“Pulau Lingga dan Penduduknya: Catatan C. Van Angelbeek 1819” (Bagian 3 – Selesai)
“Karakter baik yang menandai wanita Melayu dari kelas yang lebih tinggi tampaknya, bagi saya, berasal dari cara mereka dididik. Mereka diajarkan membaca dan memahami Al-Quran sejak usia dini. Mereka tahu sejak awal tugas-tugas yang harus mereka penuhi dalam masyarakat, dan tahu dalam hubungan apa mereka berdiri dengan jenis kelamin lain.”
…
“Bagian-bagian wilayah dari kesultanan Melayu, diperintah oleh para bangsawan tinggi yang meskipun tunduk pada Sultan, mereka memerintah wilayah sesuai kehendak sendiri, tanpa harus memberikan pertanggungjawaban kepada Sultan.”
…
“Perdagangan, meskipun merupakan sumber kemakmuran bagi penduduk Lingga, namun memiliki kendala bagi orang asing. Terutama karena aktifitas para bajak lautnya. Kapal dari pedagang asing, perlu berjuang agar bisa sampai ke perairan di sekitar Kuala Daik dan terbebas dari ancaman mereka.” (C. Van Angelbeek, 1819)
JUMLAH penduduk Lingga tidak pernah dihitung secara sistematis. Diperkirakan sekitar sembilan atau sepuluh ribu jiwa, dengan enam ribu di antaranya tinggal di sekitar ibu kota. Sisanya, tiga atau empat ribu di bagian lain pulau ini.
Pribumi, Orang Cina dan Bangsawan
DI antara penduduk ibu kota, ada sekitar empat atau lima ratus orang Cina; bangsa yang rajin dan selalu mencari keuntungan. Mereka dapat ditemukan di hampir setiap pulau di kepulauan Lingga ini. Tidak hanya di bawah perlindungan pemerintahan orang Eropa, tetapi juga di tengah-tengah Muslim. Semangat perdagangan yang dimiliki bangsa Cina telah membuat mereka mendapatkan rasa hormat dari orang Melayu. Mereka dianggap penting bagi kemakmuran suatu wilayah.
Orang Cina biasanya membeli semua produk hasil bumi dan industri dari penduduk setempat, yang dibutuhkan oleh pedagang asing. Biasanya mereka membeli dengan harga rendah. Namun, mereka mampu meyakinkan penduduk pribumi untuk terus bekerja dan menjamin pasar yang baik bagi pedagang asing.
Dengan pelayanan orang Cina, mereka telah memastikan diri untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang berpengaruh. Orang Cina menyediakan semua yang dibutuhkan dari toko-toko mereka. Sesekali, mereka juga suka memberikan barang yang dijual ke penguasa tanpa bayaran. Tujuannya, untuk mendapatkan dukungan dan berharap penguasa pribumi memejamkan mata ketika mereka mungkin ditemukan bersalah atas penipuan kecil atau pemerasan.
Sementara orang pribumi di Lingga umumnya adalah Muslim yang taat. Mereka seolah berlomba-lomba menjalankan ajaran dan perintah Nabi, terutama yang berkaitan dengan shalat harian.
Pribumi di pulau Lingga mengakui keunggulan orang Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka kadang heran, bagaimana bisa orang eropa yang kafir memiliki banyak pengetahuan.
Orang pribumi di Lingga sangat mengagumi ilmu kedokteran dan memiliki kepercayaan besar pada kekuatan obat-obatan yang diberikan oleh kelompok orang Eropa.
Orang-orang tua di sini berperilaku baik. Mereka memperoleh reputasi sebagai orang yang berilmu melalui studi panjang terhadap Al-Quran dan karya-karya teologi Arab, dan sangat dihormati. Kata-kata mereka dianggap sebagai pelajaran. Mereka disebut orang bertuah, yang berarti orang yang telah menemukan rahmat di sisi Allah dan Nabi.

Orang Melayu, seperti bangsa lain di kepulauan ini, tidak memiliki emosi yang kuat atau nafsu yang besar. Mereka memiliki sifat yang dingin dan tidak meledak-ledak. Namun, mereka tidak mentolerir jika ada orang yang tidak dikenal, menatap mereka lama. Atau, melihat mereka dengan tajam saat lewat. Mereka menganggap hal itu sebagai penghinaan yang disengaja. Sering kali terjadi pertarungan berdarah dengan keris.
Kampung atau pasar Cina di bandar Kuala Daik ini, juga menjadi tempat berkumpul orang-orang yang menganggur, perokok opium, dan penjudi. Kelompok ini bahkan sering kali menjadi sumber kekacauan dan keributan.
Seorang pejalan kaki bangsa Melayu, akan selalu berhati-hati untuk tidak menatap atau memperhatikan orang-orang yang tidak dikenal di sekitarnya.
