Bojan: ‘Pulo Boedjang’ yang Pernah Jadi Ibukota Batam
Pemerintahan di Kepulauan Batam Era Kolonial (Masa Kesultanan Riouw Lingga dan Sesudahnya)
“Ikhwal nama pulau Bojan di Kepulauan Batam menurut P.A. Van der Lith, sebenarnya berawal dari kesalahan penyebutan pada dokumen-dokumen Inggris sebelumnya yang menuliskan pulau kecil itu dengan nama ‘Bojan’. Nama sebenarnya adalah ‘Pulo Boedjang’ yang berarti ‘Pria yang belum menikah’.
…
” … Semakin sentralisasi, semakin sedikit kepala, semakin sedikit perbedaan dalam tindakan pemerintahan, dan semakin mudah pengawasan serta pengaruh …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
PULAU Bojan atau Boyan, tidak lebih luas dari pulau Boeloeh yang terletak di hadapan, di sisi barat daya pulau Batam. Saat ini dihuni tidak lebih 10 Kepala Keluarga. Sebagian besar merupakan suku laut yang sudah hidup menetap. Namun, lebih seratus tahun silam, pulau kecil itu merupakan ibukota dan pusat administrasi untuk mengontrol tata pemerintahan Kepulauan Batam yang berstatus onderafdeeling zaman kolonial Belanda.
Kepulauan Batam dikelola dalam tata pemerintahan sendiri menyusul terbitnya ketetapan bersama antara kesultanan Riouw Lingga dan pemerintah kolonial pada 29 Oktober 1830.
BERDASARKAN Arsip dokumen Belanda : “Enclyclopedia Netherland Indische” bagian pertama, bab pengaturan : ‘Riouw En Onderhoorigheden‘, pengelolaan sistem pemerintahan di wilayah negeri Riouw Lingga dan daerah taklukannya paska perjanjian London 1824, mengacu pada ketetapan yang dikeluarkan pada tahun 1830.
(baca artikel : “Lintas Masa Tata Pemerintahan di Negeri Riouw Lingga‘).
Kebijakan dan penetapan pada bulan Oktober 1830 itu, menjadi babak baru sistem pengaturan pemerintahan di wilayah Riouw Lingga dan negeri taklukannya, setelah selama 6 tahun sejak perjanjian London 1824, hak dan wewenang kesultanan Riouw Lingga belum diatur secara jelas.
Sementara mengutip buku panduan ‘Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie‘ bagian pertama edisi cetak ke-5 tahun publikasi 1895, aturan kewenangan tersebut berlaku mulai 29 Oktober 1830 di wilayah kesultanan Riouw Lingga yang meliputi : Kepulauan Bintan, Kepulauan Lingga, Kepulauan Batam, Kepulauan Karimon, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natoena dan Kepulauan Serasan.
Aturan berlaku di seluruh wilayah Karesidenan Riouw Lingga, tapi tidak termasuk wilayah utama Residen Riouw di Tanjungpinang serta Kerajaan Inderagiri dan bentang wilayah Reteh, Kateman, Mandah dan wilayah Sumatera Timur lainnya.
SEMENTARA itu, untuk wilayah Kepulauan Batam, pengelolaan wilayah sesuai dokumen: ‘Riouw En Onderhoorigheden‘ yang disusun oleh P.A. Van der Lith, A.J. Spaan dan F. Fokken, dikepalai oleh seorang Controleur (setara wedana, pen.) Berkedudukan di pulau Bojan (pulau Boyan, dekat pulau Buluh, pen).
Wilayah kepulauan Batam saat itu meliputi seluruh pulau utama Batam dan pulau-pulau di sekitarnya hingga ke perbatasan daratan Sumatera bagian timur.
