“Makyong Di Alur Sejarah” | “Dari Patani Hingga ke Batam”

MAK Yong adalah salah satu jenis kesenian Melayu yang menggabungkan unsur-unsur ritual, tari, nyanyi, dan musik dalam pementasannya. Dalam pertunjukkannya.

Di laman Kebudayaan Kemendikbud.go.id, Mak Yong dijelaskan sebagai pertunjukan yang mempertemukan antara pemain dan penonton.

Dengan perkataan lain, pementasannya mempertemukan pemain dengan penonton dalam ruang, waktu, dan tempat yang sama. Kesenian ini berasal dari daerah, yang dari segi budaya, termasuk rumpun Melayu, yaitu daerah Nara Yala, Patani pada sekitar abad ke-17.

Menurut Pudentia (2000), Mak Yong kemudian menyebar ke daerah Kelantan (sekitar 200 tahun yang lalu), tetapi tanpa memakai topeng seperti di tempat asalnya.

Dari Kelantan ini, Mak Yong kemudian menyebar ke Indonesia, yaitu ke daerah Bintan dan Batam melalui Tanjung Kurau (Singapura).

Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu, Mak Yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau dan Sumatra Utara, Indonesia.

Di Kepulauan Riau, Mak Yong dibawakan penari yang memakai topeng. Berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng.

Pertunjukan Mak Yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana.

Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan Mak Yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.

Dalam alur sejarah

ISTANA kerajaan Melayu menjadi pelindung seni tari Mak Yong sejak paruh kedua abad ke-19 sampai tahun 1930-an.

Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman tanah sawah milik raja untuk dikerjakan.

Kemunduran ekonomi kesultanan akibat kedatangan Inggris di Kelantan, menyebabkan kesultanan tidak bisa lagi menjadi pelindung kelompok pertunjukan Mak Yong.

Akibatnya di awal abad ke-20, tari Mak Yong mulai berkembang bebas di desa-desa.

Pertunjukan Mak Yong tanpa patron pihak kerajaan menyebabkan mutu pertunjukan semakin merosot. Terutama setelah terjadi bencana banjir besar di Kelantan yang terkenal sebagai Banjir Merah tahun 1926 hingga tahun 1950-an.

Selain itu, nilai estetika tradisional Mak Yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara joget bersama. Penonton naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk mak yong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk berjoget.

Di pihak kelompok Mak Yong, nilai moral penari juga mulai merosot. Tidak jarang terdengar kisah-kisah sumbang yang terjadi antara kalangan penari dengan penonton selepas pertunjukan. Keluarga penari Mak Yong juga menjadi berantakan, perceraian menyebabkan anak-anak menjadi telantar.

Penari Mak Yong malah banyak yang bangga dengan jumlah suami yang dimiliki. Publik mempertanyakan nilai moral di kalangan penari sehingga citra penari makin merosot. Keadaan ini membuat citra kesenian mak yong semakin hancur.

Di akhir tahun 1960-an, kelompok tari Mak Yong sudah tidak bisa dijumpai lagi. Orang yang berniat mempelajari tari Mak Yong jauh menyusut. Kebudayaan barat yang melanda masyarakat Malaysia makin menenggelamkan kesenian ini. Kalau ada pun pertunjukan Mak Yong yang diadakan pada peristiwa penting seperti Hari Keputeraan Sultan, pertunjukan hanya dikerumuni orang-orang tua.

Mak Yong di Indonesia

MAK Yong berkembang di Indonesia melalui Riau, Lingga, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor.

Perbedaan dengan Mak Yong di Kelantan yang tidak menggunakan topeng, Mak Yong di Batam dan Bintan menggunakan topeng untuk sebagian karakter dayang Raja, Puteri, penjahat, setan, dan semangat, sama seperti yang dipraktikan di Nara Yala.

Pada akhir abad lalu, Mak Yong bukan saja menjadi pertunjukan harian, tetapi juga sebagai adat istiadat raja memerintah.

Mak Yong juga digunakan untuk merawat orang yang sakit. Praktik ini tidak lagi dipraktikan termasuk pula di Indonesia.

Di antara orang terakhir yang mempraktikan Mak Yong untuk merawat pasien adalah Tuk Atan di Bintan dan Pak Basri di Batam, keduanya telah meninggal.

Bagaimanapun, Mak Yong masih dipersembahkan dengan adat istiadat di panggung.

Mantra yang dilakukan, diwariskan dari seseorang kepada pewarisnya.

Sekarang di Batam dan Bintan, praktisi Mak Yong merupakan generasi ketiga dan telah ada hampir selama 150 tahun dan menghadapi ancaman kepunahan. Indonesia telah mengambil langkah memelihara Mak Yong dengan melancarkan program merekam tradisi ini dengan bantuan Persatuan Tradisi Lisan dan membantu para praktisi Mak Yong melanjutkan pertunjukan mereka dengan bantuan peralatan dan pakaian. Rekaman tersebut disimpan di Kantor Persatuan Tradisi Lisan dan PUSKAT di Jakarta (Yogyakarta).

Mak Yong di Batam

PIMPINAN Sanggar Seni Warisan Pantai Basri di Batam, Abdullah Basri di laman batam.go.id beberapa waktu lalu mengatakan, Mak Yong adalah seni teater tradisional yang masih digemari sampai sekarang di Batam dan sering tampil dalam pertunjukkan kebudayaan. Seperti, Kenduri Seni Melayu (KSM) yang digelar rutin setiap tahunnya di Kota Batam.

Teater khas Melayu ini mementaskan tokoh pria dengan memakai topeng yang disesuaikan dengan karakter yang dibawakannya.