Orang Melayu sebenarnya merupakan orang yang ramah dalam berbicara. Mereka sopan. Jarang ditemukan karakter seperti itu di negeri lain, terutama yang menerapkan kelas atau strata sosial dalam bermasyarakat. Namun, terkadang ada juga yang memiliki ketidakjujuran. Mereka menyembunyikan niat buruk di balik sikapnya yang ramah dan nada suara yang lembut.
Alasan ketidakjujuran ini mungkin terletak pada konsep kesopanan yang mereka miliki. Seorang pria yang berpendidikan baik, membuat aturan untuk tidak pernah menyangkal orang yang lebih tinggi. Mereka hanya mengungkapkan pikirannya yang berbeda tentang suatu topik setelah sepenuhnya menyatakan setuju di luar pembahasan.
Seseorang yang berani menyangkal orang lain, baik itu orang yang lebih tinggi atau yang setara, dianggap tidak sopan. Bahkan dapat dihukum jika kata-katanya ditujukan kepada orang yang memiliki status kerajaan.
Oleh karena itu, sangat sulit bagi seorang Eropa yang memiliki status untuk mengetahui perasaan sebenarnya dari orang Melayu tentang suatu masalah. Meskipun mereka sering berbeda pendapat, mereka selalu menjawab dengan persetujuan.
Raja-raja Melayu sangat dihormati oleh rakyat mereka. Rakyat biasanya mendekati mereka dengan hormat. Namun, tidak dengan cara yang berlebihan seperti yang dilakukan orang Jawa di istana Solo dan Mataram.
Rasa hormat anak-anak terhadap orang tua dan kerabat juga besar. Usia tua umumnya sangat dihormati di kalangan bangsa ini.
Mereka suka memuji orang yang mereka pikir dapat membantu mereka. Dan celakalah orang yang terpedaya oleh pujian. Karena, orang yang sama, mungkin saja dapat diperlakukan dengan ketidakpedulian jika keadaannya berbalik.
Terkadang, kekejian dapat dengan mudah ditambahkan ke dalam daftar kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat di sini. Mereka juga tidak bebas dari perilaku kejam. Kejahatan bajak laut membuktikan hal ini.
DENGAN semangat berwirausaha, mereka memiliki banyak keberanian dalam perang. Mereka tidak takut bahaya atau kematian. Mereka adalah kelompok orang sederhana dan memiliki sedikit kebutuhan.
Di antara karakteristik bangsa ini adalah bahwa mereka menganggap keramahan sebagai sebuah kebajikan besar, meskipun mereka sedikit mempraktikkannya.
Dari kelompok pribumi ini, banyak yang masih mempercayai berbagai jenis hantu dan setan, pada mantra dan sihir. Juga pada mimpi, pertanda dan sejenisnya.
Sebagian besar penyakit, jarang dianggap disebabkan oleh penyebab alami. Tetapi selalu dikaitkan dengan pengaruh roh jahat. Pekerjaan pertama ahli pengobatan pribumi mereka adalah mencoba mengeluarkan setan dari tubuh si pasien. Untuk ini, mereka menganggap sebagai obat yang tidak salah, tulisan tertentu ditulis di atas selembar kertas, dan dijahit di dalam selembar kain, kemudian digantungkan di leher pasien atau diminum oleh orang yang sakit. Mereka juga memberinya air untuk diminum, yang telah dibacakan doa atau mantra.
Hari-hari dan malam dibagi menjadi hari-hari dan malam yang beruntung dan tidak beruntung. Bahkan, orang-orang Melayu yang paling tercerahkan yang pernah saya kenal, memiliki kepercayaan tak terbatas pada hal ini.
Di sisi lain, orang Melayu umumnya memiliki semangat yang sangat romantis. Gaya hidup nomaden yang dijalani oleh banyak dari mereka, membuat mereka terpapar pada banyak perubahan, membawa mereka ke dalam suasana hati tersebut.
Mereka memiliki beberapa lagu dalam bentuk puisi, yang umumnya bertema perubahan hidup, disusun dalam kalimat-kalimat yang terputus-putus dan tidak terlalu terkait.
Mereka juga memiliki beberapa novel, baik asli maupun terjemahan dari bahasa Jawa, dalam bentuk puisi dan prosa, yang menceritakan sejarah raja atau ratu tertentu.
Puisi-puisi dan novel-novel ini, mereka baca dengan kesenangan batin. Namun, mereka yang mengaku religius, biasanya menghindari bacaan ini dan menganggap sebagai sesuatu yang terlalu sepele.