“Batam atau Kepulauan Battam. Di bawah nama ini berarti gugusan pulau yang dinamai berdasarkan pulau utama, Batam, dibatasi sebelah utaranya adalah selat Singapura, ke arah selatan adalah selat Riouw yang melalui selat Dempo dan bagian dari selat Durian, (wilayahnya) membentang antara dekat Doerei dan daratan Sumatera, dan ke arah barat melalui Selat Durian. Terdiri dari banyak pulau-pulau, sebagian berpenghuni, sebagian lagi tidak berpenghuni, yang mengelompok dan tersebar di kelompok pulau-pulau besar di sekitarnya dan dinamai berdasarkan pulau utama yang telah bernama …” (P.A. Van der Lith, A.J. Spaan dan F. Fokken – “Riouw En Onderhoorigheden”)

Menurut P.A. Van der Lith dan rekan, penduduk kepulauan Batam saat ditetapkan dalam pengaturan kewilayahan tersendiri di bawah Controleur, masih tergolong jarang.
Sebagian besar wilayahnya tidak berpenghuni. Beberapa kelompok yang tinggal di pesisir adalah ‘Orang Laoet‘, juga ada orang Bugis yang memiliki pengaruh besar secara sosial serta orang Tionghoa yang menguasai perekonomian. Di bagian lebih ke darat, kelompok orang darat yang masih primitif, menghuni beberapa pulau besar kepulauan Batam. Seperti di pulau Batam, Rempang dan Galang.
Seorang Controleur berkebangsaan Belanda, mengatur wilayah Kepulauan Batam dari pulau kecil, Bojan, yang terletak di hadapan pulau Boeloeh (di sisi barat daya pulau utama, Batam pen.)
Dalam dokumen tertulis:
“Bojan. Hoofdplaats van de afdeeling Batam (Bojan. Pusat pemerintahan Afdeling Batam) …”
Selain sebagai lokasi kedudukan Controleur untuk wilayah afdeling Batam, pulau Bojan disebutkan juga sebagai lokasi bermukim ketua kelompok masyarakat Tionghoa di wilayah kepulauan Batam masa itu berpangkat letnan.

Walau dalam dokumen “Enclyclopedia Netherland Indische” bagian pertama, bab pengaturan : ‘Riouw En Onderhoorigheden’, kepulauan Batam ditulis sebagai sebuah Afdeeling tersendiri bersama Karimoon (Karimun) dan kepulauan Lingga, pada prakteknya tata pemerintahan Kepulauan Batam masa itu berada di bawah kendali Afdeeling (setara kabupaten, pen.)
Tandjoengpinang dengan status sebagai sebuah Onderafdeeling (setara Kawedanan, pen) dengan jabatan Controleur (Pengawas, warga negara Belanda) sebagai pimpinannya dan berlokasi di pulau Bojan.
Ikhwal nama pulau Bojan di Kepulauan Batam menurut P.A. Van der Lith, sebenarnya berawal dari kesalahan penyebutan pada dokumen-dokumen Inggris sebelumnya yang menuliskan pulau kecil itu dengan nama ‘Bojan‘. Nama sebenarnya adalah ‘Pulo Boedjang‘ yang berarti ‘Pria yang belum menikah‘.
MERUJUK kesepakatan pemerintah kolonial Belanda dan pihak kesultanan Riouw Lingga pada 1830, dalam menjalankan tugasnya di wilayah onder afdeling Batam, Controleur di pulau Bojan didampingi oleh para kepala wilayah pribumi sebagai perwakilan kerajaan.
Berdasarkan Besluit dd. 1 October 1869 no. 5. Reorganisatie 94. van het bestuur in het rijk van Lingga, Riouw en onderhoorigheden, tiga wilayah di Kepulauan Batam pada 1870, telah memiliki wakil kerajaan. Sebelumnya, wilayah Nongsa telah ada wakil pribumi kerajaan sejak sekitar tahun 1856 berdasarkan catatan pejabat dalam negeri Hindia Belanda, Baron Van Hoevel.
Masing-masing adalah Wakilschap Nongsa, wakilschap pulau Boeloeh serta Wakilschap pulau Soelit. Wakilschap Soelit disebutkan merupakan wilayah paling luas di area Kepulauan Batam, yakni meliputi kepulauan Doerei (Durai, pen) hingga wilayah Kateman di Sumatra Pantai Timur.
