di wilayah Batu Besar, Otorita Batam saat itu, sempat mengoperasikan sebuah landas Helipad di puncak bukit Dangas untuk kebutuhan transportasi udara yang mendesak. Landas Helipad itu sempat dioperasikan selama beberapa tahun pada masa pembangunan bandar udara di wilayah Batu Besar.

Sebuah kendaraan double gardan melintasi ruas jalan di Batam yang baru dibuka pada dekade 1970-an. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Penentuan nama ‘Hang Nadim‘ sebagai nama bandar udara di Batam saat itu, berdasarkan perintah ketua Otorita Batam, B.J. Habibie yang menghendaki penamaan bandar udara tersebut harus berasal dari kearifan lokal masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Namun, tidak boleh diambil dari sosok atau penamaan yang telah umum digunakan.

Nama ‘Hang Nadim‘ yang dipilih Habibie saat itu, sempat menimbulkan pertanyaan di banyak kalangan. Dalam cerita rakyat yang dikenal masyarakat di Batam saat itu, tokoh ‘Hang Nadim‘ lebih dikenal dan diketahui sebagai sosok seorang anak kecil yang membantu kesultanan di Singapura dalam legenda ‘Singapura dilanda Todak‘.

Dalam hikayat diceritakan, seorang anak bernama Hang Nadim memberikan sebuah ide kepada Sultan Singapura untuk membuat benteng pertahanan dari pohon-pohon pisang dalam melawan serangan kawanan Todak di pinggir-pinggir pantai. Ide tersebut berhasil dijalankan. Ratusan todak yang menyerang kampung-kampung di Singapura masa itu, dengan mudah bisa dibunuh setelah mulut mereka yang berbentuk seperti tombak, tertancap di batang-batang pohon pisang yang dipasang. Namun, kecerdasan ‘Hang Nadim’ ternyata memicu kekhawatiran orang dalam istana. Mereka kemudian membujuk sultan untuk membunuh sang anak karena dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia dikhawatirkan bisa menggulingkan sang sultan di kemudian hari. Dalam legenda serupa, sang anak kemudian diikat dengan batu dan ditenggelamkan di sebuah pulau karang kecil yang kini dikenal sebagai pulau ‘Batu Berhantu’ dekat pulau Sambu di Kepulauan Batam.

Di luar wawasan yang diketahui masyarakat Batam saat itu tentang sosok Hang Nadim, B.J. Habibie justeru mendapat informasi lain tentang sosok tersebut. Dalam penelusuran dokumen-dokumen tua catatan kolonial Belanda, sosok Hang Nadim ternyata lebih mengarah kepada seorang laksamana Melayu handal di era setelah masa keemasan generasi ‘Hang Tuah‘.

Dalam pengetahuannya saat itu, belum ada nama tempat, wilayah hingga infrastruktur yang mengadopsi nama sang Laksamana handal tersebut.

Bandara perintis dengan nama Hang Nadim, akhirnya resmi dioperasikan dua tahun kemudian, sekitar tahun 1978, untuk melayani penerbangan khusus serta Charter dari dan ke pulau Batam masa itu.

Terminal penumpang dan menara pengontrol lalu lintas udara di bandara perintis Hang Nadim, sekitar awal dekade 1980-an. © F Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Pada awalnya, bandara ini hanya memiliki landasan pacu sepanjang 850 meter saja. Baru bisa dioperasikan dan didarati oleh pesawat jenis twin otter, sky van serta helikopter.

Seorang Letnan Kolonel penerbang sekaligus Insinyur bernama Ir. Mohammad Arif (M.A.) Marzuki, kemudian ditunjuk menjadi kepala bandar udara Hang Nadim di pulau Batam untuk pertama kali. Ia diketahui merupakan sepupu B.J. Habibie yang juga memiliki pengetahuan luas tentang dunia penerbangan.

Bersama sejumlah tenaga ahli penerbangan masa itu, mereka berhasil menggesa pengoperasian bandara Hang Nadim sebagai bandara perintis sejak 1978 dan mengembangkannya menjadi sebuah bandara komersil sejak tahun 1984.