Pendidikan tidaklah umum di kalangan bangsa ini. Namun, anak-anak dari keluarga bangsawan, baik laki-laki maupun perempuan, sering diajarkan membaca Al-Quran dalam bahasa Arab. Para imam yang mengajar, untuk tujuan ini, memimpin semacam sekolah.
Bagi sebagian besar, itu hanya terbatas pada belajar membaca. Namun, beberapa orang mendalami hingga memperoleh pengetahuan yang cukup tentang agama. Kelompok ini mempelajari tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, dan membaca tulisan-tulisan yang diterjemahkan dari bahasa Arab, yang membahas filsafat, kedokteran, astronomi, astrologi, dan ilmu-ilmu lainnya.
Wanita Melayu biasanya religius dan memiliki perilaku hidup yang sangat sopan. Mereka dari keluarga yang memiliki status jarang meninggalkan rumah dan sepenuhnya mengabdikan diri untuk mengelola rumah tangga.
Mereka rajin menenun kain sutra yang indah dari benang sutra mentah yang dibawa dari Cina, menyulam, dan membuat semua pakaian suami serta anak-anak mereka.
Karakter baik yang menandai wanita Melayu dari kelas yang lebih tinggi tampaknya, bagi saya, berasal dari cara mereka dididik. Mereka diajarkan membaca dan memahami Al-Quran sejak usia dini. Mereka tahu sejak awal tugas-tugas yang harus mereka penuhi dalam masyarakat, dan tahu dalam hubungan apa mereka berdiri dengan jenis kelamin lain.
Setelah mencapai usia tertentu, mereka tidak lagi muncul di depan umum, atau setidaknya tidak terlalu terbuka, sampai saatnya mereka menikah. Sementara istri-istri dari kelas bawah, membantu suami mereka dalam pekerjaan dan menjual hasil bumi yang mereka upayakan.
Penjualan biasanya dilakukan di atas air dengan sebuah perahu kecil, yang terbuat dari satu potong kayu dan dimuati dengan berbagai sayuran, rempah, buah-buahan, ikan kering, dan beras. Pedagang wanita, yang biasanya sendirian, kadang-kadang ditemani oleh wanita lain. Mereka mengarungi sungai dengan perahu dan menjual barang-barangnya di sepanjang tepian.
Orang Melayu, seperti semua Muslim pada umumnya, diizinkan menikahi empat istri sah; namun, hanya sedikit yang memanfaatkan izin ini sepenuhnya. Mereka umumnya menikahi dua istri, dan mereka sering hidup bersama dalam satu rumah dengan hubungan yang baik.
Perceraian kadang-kadang terjadi dan mudah diperoleh. Namun, ada beberapa ketentuan dan kebiasaan mengenai pernikahan dan perceraian yang cukup ketat diikuti.
Dalam lingkaran keluarga mereka, keharmonisan dan kedamaian menjadi hal mutlak yang perlu ditaati. Mereka jarang bertengkar dan berhati-hati untuk tidak memberikan ruang pertengkaran dengan kata-kata yang tidak bijak. Status Ayah dalam sebuah keluarga dihormati oleh semua orang, dan kata-katanya adalah perintah. Sementara anak-anak, apa pun usia mereka, tidak pernah berhenti tunduk pada otoritas ayah.
Rasa hormat yang mereka miliki terhadap orang tua mereka tidak terbatas.
Pakaian Budaya dan Tradisi
ORANG Melayu umumnya memiliki penampilan yang menarik. Mereka memiliki bentuk tubuh yang baik, tinggi sedang, berotot, tetapi tidak terlalu kuat. Biasanya memiliki wajah yang proporsional. Warna kulit mereka umumnya lebih putih daripada orang Jawa.
Wanita-wanitanya memiliki bentuk tubuh yang ramping dan kadang-kadang memiliki penampilan yang sangat cantik. Mereka memiliki rambut hitam panjang yang mereka ikat dalam sebuah sanggul. Sementara pria-prianya memiliki rambut yang dipotong pendek dan sering mencukur kepala mereka, seperti yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim yang saleh.
Di sekitar kepala, mereka mengenakan sorban, tetapi mengikatnya dengan cara yang unik.
Pakaian pria terdiri dari celana lebar yang disebut seluar. Biasanya terbuat dari sutra. Bagi orang kaya, disulam dengan benang emas. Celana itu hanya mencapai lutut; di atasnya, mereka mengenakan sabuk sutra atau sabuk biasa yang dililitkan beberapa kali di sekitar pinggang. Dan akhirnya, sebuah jaket atau baju yang terbuat dari katun Eropa, yang hanya menggantung di atas bahu, dengan lengan yang sangat lebar dan terbuka, sebagai atasan pakaian mereka.

Orang kaya menambahkan pakaian ini dengan kemeja katun putih dengan kancing emas dan sarung Bugis yang halus, yang mereka kenakan di sekitar setengah tubuh. Mereka mengenakan sandal kulit, seperti yang dikenakan oleh orang Arab.