(Baca : Lintas Masa Tata Pemerintah di Negeri Riouw Lingga, 1830 – 1911)
Para Wakilschap merupakan orang-orang yang ditunjuk oleh Raja Muda (Yang Dipertuan Muda/YDM) sebagai wakil kesultanan Riouw Lingga yang mengelola administrasi pemerintahan kesultanan. Selain diawasi langsung oleh YamTuan Muda Riouw di pulau Penyengat, para wakil kerajaan tersebut juga diawasi oleh Controleur Belanda dari pulau Bojan. Sementara sistem penggajian para wakil kerajaan pada masa ini, bersumber dari YamTuan Muda Riouw di Penyengat.
Wakilschap Nongsa sebagai pembantu pengawas untuk wilayah Batam bagian timur, mulai Sei Ladi, Djodo, Singkoewang, Belian, Doeriangkang, Nongsa hingga wilayah Telaga Poenggoer. Awalnya, ditangani dari kampung Nongsa pada masa kepemimpinan Raja Yakub hingga menjelang tahun 1880. Kemudian, saat digantikan oleh anaknya, Raja Mohammad Saleh atau dikenal juga sebagai Raja Mahmud, yang bersangkutan mengelola wilayahnya dari Kampung Bagan. Dengan status Apanase, Wakilschap Nongsa memiliki hak untuk mengutip langsung pendapatan cukai yang ada di wilayah itu.
Kisah tempat tinggal Raja Mahmud alias Raja Muhammad di Kampung Bagan, akan disampaikan pada artikel berbeda di situs ini.
“Wilayah Nongsa sebelumnya diberikan status apanase kepada seorang wakil raja bernama Raja Yakub yang tinggal di Nongsa. Tetapi karena usia dan ketidakmampuan, ia digantikan oleh putranya, Raja Mohammad Saleh, yang biasa disebut Raja Mahmoed. Yang bersangkutan tinggal di kampung Bagan“. (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel – 1882)
Wakilschap pulau Boeloeh sebagai pembantu pengawas untuk wilayah pulau Boeloeh dan sekitarnya, pulau utama Batam di bagian barat daya termasuk Sagulung, Batoe Hadji, kepulauan sekitar Blakan padang, Tanjoengpinggir, Teban (Tiban) hingga pulau Setoko, Rempang dan Galang. Pada tahun 1880 sesuai catatan J.G. Schot, wilayah ini dipercayakan kepada wakil kerajaan bernama Raja Osman dan tidak berstatus apanase. Segala kutipan pajak langsung dilakukan oleh perwakilan kerajaan dari Penyengat
Wakilschap Soelit sebagai pembantu pengawas untuk wilayah pulau Cembul (Tjombol, pen), Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shalar), Sandam, dan Durai serta Kateman di pesisir timur pulau Sumatra. Awalnya, wilayah ini ditangani oleh wakil kerajaan bernama Raja Husin. Namun, karena usia, ia kemudian menawarkan puteranya, Raja Hadji Osman untuk menangani dalam status wilayah ini sebagai apanase. Beberapa tahun kemudian, Raja Hadji Osman meninggal dan digantikan kerabatnya, Raja Abdul Hadi. Pada tahun 1880, karena terbukti melakukan penyimpangan kekuasaan, Raja Abdul Hadi akhirnya dipecat oleh YamTuan Muda Riouw atas saran Kontroleur Belanda yang mengawasi dari pulau Bojan. Wilayah kepulauan Soelit, kemudian ditangani oleh wakil kerajaan bernama Raja Ali di bawah wewenang Raja Mat Tahir. Status apanase di wilayah Soelit kemudian dicabut dan pengutipan pajak kembali dilakukan langsung oleh pihak Kerajaan di pulau Penyengat.
Wilayah Pemerintahan Kepulauan Batam Diperkecil
TATA pemerintahan di afdeeling (Onder) kepulauan Batam diubah lagi pada 1880. Menurut Kontroleur kepulauan Batam masa itu, J.G. Schot, wilayah pemerintahan pribumi/ Wakilschap di Kepulauan Batam hanya bersisa 2.