Tahun 1982, saya mulai bekerja di Otorita Batam dan ditempatkan di bandara Hang Nadim. Kondisi masih sulit. Tinggal di Sekupang, jadi tiap pagi kami (karyawan, pen) diangkut menggunakan truk double gardan ke sana. Jalannya masih tanah dan berlumpur dimana-mana saat hujan,” kenang Soewarso, General Manager/ Direktur Bandara Hang Nadim yang menjabat pada era 2016 – 2022 (Ngobrol EveryWhere, GoWest.ID)

Dekade 70-an menjadi tonggak awal pembukaan Batam sebagai daerah yang lebih berkembang dari sebelumnya berupa hutan dan beberapa wilayah kebun yang diupayakan secara mandiri oleh masyarakat. Awalnya oleh Pertamina dan kemudian dilanjutkan oleh Badan Otorita Batam (BP Batam saat ini, pen) dan kini telah memiliki pemerintahan otonom yang berperan besar dalam penataan wilayah, politik, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan; pemerintah kota Batam.

Phase II; Hang Nadim menjadi Bandara Komersil

Pada Phase II pengembangan, landasan pacu bandara Hang Nadim ditambah hingga sepanjang 45 x 2500 meter. Kemudian gedung terminal dipindah sekitar 500 meter dari lokasi pertama dan dibangun menjadi lebih besar.

Setelah landasan pacu diperpanjang menjadi 2500 meter, Ketua Otorita Batam saat itu, BJ Habibie melakukan pembicaraan dengan Direktur Utama Garuda Indonesia pada saat itu, Wiweko Soepono agar maskapai Garuda Indonesia bisa terbang reguler ke dan dari pulau Batam.

Kondisi bandara Hang Nadim pada Phase II sekitar tahun 1988. Bandara ini telah mampu disinggahi pesawat jenis DC-8 dan DC-9 dengan terminal penumpang dan kargo yang lebih representatif. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Pada awalnya, Garuda Indonesia hanya terbang satu kali seminggu dari dan ke pulau Batam. Namun, sejalan dengan waktu, penerbangan Garuda Indonesia menjadi setiap hari sejak tahun 1984. Sambil tetap mengoperasikan gedung terminal B, Otorita Batam mulai melakukan pembangunan tahap II untuk bandara Hang Nadim Batam.

Landasan pacu diperpanjang lagi dengan ukuran 45 x 3600 meter. Pertimbangannya saat itu adalah untuk mempersiapkan Hang Nadim sebagai hub internasional karena adanya informasi mengenai kontrak maskapai Lufthansa dengan Singapura yang akan berakhir pada tahun 1995.

Ketua Otorita Batam saat itu, B.J. Habibie berpandangan tentang perlunya memperpanjang landasan pacu Hang Nadim sebagai upaya menggaet maskapai Lufthansa agar bisa memindahkan basis angkutan barangnya dari Singapura ke Batam.

Maskapai Lufthansa diketahui mengoperasikan pesawat-pesawat berbadan lebar dengan full loaded, yaitu diisi dengan bahan bakar penuh sehingga dapat terbang langsung ke Eropa secara nonstop tanpa melakukan refueling bahan bakar.

Pada tahun 1988, fasilitas landasan pacu bandara Hang Nadim memiliki panjang 3600 meter dan telah melayani rute penerbangan komersil ke beberapa kota dalam negeri seperti Jakarta, Pekanbaru, Medan dan Palembang. Beberapa maskapai domestik, tercatat telah beroperasi di bandara ini pada tahun 1988. Seperti Garuda Indonesia, Sempati Air, Merpati Nusantara Airlines dan sebuah penerbangan cargo charter internasional milik Sabang Merauke Air Service (SMAC) yang melayani rute ke bandara Paya Lebar Singapura.

Ruas jalan menuju bandara Hang Nadim Batam sekitar tahun 1984. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Bandara ini telah mampu melayani berbagai rute penerbangan dengan pesawat terbesar yang digunakan adalah jenis DC-8 serta DC-9. Ini menjadi Phase II dari pengoperasian bandara udara di pulau Batam tersebut.

Bangunan terminal yang digunakan, berlabel terminal B, walau masih berbentuk seperti kubus pabrik sederhana, namun sudah lebih representatif. Dibangun dari beton secara keseluruhan dan mampu menampung aktifitas penumpang serta barang sejak tahun 1984.

Sejumlah pegawai bandara Hang Nadim Batam dalam sebuah kegiatan silaturahmi sekitar tahun 1989. © F. Repro/ Koleksi pribadi

Pergerakan penerbangan di bandara Hang Nadim pada era ini, bahkan hingga menenggelamkan aktifitas penerbangan komersil di bandara Kijang (Kini Raja Haji Fisabilillah) yang telah ada puluhan tahun sebelumnya (sejak 1952), hingga tidak lagi melayani penerbangan komersial sama sekali di dekade 90-an.