“Mak Yong itu teater yang menceritakan kisah dongeng dan mempunyai daya tarik sendiri dihati para penggemarnya sehingga bisa lestari sampai sekarang,” kata Basri di kediamannya Pulau Panjang, Bulang.

Para pemeran Mak Yong terdiri dari Pak Yong (memerankan raja), Pak Yong Muda (memerankan pangeran), Putri Mak Yong (memerankan putri raja). Selain itu, ada beberapa tokoh lain dalam ceritanya, seperti munculnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang, dengan ciri khasnya memakai topeng.

Lalu, ada juga Pengasuh, yang merupakan orang kepercayaan raja, Wak Perangbon sebagai pengawal. Kemudian, ada Wak Perang Agun, Wak Perang Utan, Wak Perang Paya, Tok Mersi Mata Api, Tok Nojong, Kuda Hijau Pelana Kuning sebagai kuda jelmaan, Kijang Beremas Tunduk Rencana, Harimau Besar Sirejang, Kilat Sijanda Wangi Beranak Mude dan Sarung Batak Sakti.

Tak hanya di Batam dan Bintan, seni Mak Yong ternyata juga ada di Malaysia, tepatnya di Kelantan. Selain itu, seni ini juga pernah dimainkan di Thailand, tepatnya di Kota Pattani, yang merupakan kota paling selatan di Thailand dan berbatasan dengan Malaysia. Bedanya, Mak Yong di dua negara tersebut penarinya tanpa mengenakan topeng.

Dalam pementasannya, Mak Yong menyesuaikan dengan daerah masing-masing.

Dalam pertunjukkannya, biasa mengandung cerita hiburan, memberi pesan dan sebagainya.

“Khusus Mak Yong di Batam, penampilan mereka mengusung konsep hiburan, lebih kocak sehingga membuat penonton senang dan tertawa,” ujar penerus dari Sanggar Seni Pantai Basri.

Cerita Mak Yong selalu berkisah tentang kehidupan istana dan kerajaan. Seperti, cerita raja-raja, permaisuri, tuan putri, putri mahkota yang ditimpa musibah dan biasanya berakhir dengan kemenangan melalui perjuangan.

Basri menyebutkan, cerita berjudul; Putri Siput Gondang, jadi salah satu lakon yang sudah tak asing lagi di Batam. Ceritanya mengisahkan salah satu negeri yang bagus dan megah. Istri raja melahirkan siput, raja merasa keberatan dan akhirnya siput itu dibuang ke Teluk Tujuh Pantai Sembilan.

Kemudian, ketika hari dimana istri raja ingin makan siput, lalu raja mempersilakan para wak-wak untuk mencarikannya ke teluk tersebut. Ketika asyik mencari, terdengarlah suara dari tumpukan batu sehingga mereka penasaran. Wak-wak tersebut mendekati batu tersebut, dan menemukan ada siput besar. Mereka langsung bergegas melaporkan kejadian tersebut kepada raja dan membawanya ke istana.

Setelah sampai di istana, terdengarlah suara minta tolong dari dalam siput tersebut. Raja lalu memerintahkan untuk membelah siput tersebut. Setelah siput terbelah maka keluarlah putri yang cantik, kemudian putri tersebut bercerita bahwa ia adalah siput yang dulu dibuang belasan tahun yang lalu.

“Cerita ini memberikan pesan, dimana kita tidak boleh menghina hewan,” tuturnya.

Pertunjukan Mak Yong biasanya tidak selesai dalam satu malam. Sebuah cerita dapat berlanjut berhari-hari, bahkan sampai 15 hingga 44 malam. Namun, pada masa sekarang, tak mungkin cerita dibuat sebegitu panjangnya. Sekarang, rata-rata sebuah cerita dalam pementasan Mak Yong hanya berlangsung 1-3 jam.

Pertunjukan biasanya diadakan di lapangan terbuka, diberi atap plastik, tiang dihiasi dedaunan seperti daun kelapa. Dalam setiap pementasannya, jumlah pemain berkisar tiga puluh orang. Dalam pertunjukan Mak Yong, cerita biasanya diambil dari cerita rakyat.

“Sebelum tampil, kami mencari, menggali sejarah, untuk dibuat cerita dalam pertunjukan Mak Yong,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam, Muhammad Zen di laman yang sama mengajak untuk merevitalisasi teater Mak Yong agar menjadi menjadi lebih menarik penampilannya tanpa meninggalkan tradisi yang asli.

Gunanya agar generasi muda bisa menyukai seni ini bahkan mempelajari tradisi ini.

“Dalam penampilannya dibawakan dengan semenarik mungkin, seperti diindahkan tariannya, diberi lighting atau pencahayaan. Ceritanya boleh kekinian namun tak meninggalkan tradisi asli, sehingga generasi millenial banyak mengetahui Teater Mak Yong,” sebutnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Ardiwinata mengatakan, Kota Batam memiliki banyak tradisi budaya yang menarik untuk diketahui. Salah satunya, teater tradisional Mak Yong tersebut.

“Teater ini hadir di setiap gelaran acara tahunan kebudayaan di Kota Batam, serta diikuti tarian dan musik Melayu lainnya yang artistik dan menghibur,” ujarnya.

Ardi juga mengajak masyarakat Kota Batam ikut melestarikan budaya Melayu yang ada di Kota Batam. Salah satunya, menjaga agar teater Mak Yong serta tradisi lainnya, tetap lestari hingga anak cucu nanti.
“Ayo kita cintai budaya kita, sehingga budaya kita tetap lestari,” pintanya.

(*)

Bintoro Suryo

About Author /

Admin

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search