Wakilschap Nongsa mengawasi dan mengelola wilayah Batam bagian timur; mulai Sei Ladi, Djodo, Singkoewang, Belian, Doeriangkang, Nongsa hingga wilayah Telaga Poenggoer dan berpusat di kampung Bagan.
Wakilschap pulau Boeloeh mengawasi dan mengelola wilayah pulau Boeloeh dan sekitarnya, pulau Batam di bagian barat daya termasuk Sagulung, Batoe Hadji, kepulauan sekitar Blakan Padang, Tanjoengpinggir, Teban (Tiban) serta beberapa wilayah yang sebelumnya di bawah Wakilschap Soelit (pulau Cembul/Tjombol, Kepala Jeri, Kasu dan sekitarnya, pen.) Pusat pengelolaan ada di pulau Buluh (Boeloeh, pen).
Wilayah pulau Setoko, Rempang, Galang dan sekitarnya pada masa ini menjadi wilayah di bawah pengawasan langsung Afdeeling Tandjoengpinang.
Sementara wilayah Wakilschap Soelit yang sebelumnya masuk dalam pemerintahan Kepulauan Batam, dibagi pengelolaannya di bawah Afdeeling Carimoon (Karimun, pen) serta Indragiri. Sebagian lainnya, terutama di wilayah dekat perairan Tjombol, masuk dalam pengawasan Wakilschap Pulau Boeloeh, kepulauan Batam.
Wilayah pemerintahan pribumi pada Wakilschap pulau Boeloeh dan kepulauan Soelit, disatukan atas perintah Kolonial Belanda di Tandjoeng Pinang dengan pertimbangan kesamaan kepentingan. Tugas penanganan wilayah mulai tahun itu, dilakukan secara bersama oleh Raja Mat Tahir, Raja Osman dan Raja Ali yang membagi sendiri area kewenangan mereka di wilayah ini.
“… Namun, belakangan ini, karena Radja Osman dari Boeloeh semakin tua dan kepentingan Boeloeh dan Soelit tidak lagi berbeda, kedua wilayah tersebut diperintah secara bersama-sama oleh Radja Mat Thahir, Osman, dan Ali. Mereka membagi tugas di antara mereka, kadang-kadang berada di Boeloeh, Soelit, atau Tholoep. Radja Osman biasanya berada di Penjingat, sehingga sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh Radja Mat Thahir dan Ali …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
Berdasarkan catatan pejabat keuangan Kolonial Belanda, E. De Waal saat itu, koordinasi antar pemerintahan pribumi di masing-masing Afdeeling seperti yang disarankan pemerintah kolonial Belanda, tidak pernah diindahkan oleh pihak kesultanan. Pemerintahan lokal pribumi menurutnya, masih berjalan tanpa koordinasi pihak Kerajaan, selain pengutipan pajak.
“… tidak ada perubahan signifikan dalam kondisi kerajaan. Pemerintah Hindia Belanda telah berulang kali menekankan pentingnya mengadakan pertemuan rutin dengan wakil-wakil untuk membahas urusan pemerintahan dan melaporkan kemajuan mereka. Sayangnya, saran ini belum pernah diindahkan …” (E.De Waal – Onze Indische Financhien, 1884).
Sementara itu, pengembangan desentralisasi pemerintahan pribumi yang lambat di wilayah kesultanan Riouw Lingga hingga 1882, khususnya di Kepulauan Batam menurut J.G. Schot, pada akhirnya justeru berdampak positif pada ketertiban pemerintahan secara umum. Kondisi itu memudahkan pemerintah Belanda untuk melakukan pengawasan yang tepat dan memberikan pengaruh yang baik.
“… Semakin sentralisasi, semakin sedikit kepala, semakin sedikit perbedaan dalam tindakan pemerintahan, dan semakin mudah pengawasan serta pengaruh …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
DENGAN begitu, menjelang akhir abad 19 dan awal abad 20, wilayah kawedanan Kepulauan Batam tinggal menyisakan wilayah pulau Batam, Boelang/ Boelan serta pulau-pulau penyangga di sekitarnya (pulau Boeloeh, Blakan Padang, Samboe, Kepala Jeri Pemping dan beberapa lainnya, pen).