Orang Melayu tidak pernah pergi tanpa senjata. Mereka selalu membawa keris, yang berbeda dari keris Jawa dan Bali, di dalam sabuk mereka.
Sementara bangsawan, ketika bepergian, biasanya ditemani oleh beberapa orang yang bersenjata tombak. Pedang atau klewang adalah senjata yang banyak dibawa oleh orang. Namun, bangsawan meminta orang lain untuk membawakan pedang mereka.
Wanita-wanita dari kelas atas mengenakan baju yang terbuat dari katun halus atau katun Eropa. Tetapi di rumah, mereka biasanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan leher dan lengan, dengan mengenakan sarung Bugis atau katun sutra yang mencapai dada.
Perhiasan emas dan berlian tidak jarang ditemukan pada mereka.
Wanita-wanita dari kelas bawah mengenakan baju yang terbuat dari katun kasar yang dicelup pewarna hitam atau biru.

PERMAINAN rakyat, seperti yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, tidak dikenal di kalangan orang Melayu. Mereka tidak memiliki pertunjukan atau tarian publik sejauh yang saya ketahui.
Sultan adalah satu-satunya yang memiliki beberapa penari Bali yang merupakan budak, dan tiga atau empat penari ronggeng asal Jawa. Penari-penari tersebut tidak pernah menampilkan seni mereka di depan umum. Karena mereka, menurut saya, termasuk dalam kategori harem Yang Mulia. Rata-rata mereka masih muda dan berpakaian mewah. Penampilannya seperti para penari serimpi dari Susuhunan di Surakarta.
Saya memiliki kesempatan untuk melihat para penari ini pada kesempatan perayaan khitanan dari Tongkoe Besar atau putra mahkota saat berkunjung ke pulau ini.
Pesta-pesta yang diadakan oleh bangsawan biasanya diadakan pada kesempatan pernikahan, kelahiran, dan khitanan, serta pada perayaan keagamaan. Pesta-pesta ini berlangsung dari tiga hingga tujuh hari. Pesta yang diadakan oleh Sultan pada kesempatan tersebut, sering berlangsung selama lima belas hari berturut-turut. Pada pesta-pesta itu, diadakan makan malam yang dihadiri oleh penduduk terkemuka. Ada juga pertunjukan wayang Cina atau teater yang dipertontonkan serta tarian ronggeng. Balai atau auditorium tempat pertemuan, diterangi dan dihiasi dengan kain sutra dan berbagai alat musik dan dimainkan tanpa henti.
Seruling dan rebab, sejenis biola dengan dua senar, adalah alat musik yang paling disukai oleh orang Melayu.
Lagu-lagu mereka merdu dan tidak lepas dari melodi, tetapi selalu mengulangi nada yang sama. Sementara musik dari Jawa kurang umum, tetapi sangat dihargai. Sultan sendiri memiliki banyak koleksi musik Jawa.

Permainan dadu sangat digemari oleh masyarakat di sini. Tampaknya dadu telah diperkenalkan kepada mereka oleh bangsa Portugis. Mereka memberikan nama Portugis “Dadoe” untuk permainan dadu tersebut.
Catur dan Dam adalah hiburan bagi bangsawan, dan sabung ayam adalah hiburan bagi semua lapisan masyarakat. Mereka sangat menyukai sabung ayam dan sering bertaruh dengan jumlah uang yang besar.
Permainan yang asli dari orang Melayu dan membutuhkan banyak keterampilan dan kecepatan tubuh adalah permainan yang disebut sepak raga. Permainan ini terdiri dari menendang dan mengembalikan bola bulat yang terbuat dari rotan yang dianyam dengan kaki atau bagian tubuh lainnya. Permainan ini dimainkan oleh beberapa orang dalam lingkaran yang luas, dan mereka sangat menikmatinya.
BANYAK di antara mereka yang kecanduan merokok opium. Orang Cina biasanya memanfaatkan kecanduan ini dan tidak melewatkan kesempatan untuk memuaskan keinginan mereka, dan menawarkan apa yang mereka butuhkan.
Tidak dapat disangka bahwa bangsa ini, pada tingkat peradaban yang saat ini mereka capai, memiliki banyak karya seni (manufaktur) atau telah mencapai kesempurnaan tertentu dalam hal itu, namun masih mau berhubungan dengan opium.
Karya-karya seni mereka terdiri dari pembuatan kapal atau perahu, di mana mereka sangat terampil, pembuatan meriam logam dan peluru timah dan besi serta pembuatan bubuk mesiu. Meskipun tidak terlalu baik karena terlalu banyak dicampur dengan arang dan terlalu kasar.