Phase III; Hang Nadim untuk Rival Changi

PADA tahap ini, mulai dibangun terminal baru seperti yang terlihat seperti saat ini sekaligus pekerjaan finishing seperti detail desain dan supervisi, pekerjaan sipil, melengkapi perangkat aeronautical yang terdiri dari ground support equipment, full distribution system termasuk perpanjangan landasan menjadi 400 meter.

Pekerjaan lainnya yaitu melengkapi perangkat kelistrikan dan mekanikal bandara, sistem keamanannya (security system), lanskap dan furniture-nya. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan angkutan barang, juga dibangun terminal kargo.

Pembangunan terminal dan apron bandara Hang Nadim Phase III awal dekade 1990-an. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Dugaan tentang pengoperasian bandara Hang Nadim sebagai rival Changi, sebenarnya sudah sejak beberapa tahun ini diketahui publik di Singapura. Misalnya, pada pernyataan ketua Badan Tourism Board (BTB) saat itu, Jhonson Napitupulu pada tahun 1992. Koran The Straits Times Singapura langsung memuat pernyataan Jhonson itu sehari kemudian pada 27 April 1992 untuk memberi pesan kepada pemerintah Singapura agar waspada. Jhonson menyebut bahwa bandara Hang Nadim di Batam memang sedang disiapkan untuk menyaingi bandara Changi di Singapura.

Pernyataan itu, berseberangan dengan keterangan yang disampaikan oleh konsultan project bandara Hang Nadim Phase III, Sindhunata yang menyebut bahwa Hang Nadim disiapkan hanya untuk menjadi alternatif pilihan bagi penerbangan internasional dalam mengisi avtur dengan harga yang bersaing. Tahun 1993, project Phase III bandara Hang Nadim telah mendekati 80 persen dan telah layak disinggahi oleh pesawat-pesawat berbadan besar dari Asia Tenggara hingga timur jauh dan Australia.

Untuk mendukung tawaran alternatif pengisian avtur internasional di sini, Batam saat itu juga tengah menggesa penyelesaian pelabuhan laut Kabil di kawasan seluas 1000 hektar di Kabil Industrial Estate (KIE) yang diperkirakan akan selesai berbarengan dengan peresmian bandara Hang Nadim Phase III.

Proses penyambungan pipa dari Natuna ke pelabuhan Kabil, seharusnya juga selesai pengerjaannya pada tahun 1995“. (Sindunata – The Straits Times)


SEPERTI diprediksi banyak kalangan, pembangunan bandara Hang Nadim Phase III yang digesa sejak 1989, dimaksudkan untuk menyaingi bandara serupa milik Singapura yang telah lama eksis, Changi.

Dalam sebuah wawancara dengan sejumlah reporter di Batam pada 13 Juli 1995, ketua Badan Otorita Batam B.J. Habibie dengan tegas mendeklarasikan itu. Bandara yang segera menyandang status internasional pada akhir tahun itu, memang dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang dari dominasi bandar udara Changi di Singapura. (The Straits Times, 14 Juli 1995).

Saat selesai pelaksanaan tahap III pembangunan, kapasitas lepas landas dan pendaratan bandara Hang Nadim dapat melayani 37 pergerakan per jam dan 444 pergerakan per hari.

Sesuai data yang disampaikan BJ Habibie kepada presiden Soeharto saat peresmian bandara internasional Hang Nadim Batam pada 11 Desember 1995, pada saat itu, Hang Nadim sudah melayani 11 rute penerbangan domestik.

Jumlah penerbangan dalam satu minggu sudah sebanyak 125 kali yang dilaksanakan oleh 6 maskapai penerbangan ke berbagai jurusan. Di antaranya ke Jakarta, Dumai, Jambi, Medan, Padang, Palembang, Pangkalpinang, Pekanbaru, Pontianak, Singkep dan Tanjungpinang.

Kemudian, rute tersebut berkembang lagi menjadi 11 rute baru yaitu Balikpapan, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, Natuna, Rengat, Solo, Surabaya, Tanjung Balai, Tanjung Pandan dan Ujung Pandang ( Makassar, pen).

Pada tahun 1995, bandara Hang Nadim meningkat statusnya dari bandara kelas II menjadi bandara kelas I berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor KM.4 Tahun 1995 tentang penyempurnaan dan penataan bandar udara. Keputusan dikeluarkan pada 31 Januari 1995.