Dalam tata pemerintahan di negeri Hindia Belanda secara umum masa itu, pemerintah Hindia Belanda umumnya membiarkan penguasa lokal menjalankan pemerintahannya sendiri (zelfbestuur) seperti sebelum ditaklukkan. Namun, kedudukannya menjadi bagian aparatur administrasi kolonial serta harus melapor kepada Kontroleur atau wedana bangsa Belanda.
Tugas utama pemerintahan pribumi secara umum di wilayah kesultanan Riouw Lingga yang merupakan protektorat Belanda pada masa itu adalah mengurus pendapatan Sultan dan YamTuan Muda. Sementara masalah penanganan keamanan dari perompakan, telah diambil alih oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1869.
(Baca: “Lintas Masa Tata Pemerintahan di Negeri Riouw Lingga’“)
Pembubaran afdeling (Onder) Batam
SISTEM pemerintahan Afdeeling (Onder) Batam yang berpusat di pulau Bojan, akhirnya dibubarkan pada akhir tahun 1906. Informasi dari surat kabar ‘De Locomotief‘ edisi terbit 6 Desember 1906, memuat keputusan pemerintah kolonial Belanda saat itu. Terhitung mulai 1 Januari 1907, pemerintahan Onderafdeeling Batam dilebur dalam pengelolaan Afdeeling Tandjoeng Pinang.

” … pulau Boelang dan Batam yang saat ini termasuk dalam pengelolaan sistem pemerintahan di sana dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dimasukkan ke dalam afdeeling Tandjong Pinang. Sementara wilayah lainnya di bawah pengawasan Karimon…” demikian salah satu petikan informasi di surat kabar ‘De Locomotief‘ edisi 6 Desember 1906.
Dengan keputusan tersebut, pulau Bojan yang selama ini menjadi ibukota pemerintahan Afdeeling (Onder) Batam, dialihkan menjadi pangkalan laut. Pejabat controleur-nya ditarik ke Tandjoeng Pinang dengan posisi baru sebagai petugas kepolisian warga negara Belanda di Residensi Riouw Lingga di kota Tandjoeng Pinang.
Informasi pemberitahuan tentang pembubaran pemerintah Afdeeling (Onder) kepulauan Batam, kembali disampaikan dalam surat kabar ‘De Locomotief‘ edisi terbit 21 Desember 1906. Sesuai keputusan pembubaran pemerintahan di Batam, Pemerintah Kolonial Belanda telah menerbitkan surat perintah pada 17 Desember 1906 yang berisi pengalihan daftar status sipil warga di Kepulauan Batam yang masih tersimpan di ibukota pulau Bojan, agar dialihkan ke kantor catatan sipil di ibukota utama, Afdeeling Tandjoengpinang.
Mulai saat itu, pengelolaan dan kontrol sistem pemerintahan di Kepulauan Batam, ditangani langsung dari Afdeeling Tandjoeng Pinang.
Informasi ini sejalan dengan catatan pejabat pengendali dewan dalam negeri Residen Riouw Lingga, P. Wink, pada dokumen yang dipublikasi tahun 1929. Wink menyebut bahwa wilayah pemerintahan kepulauan Batam yang sebelumnya merupakan Onderafdeeling tersendiri, telah dilebur dalam wilayah afdeeling Tandjoengpinang, dimana ibukota Afdeeling serta Residensi juga berada di wilayah yang sama.
Beberapa tahun setelah pembubaran pada 1906, pemerintah kolonial membentuk Afdeeling (Onder) baru di Tandjoeng Pinang untuk mengurus wilayah kepulauan Batam dan Karimon.
Untuk membantu menjalankan sistem pemerintahan sementara di Kepulauan Batam, dibentuk pemerintahan District (pembantu Afdeeling) Batam yang berpusat di Telaga Poenggoer dengan pejabat orang Belanda. Sementara pemerintah keamiran pribumi yang ada di Batam sejak saat itu, dilebur menjadi satu Amir saja, yakni Amir pulau Buluh/ Boeloeh yang menangani seluruh wilayah kepulauan Batam.