Pembuatan keris dan klewang (pedang) oleh masyarakat di Lingga, dapat menandingi keindahan keris asal Palembang. Mereka juga sudah dapat membuat sarung dan hulu pedang yang indah dari kayu yang berurat halus atau tulang ikan.
Wanita-wanita menenun kain sutra yang indah atau sarung dan bahan pakaian lainnya.
Kain-kain ini dianggap lebih baik dan lebih tahan lama daripada yang dibuat di Palembang. Karena itu, kain buatan wanita Melayu biasanya lebih dicari dalam perdagangan.
Kekuasaan di wilayah Kesultanan
KERAJAAN Melayu ini terdiri dari Ketemenggungan Johor dan Pahang di Semenanjung Malaya, serta pulau-pulau Bintan dan Lingga, dan seluruh rangkaian pulau-pulau yang terletak di dan dekat pintu masuk selatan Selat Malaka. Wilayah yang paling penting di antaranya adalah Singkep dan dua pulau Karimun.
Sebelum kedatangan Sultan Mahmud Syah di Lingga, pulau ini berada di bawah kekuasaan seorang kepala suku yang bergelar Orang Kaya, yang tunduk pada pemerintahan Johor. Populasi pulau pada saat itu lebih banyak daripada sekarang. Namun, ketika Sultan tiba, banyak penduduk yang meninggalkan pulau dan menetap di beberapa pulau kecil di sekitarnya. Warga asli memilih menjauh dari Sultan agar dapat terus melakukan aksi pembajakan di laut.
Orang Kaya dan saudaranya, yang bergelar Panglima Hamba Raja, yaitu Kepala Suku atas rakyat Raja, sekarang tinggal di pulau kecil Mepar yang terletak dekat Kuala Daik. Mereka memimpin kelas masyarakat yang berdedikasi pada bajak laut.

Sementara kepala Suku atau Batin dari pulau-pulau Sekanak, Baro, Penagar, dan Tamiang, yaitu pulau-pulau yang menjadi tempat tinggal asli orang Lingga, hanya tunduk pada kekuasaan Orang Kaya dan Panglima Hamba Raja., walaupun ada sistem pemerintahan kesultanan di sini.
Bagi bawahan mereka, diizinkan untuk melakukan serangan lintas dan menyerang semua kapal perdagangan asing. Hanya kapal-kapal yang berhasil melewati pulau Lingga yang terletak pada jarak dekat dari pelabuhan utama tanpa gangguan, tidak boleh lagi dihalangi lagi oleh mereka. Pendekatan pelabuhan telah dibuat aman dari semua sisi dengan cara yang sama.
Sultan yang sekarang berkuasa adalah Sultan Abdul Rahman Syah, putra Sultan Mahmud Syah.
Sultan ini sedikit terlibat dalam urusan pemerintahan. Ia menyerahkan urusan tersebut kepada Wakil Raja yang sekarang di Riau, yakni Raja Jafar. Sultan, menurut cerita para kerabatnya, telah sepenuhnya mengabdikan diri pada agama. Oleh karena itu tidak terlalu peduli dengan urusan duniawi.
Selama beberapa waktu lalu, Sultan Abdurrahman sempat tidak memiliki Regalia kesultanan, yang merupakan simbol resmi kekuasaan yang diakui secara sah berdasarkan aturan dan kebiasaan.
Salah satu istri ayahandanya, seorang putri Wakil Raja Bugis di Riau, memegang Regalia tersebut sebagai warisan setelah kematian suaminya. Tetapi dengan alasan bahwa ia tidak menerima perintah yang jelas dari suaminya saat menjelang kematian, ia menolak untuk menyerahkan Regalia tersebut kepada penerus tahta.
Sultan, tentu saja, sangat menghargai kepemilikan perhiasan kerajaan ini. Namun, baik permohonan saudara perempuan Sultan maupun permohonan orang lain, tidak memiliki efek apa pun. Hal ini membuat Sultan yang sekarang, karena ide politik yang aneh, kemudian memilih untuk meninggalkan aktifitas urusan kesultanannya.
Ia sempat membuat keputusan untuk tidak kembali ke Lingga sampai Engku Puteri Raja Hamidah (isteri ayah Sultan Abdurrahman, Sultan Mahmud, pen.) berkenan untuk menyerahkan Regalia tersebut.
Pada tahun 1820, ia berangkat ke Trengganu dan menikahi seorang putri Sultan di sana yang telah menjadi tunangannya sejak ayahandanya masih hidup. Namun, putri itu meninggal satu tahun setelah pernikahan mereka di Trengganu.
Setelah berada di Terengganu selama lebih dari tiga tahun, Sultan akhirnya mau kembali ke Lingga atas permintaan Pemerintah Belanda yang telah mendapatkan Regalia dari Engku Puteri Raja Hamidah.