Sementara itu, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 78 tahun 1995 tentang penyelenggaraan bandar udara Hang Nadim Batam tanggal 22 November 1995, pemerintah menyerahkan pengelolaannya kepada Otorita Batam dan meningkatkan kemampuannya sebagai bandar udara yang dapat melayani angkutan udara di dalam dan keluar negeri.

Pengoperasian bandara Hang Nadim Phase III yang sudah berstatus internasional, akan terus dilengkapi dengan fasilitas penunjang operasi penerbangan lainnya. Saat peresmian pada 11 Desember 1995, Habibie menyebut bahwa pembangunan sarana penunjang seperti pusat perawatan pesawat akan segera dibangun dalam beberapa tahun ke depan. Hal itu sekaligus untuk semakin melengkapi fasilitas operasi di bandara Hang Nadim yang mulai diarahkan dalam konsep ‘Aerocity‘.

Presiden Soeharto dan Ketua Otorita Batam B.J. Habibie saat peresmian bandara internasional Hang Nadim Batam pada 11 Desember 1995, © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Namun, menjelang akhir tahun 1995, sebelum peresmian pembangunan bandara Hang Nadim Phase III, pemerintah Singapura telah mengumumkan rencana perpanjangan masa kontrak kerjasama mereka dengan Lufthansa.

Rivalitas Terbuka dan Rute Internasional, Kini

PASKA penetapan status internasional dan pengoperasian secara penuh bandara Hang Nadim dengan infrastruktur terbarunya, akhir tahun 1995, rivalitas penerbangan antara bandara Hang Nadim di Batam dengan bandara Changi di Singapura, makin terbuka.

Suasana bandara udara internasional Hang Nadim Batam setelah selesai pembangunan Phase III. © F. Dokumentasi Otorita Batam/ Repro/ Koleksi pribadi

Perang lobi dan opini di media massa mulai dilakukan secara terbuka. Seperti misalnya pada pernyataan pihak pemerintah pemerintah Singapura yang menyebut bahwa jenis pesawat dan frekuensi penerbangan yang ada di bandara Hang Nadim Batam saat itu, tidak tampak sesuai dengan investasi total hingga sebesar Rp 649,8 miliar (Sin$ 390.000) yang digunakan untuk pengembangan bandara.

Bandara yang memiliki landasan pacu sepanjang 4000 meter lebih tersebut, yang digadang-gadang dapat menampung pesawat berbadan lebar seperti B-747-400, sekarang hanya menangani 30 penerbangan domestik per hari. (The Straits Times, 1996)

Menjawab hal tersebut, Deputi Ketua otorita Batam saat itu, Gunawan Hadisusilo mengatakan, pihaknya telah mengirim sekitar 60 proposal kepada maskapai penerbangan asing untuk meminta mereka menggunakan hub di Hang Nadim. (Bisnis Indonesia, 1996).

Sementara Garuda Indonesia menurut Gunawan, juga telah berkomitmen untuk menjadikan Hang Nadim sebagai hub internasional mereka. Badan Otorita Batam juga tetap yakin tentang tawarannya kepada maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa untuk menggunakan bandara Hang Nadim sebagai hub mereka di wilayah Asia Pasifik.

Pihak Otorita Batam menurutnya, juga punya keyakinan yang sama bahwa kerjasama yang akan terbangun dengan Garuda dan Lufthansa, dapat memicu bisnis penerbangan lainnya di Hang Nadim Batam.

Mulai November 1996 menurut Gunawan, penerbangan mingguan Garuda dari Jakarta ke Jeddah akan mulai menggunakan hub di Batam, bukan lagi di Singapura. Sementara pada bulan Maret tahun depan (1997), tiga penerbangan per minggu akan dijadwalkan pada rute Jakarta-Batam-Jeddah. Perubahan serupa untuk rute lain juga direncanakan.

Keputusan Garuda untuk mengalihkan rute penerbangan ke Timur Tengah, Eropa, Taipei, dan Beijing melalui Batam pada awal tahun depan menurutnya, harus dilihat sebagai awal dari upaya yang dikonversi untuk mengembangkan Hang Nadim sebagai titik transit untuk penerbangan internasional.

Pihak Singapura dengan menggunakan koran terbesar mereka kemudian melakukan counter atas jawaban Deputi Otorita Batam, Gunawan Hadi Susilo. Melalui wawancara dengan Direktur utama Garuda Indonesia saat itu, Soepandi, mereka menyebut bahwa rencana maskapai penerbangan Garuda untuk menggunakan bandara Hang Nadim di Batam, akan didasarkan pada pengembangan infrastruktur dan administrasi untuk penanganan kargo di bandara itu. (The Straits Times, 1996)

Sementara itu, melalui pernyataan ketua Asosiasi Pengangkutan Udara Indonesia, Soelarto Hadisoemarto, The Straits Times Singapura kemudian menulis bahwa menyediakan fasilitas yang lebih baik di Hang Nadim seperti situasi ‘ayam dan telur‘.