SEIRING berakhirnya era kesultanan Riouw Lingga dengan pembubaran kesultanan pada 1911, pengaturan tata pemerintahan di wilayah residensi Riouw Lingga dan wilayah Depensinya mengalami perubahan kembali. Terutama pada penetapan pejabat Amir di wilayah Residensi Riouw Lingga.

Dalam dokumen yang ditulis P. Wink tahun 1925 dan dipublikasi pada 1929: “Mededeelingen Van Deaffeeling Bestuurs Zaken Der Buitengewesten Van Het Department Van Binnenlandsch Bestuur” Serie B, ia menyebut bahwa wilayah keamiran (Wakilschap) di Batam yang sebelumnya telah ada sejak era kesultanan, diberlakukan kembali paska keputusan pembubaran kesultanan Riouw Lingga pada 1913. Namun, mereka dikontrol oleh pemerintahan afdeling Tandjoengpinang.
Untuk penggajian Amir yang sebelumnya menjadi tanggungjawab Yang Dipertuan Muda/ YDM, menjadi tanggungjawab pemerintah kolonial Belanda. Penggajian Amir oleh pemerintah kolonial menurut P. Wink, bahkan sudah dilakukan sejak tahun 1908 atau satu tahun sejak restrukturisasi sistem pemerintahan tingkat kawedanan di wilayah ini.
“… para Amir adalah penerus wakil-wakil kerajaan. Pengangkatan mereka dimulai pada tahun 1907, atau setidaknya sejak masa periode kesultanan. Setelah kesultanan diambil-alih, Amir berada di bawah pimpinan Onderafdeeling di Tandjong Pinang), kecuali Tambelan …” (P. Wink – Mededeelingen Van Deaffeeling Bestuurs Zaken Der Buitengewesten Van Het Department Van Binnenlandsch Bestuur, 1929)
Sementara itu, pejabat Amir yang sebelumnya selalu diisi oleh para kerabat serta keluarga besar Yang Dipertuan Muda, mulai dibagi ke kelompok masyarakat pribumi lain.
P. Wink mencatat, di beberapa wilayah keamiran di Riouw Lingga pada tahun 1925, sudah diisi oleh orang pribumi non kerabat Raja Muda. Beberapa Amir diisi oleh kaum pribumi keturunan Minang dan juga Palembang.
Untuk wilayah bekas Onderafdeeling Kepulauan Batam paska pembubaran pada tahun 1907, koordinasi keamiran dibantu dari distrik (pembantu kecamatan, pen.) yang berpusat di Telaga Poenggoer.
Masih menurut P. Wink, dengan penetapan pejabat keamiran baru sesuai catatan tahun 1925, pusat distrik Batam yang saat itu telah berada di Telaga Poenggoer, segera dibubarkan.
Keamiran Batam yang tinggal menyisakan satu di Poelaoe Boeloeh, akan langsung dikontrol dari Onderafdeeling Tandjoengpinang yang telah dibentuk sebelumnya untuk mengelola wilayah Kepulauan Batam serta Karimon.
“Penunjukkan kembali (pejabat, pen.) amirschap di Batam akan membubarkan pusat distrik Telaga Poenggoer …” (P. Wink, 1925)
Penataan ulang tata pemerintahan yang diberlakukan pemerintah Kolonial Belanda di Kepulauan Batam saat itu, juga berimbas pada penataan ulang para pejabat di bawah Amir yang terdiri dari ketua Kampung, Batin dan pemimpin tradisional lain di wilayah Kepulauan Batam saat itu.
Dalam catatan P. Wink pada tahun 1925, di wilayah keamiran Kepulauan Batam yang berpusat di Poelaoe Boeloeh; terdapat 7 orang Batin, 4 orang Penghoeloe dan 2 kepala Kampong. Sementara jumlah penduduk kepulauan Batam yang wilayahnya dilebur dalam Onderafdeeling Tandjoengpinang berjumlah 8890 jiwa.