Pemerintahan adalah warisan dalam garis keturunan laki-laki; penerus tahta yang akan datang disebut Tengku Besar. Putra sulung Sultan Abdurrahman yang sah ditunjuk untuk posisi itu.
Bagian-bagian wilayah dari kesultanan Melayu ini, diperintah oleh para bangsawan tinggi yang meskipun tunduk pada Sultan, mereka memerintah wilayah sesuai kehendak sendiri tanpa harus memberikan pertanggungjawaban kepada Sultan.
Jabatan mereka adalah warisan dalam keluarga mereka.
Di Johor, ada seorang Temenggung yang memerintah dan tinggal di Singapura. Di Pahang, seorang Bendahara atau Bendaharawan memerintah wilayah itu. Sementara di Riau dekat pulau Bintan, seorang bangsawan keturunan Bugis memerintah dengan gelar Raja Muda di pulau Penyengat.
Orang Bugis yang mengambil peran dalam pemerintahan kerajaan ini, awalnya mengunjungi Riau sejak awal untuk berdagang.
Daeng Cambodia adalah pangeran Bugis pertama yang diangkat menjadi Raja Muda. Hal ini terjadi pada tahun 1753, sebagai hasil dari kontrak persahabatan yang diperbarui antara Sultan Johor dan Raja Bone, yang ditandatangani pada tahun 1721, pada kesempatan akhir perang yang melibatkan Sultan dengan beberapa tetangganya, di mana ia dibantu secara efektif oleh bangsawan asal Bone tersebut.
Wakil Raja di Riau telah berhasil mendapatkan kepercayaan Sultan dengan kecerdasan mereka dan oleh karena itu selalu memiliki pengaruh besar pada pemerintahan.
Wakil Raja saat ini, Raja Jafar yang telah disebutkan, telah ditunjuk oleh Sultan sebagai wakil umum. Namun sayangnya, ia tidak menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya sebagaimana mestinya untuk membawa kerajaan ke keadaan makmur dan mencegah serta menghukum penyalahgunaan yang dilakukan oleh bangsawan.
Di bawah Sultan, seorang pejabat dengan gelar Selamatan memegang kekuasaan langsung di Lingga. Ia bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan keamanan di antara penduduk. Ia juga menegakkan hukum berdasarkan aturan yang dikenal sebagai Undang-Undang Johor.
Dengan hukum ini, hukuman ditentukan berdasarkan sifat kejahatan dan berfungsi sebagai pedoman dalam menilai semua kasus, baik perdata maupun pidana.
Sultan Lingga, sebagai keturunan raja-raja pertama yang memerintah atas bangsa Melayu, sangat dihormati oleh semua bangsawan lainnya di semenanjung dan wilayah lain di negeri ini. Jika saja para bangsawan yang berkuasa di wilayah-wilayah kewenangannya itu berpikiran sempit, maka mereka pasti akan memanfaatkan kemerdekaan yang sebenarnya telah mereka nikmati sejak tahun 1797, ketika Malaka diambil alih oleh Inggris. Namun, mereka bahkan tidak pernah memikirkan hal ini. Satu-satunya tujuan mereka tampaknya adalah untuk memperkaya diri dan untuk memastikan kehidupan yang nyaman serta santai saja.
Aktifitas Ekonomi di Perairan
BANGSA Melayu mencari nafkah terutama di laut; karena, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, mereka tidak terlalu menyukai pertanian. Aktifitas yang biasa mereka lakukan adalah pelayaran, perdagangan, penangkapan ikan, dan akhirnya; pembajakan laut.

Dalam membangun kapal, masyarakat ini sangat terampil dan menunjukkan banyak kecerdasan. Kapal-kapal mereka, memiliki berbagai bentuk dan ukuran, ringan dan cepat. Yang terbesar (yang terkadang memuat hingga 60 ton atau lebih) memiliki tiga tiang, yang lain memiliki dua.
Setiap tiang hanya memiliki satu layar terbuat dari tikar biasa (karung). Meskipun layar-layar ini ringan, mereka tidak dapat tetap berdiri tanpa bahaya bagi kapal dalam cuaca badai. Biasanya, layar segera diturunkan ketika angin kencang bertiup (yang sering terjadi di laut India, terutama selama musim barat), dan dalam hal ini, dayung menggantikan layar.
Jangkar yang digunakan, biasanya terbuat dari kayu berat dan hanya memiliki satu lengan. Sebuah batu diikatkan ke ujung atas untuk memberikan berat yang diperlukan. Sementara tali pengikat terbuat dari rotan yang dianyam, seperti semua tali yang digunakan pada kapal-kapal lain.