Maskapai penerbangan dan otoritas bandara menunggu satu sama lain. Maskapai penerbangan menunggu fasilitas yang lebih baik, sementara otoritas menunggu maskapai penerbangan sebelum menyediakan fasilitas.

Perang opini tentang pengoperasian bandara Hang Nadim yang dirasa mulai mengancam Singapura, juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan, Haryanto Dhanutirto, serta BJ Habibie yang juga menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Menurut keduanya, posisi bandara Hang Nadim cukup strategis untuk menangani kelebihan penumpang dari Bandara Changi yang sibuk dan sering padat.

Satu tahun paska pengoperasian status internasional di bandara Hang Nadim, pemerintah Indonesia mengklaim biaya pendaratan dan parkir pesawat di bandara ini, 48 persen lebih rendah dibandingkan dengan Bandara Changi. Sementara tawaran penyediaan bahan bakar Avtur di Hang Nadim yang diupayakan melalui jalur pipa Natuna, belum bisa terlalu diandalkan. Pihak Otorita Batam masih terus melobi Pertamina agar mau memasok bahan bakar Avtur pesawat di Hang Nadim dengan prosentase 5 persen lebih murah dibanding Changi.


UPAYA pemerintah untuk menjadikan bandara Hang Nadim di Batam untuk secara penuh melayani penerbangan internasional, sepertinya tidak semudah membalik telapak tangan. Bertahun-tahun setelahnya, pengoperasian status internasional di bandara Hang Nadim, baru terlaksana setahun sekali pada masa penyelenggaraan ibadah haji.

Jejeran pesawat di Apron bandara internasional Hang Nadim Batam. © F. Istimewa

Sementara upaya-upaya lain untuk mendukung pengoperasian penerbangan internasional yang dilakukan dengan sistem kerjasama Charter, tidak berumur panjang. Misalnya pada kerjasama operasi dengan Sky Aviation yang sempat menjadikan bandara Hang Nadim di Batam sebagai hub dan melayani rute internasional dari Tanjungpinang – Malaka pada tahun 2012. Kerjasama hub yang berlangsung pada 2010, harus selesai seiring berhenti operasinya maskapai tersebut pada tahun 2014.

Kerjasama rute luar negeri lain juga pernah dirintis dari Hang Nadim Batam – Kuala Lumpur menggunakan maskapai Firefly.

Suasana check in counter terminal keberangkatan bandara internasional Hang Nadim Batam sekitar tahun 2008. © F. Skyscrapercity.

Kerjasama dengan maskapai Firefly, anak perusahaan Malaysia Air System, dirintis untuk rute Hang Nadim Batam -Subang Kualalumpur pada tahun 2009. Menggunakan pesawat jenis ART 72-500 buatan Perancis yang berkapasitas 72 penumpang, rute ini lumayan bertahan lama dengan jadwal penerbangan 4 kali seminggu. Namun, sudah tidak ada lagi saat ini.


SEIRING perubahan pengelolaan bandara Hang Nadim Batam oleh konsorsium perusahaan Indonesia dan Korea selatan melalui PT. Bandara Internasional Batam, status rute internasional di luar jadwal haji tahunan, kembali digagas.

Saat ini, bandara Hang Nadim Batam melayani rute internasional dari dan ke Korea Selatan. Penerbangan perdana dari Bandara Internasional Hang Nadim Batam menuju Bandara Incheon, Korea, dibuka pada Jumat (18/10/2024) tahun lalu melalui kerja sama antara Lion Group dan Jeju Air, dengan konsep codeshare.

Codeshare adalah sebuah perjanjian bisnis penerbangan di mana dua maskapai berbagi penerbangan yang sama. Sebuah kursi dapat dibeli di satu maskapai penerbangan. Namun sebenarnya dioperasikan oleh maskapai rekanan di bawah nomor dan kode penerbangan yang berbeda. Istilah “code” mengacu kepada sistem identifikasi yang digunakan dalam jadwal penerbangan, umumnya merupakan dua karakter kode pengenalan maskapai dari IATA (International Air Transport Association/ Asosiasi Pengangkutan udara internasional) dan nomor penerbangan.

(*)

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search

Silahkan bagikan konten ini.