Berdasar Residentsbesluit nomor 71 tanggal 19 Februari 1925, untuk wilayah Kepulauan Batam yang dimasukkan dalam Onderafdeeling Tandjoeng Pinang, diketahui jabatan Amir Poelaoe Boeloeh adalah Tengkoe Nong Kelana.
Sistem penggajian Amir dan pimpinan masyarakat lain di bawahnya dalam wilayah Onderafdeeling Tandjoeng Pinang, sejak tidak di bawah kendali Yang Dipertuan Muda Riouw (Batin, Penghoeloe dan kepala Kampong, pen ) ditangani melalui sebuah komite yang berada di Tandjoeng Pinang. Komite tersebut beranggotakan 17 orang, termasuk orang Eropah, pribumi, Cina dan India. Mereka mengelola pendapatan wilayah yang terdiri dari uang pakatan, sumbangan sukarela dan pajak usaha serta pajak perkebunan di seluruh wilayah Onderafdeeling Tandjoeng Pinang.
PADA era paska kemerdekaan RI, pembagian wilayah dan tata pemerintahan di Kepulauan Batam, meneruskan yang telah berlaku sebelumnya, dimana Kepulauan Batam ditangani dari Poelaoe Boeloeh dalam status kecamatan yang membawahi dua desa, yakni desa pulau Boeloeh dan desa Nongsa pada dekade 1950-an. Batasan wilayahnya serupa zaman keamiran era kolonial.
Kepulauan Batam masa ini berstatus sebuah kecamatan di bawah kabupaten Kepulauan Riau dan beribukota di pulau Boeloeh pada dasawarsa 1950-an, sebelum dipindahkan ke Blakang Padang pada tahun 1957.
Baca : “Sambu; Melintas Waktu“
Hingga awal dekade 1980-an, status Batam masih tetap kecamatan, sampai terbentuknya pemerintahan administratif kota Batam pada 24 Desember 1983 yang menandai era baru kemajuan tata pemerintahan Kepulauan Batam sebagai sebuah pemerintahan berjenjang Kota.
Pulau Boedjang’, Kini
PULAU ‘Boedjang‘ atau pulau Bojan yang pernah punya peran vital sebagai ibukota kepulauan Batam masa lalu, kondisinya kini sunyi. Tak banyak lagi geliat kehidupan di sana. Hanya ada kurang dari 10 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami. Rata-rata merupakan keturunan suku laut yang telah hidup menetap.

Mereka mendiami bagian pesisir pulau kecil itu dengan rumah-rumah berbentuk panggung. Tidak ada infrastruktur umum di sana, kecuali sebuah mushala kecil yang dibangun secara swadaya oleh warga.
“Itu mushala yang bangun pak Ambalo (alm. Imbalo Iman Sakti, seorang warga Batam pen) beberapa tahun lalu. Tapi jarang digunakan warga sekarang”, sebut Rohana, seorang wanita paruh baya yang tinggal sebatang kara di rumah panggung tua warisan orangtua di pulau Boyan.
Rohana yang sudah berusia di atas 50 tahun itu, merupakan anak bungsu dari warga suku laut bernama Panjang. Seluruh saudaranya memutuskan pindah dari pulau kecil itu karena sulitnya kehidupan dan minimnya fasilitas. Ia sendiri memutuskan bertahan demi menjaga makam kedua orangtuanya di sini.
Cerita lengkap tentang kondisi pulau Boyan masa kini, bisa disimak pada video dokumenter berikut :
(*)
Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian I – IV) – Bintoro Suryo
3 minggu ago[…] Bojan: ‘Pulo Boedjang’ yang Pernah Jadi Ibukota Batam […]
Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian I – IV) - GoWest.ID
3 minggu ago[…] Secara umum, pada masa itu, Schot mendefinisikan kepulauan Batam (Battam Archipel) sebagai sebuah gugusan kepulauan, merupakan wilayah kerja pemerintahan kolonial Belanda berstatus Afdeeling (Onder) yang berpusat di pulau Bojan (baca : Bojan: Pulo Boedjang’ yang Pernah Jadi Ibukota Batam). […]