Dalam pelayaran mereka, orang Melayu tidak menggunakan kompas atau peta. Namun, mereka mengetahui arah angin dengan tepat dan memiliki istilah-istilah khusus yang dikenali di antara mereka. Patokan yang biasa dijalankan dalam pelayaran, mereka berusaha untuk tetap berada dalam pandangan daratan sebisa mungkin. Mereka juga memiliki pengetahuan yang tepat tentang jalur air di wilayah ini. Namun, jika mereka kehilangan pandangan daratan, ada beberapa titik di langit yang berfungsi sebagai pedoman bagi mereka.
PADA awal bagian ini, saya telah berbicara tentang kekuasaan Orang Kaya dari Mepar atas bajak laut Melayu, yang termasuk di wilayah Lingga. Saya akan melanjutkan topik ini untuk memberikan rincian lebih lanjut tentang mereka.
Al-Qur’an melarang semua jenis perampokan. Namun, masyarakat ini, betapa pun taatnya mereka pada agama mereka, tidak takut melanggar aturan itu. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan tampaknya, mereka tidak dapat memahami bahwa itu adalah kegiatan kriminal.
Para pelaut yang malang dan jatuh ke tangan mereka, biasanya dijual sebagai budak. Mereka yang berani melawan, biasanya akan berujung pada kematian yang tidak manusiawi. Saya telah mengenal seorang lelaki Melayu tua yang dengan jujur menyatakan bahwa dia telah membunuh 40 orang dengan tangannya sendiri selama aktifitas pelayarannya. Para bajak laut ini, biasanya sangat disukai oleh kalangan bangsawan.
Mereka melakukan pelayaran dengan cara berikut:
Seorang Panglima atau Kepala, yang memiliki satu atau lebih kapal, mendekati seorang penduduk di Lingga yang kaya dan punya kedudukan, untuk menawarkan jasanya. Orang yang kemudian ingin menggunakan jasa kelompok ini, kemudian melengkapi kebutuhan kapal-kapal tersebut untuk pelayaran dengan biaya mereka.
Panglima berjanji untuk menyerahkan dua pertiga dari semua yang dia rampok kepada pemodal kapal. Ia juga diwajibkan untuk menyerahkan semua senjata api Eropa yang diperoleh dari hasil rampokan kepada Sultan Lingga, dan mungkin masih memiliki beberapa kewajiban lainnya kepada Orang Kaya dan Panglima Hamba Raja di Mepar.
Kapal-kapal yang digunakan untuk kegiatan ini adalah yang disebut pendjajaps. Kapal tersebut dilengkapi dengan perisai kayu di haluan dan di atasnya dengan ketinggian yang cukup untuk menutupi pendayung di kedua sisi kapal. Para bajak laut juga dipersenjatai dengan beberapa potongan logam panjang dengan mulut sempit buatan lokal, yang disebut zilas.

Senjata itu bertumpu pada kaki besi yang dipasang di sisi kapal, dan dilengkapi dengan pegangan kayu atau gagang di ujungnya. Persenjataan lainnya terdiri dari senapan, tombak dan pedang. Jumlah awak kapal sebanding dengan ukuran kapal.
Bajak laut kemudian melakukan pelayaran tertentu setiap tahun ke perairan yang ramai dan paling sering dilalui di Kepulauan ini. Seperti pantai Jawa yang padat penduduknya. Mereka berlayar sekitar akhir musim barat dan kembali ke pulau-pulau di sekitar perairan Lingga menjelang akhir musim timur.
PENANGKAPAN ikan di pulau ini dapat dibagi menjadi kecil dan besar. Yang pertama, terbatas pada penangkapan ikan untuk konsumsi harian. Yang kedua untuk produk laut yang hanya diminati oleh pasar Cina, seperti Agar Agar, tanaman laut yang terkenal, Tripang, Kolong, dan Kamak serta
berbagai jenis ubur-ubur.
Objek-objek tersebut, biasanya ditemukan di terumbu karang di dekat tebing. Tripang biasanya menempel dan perlu menyelam untuk mengambilnya dengan tangan. Sampan atau perahu kecil dengan satu layar digunakan untuk penangkapan ikan kecil. Kapal itu dapat menampung dua atau tiga, kadang-kadang empat orang. Ikan ditangkap dengan menggunakan jala. Mereka biasanya.menggunakan bunyi-bunyian di air dari beberapa tempurung kelapa yang diikatkan pada tongkat untyk menarik perhatian ikan.

Nelayan berlayar di malam hari dan menjauhkan diri dari pantai, karena ikan terbaik dan terbanyak ditemukan di perairan yang sangat dalam. Mereka akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya dengan angin laut. Penggunaan perangkap ikan yang dipasang pada jarak kecil dari pantai untuk menarik ikan ke dalamnya, juga umum digunakan. Ikan ditangkap dengan menggunakan jaring lempar.
Untuk penangkapan ikan besar, kapal-kapal perdagangan biasa digunakan. Dikatakan bahwa bajak laut banyak melakukan kegiatan jenis ini. Terutama ketika mereka tidak berhasil dalam usaha mereka yang sebenarnya, sehingga mereka tidak pulang dengan tangan kosong.
Perdagangan, meskipun merupakan sumber kemakmuran bagi penduduk Lingga, namun memiliki kendala bagi orang asing. Terutama karena aktifitas para bajak lautnya. Kapal dari pedagang asing, perlu berjuang agar bisa sampai ke perairan di sekitar Kuala Daik agar terbebas dari ancaman para perompak. Mereka juga perlu waspada terhadap pengkhianatan, karena meskipun telah ada perjanjian antara Sultan dan Orang Kaya dari Mepar, kapal-kapal masih bisa diserang dan ditangkap dengan dalih pelanggaran atau tanpa peringatan.
Selain itu, pedagang asing juga perlu waspada terhadap kemungkinan pemerasan oleh Datuk Bandar atau pegawai pelabuhan dan pengutip cukai serta pejabat lainnya. Mereka terkadang meminta hadiah, dan membuat pedagang mengalami kesulitan dan masalah jika menolak atau tidak mampu memenuhi permintaan tersebut.
Kadang-kadang, mereka juga memaksa pedagang untuk menjual muatan yang dibawa hanya kepada mereka dengan harga yang telah ditentukan secara sewenang-wenang. Mereka kemudian menjualnya dengan keuntungan besar kepada pedagang Cina dan pedagang lainnya. Dengan cara ini, mereka memonopoli perdagangan di sini.
Mereka berpikir bahwa dengan melakukan ketidakadilan ini, mereka dapat memperbaiki kekurangan dalam peraturan perdagangan dan pelayaran. Peraturan tersebut memang sangat kurang, dan ini memberikan kesempatan bagi pedagang yang cerdas untuk menipu otoritas di Lingga.
KEBUTUHAN pokok masyarakat di Lingga, dipasok oleh orang Cina dari Jawa dan beberapa orang Madura. Seperti misalnya kebutuhan beras, minyak, gula, tembakau, produk besi tempa lokal, dan kain linen. Orang Bugis (pedagang utama dan paling berani di Kepulauan) membawa opium, lilin, dan pakaian Bugis yang sangat dihargai karena keawetannya.
Setiap tahun, satu atau dua kapal jung Cina atau wankang muncul di perairan ini. Mereka membawa teh hitam, porselen Cina, cat, sutra mentah, kertas, dan banyak barang lainnya yang sebagian besar hanya cocok untuk digunakan oleh penduduk Cina.
Juga pedagang dari Siam. Beberapa kapal jung datang setiap tahun membawa beras, garam, dan produk lainnya. Produk dan barang dagangan yang dijual dari Lingga adalah gambir, lada, timah, kayu halus, balok tiang, pakaian sutra tenun, dan bahan sutra lainnya. Termasuk agar-agar dan tripang, yang biasanya dibeli oleh orang Cina.
Kadang-kadang, biasanya secara kebetulan, kapal Eropa juga datang ke sini dan memenuhi kebutuhan akan opium dan produk manufaktur Eropa. Seperti senjata, wol dan kain linen. Sebagai gantinya, kapal tersebut membawa sejumlah kecil rotan, timah, dan lada.
Barang-barang yang diimpor ke Lingga, sebagian dikonsumsi oleh penduduk dan sebagian dibawa kembali ke pulau-pulau di sekitarnya. Pelayaran dan perdagangan orang Melayu sendiri mencakup Jawa, Pulau Pinang, Malaka, dan tempat-tempat perdagangan lainnya di Semenanjung, hingga pantai timur Sumatra dan pantai selatan dan barat Kalimantan.
Mereka membawa produk-produk pulau mereka dan sebagai gantinya memperoleh apa yang mereka butuhkan.
Pengangkutan barang di wilayah ini, dilakukan melalui air, dengan menggunakan kapal-kapal sempit dan datar, dengan panjang 12 hingga 30 kaki. Kapal-kapal ini didorong oleh dua atau tiga orang dengan menggunakan dayung.
Mata uang yang digunakan di sini adalah mata uang Spanyol, rupee Jawa dan Sicca, gulden, serta semua koin perak dan tembaga Belanda lainnya. Koin emas tidak digunakan di sini.
(*)
Selesai
Baca : Pulau Lingga dan Penduduknya: Catatan C. Van Angelbeek 1819″ (Bagian 1)
Baca : Pulau Lingga dan Penduduknya: Catatan C. Van Angelbeek 1819″ (Bagian 2)