โSepi, bang? begini ya biasanya?โ Tanya saya ke Tekong pembawa rombongan kami.
โYa begini, dulu sempat ramai untuk wisata, makanya dibuat pelantar beton. Tapi sekarang ya beginiโ, jawabnya.
PULAU Tunjuk, secara tata pemerintahan masuk wilayah Kelurahan Subang Mas Kecamatan Galang, Batam. Ada beberapa akses ke pulau ini.ย Letaknya berseberangan dengan Pulau Subang Mas. Pulau ini sempat ramai dikunjungi orang dan menjadi salah satu destinasi wisata di Kepulauan Riau.
Untuk bisa sampai ke pulau ini, ada beberapa rute yang bisa ditempuh. Melalui pelabuhan rakyat Punggur, misalnya. Perjalanan laut bisa memakan waktu sekitar 40 menit. Jika ingin perjalanan laut yang lebih dekat, bisa melalui Kampung Cate di Jembatan 4 Barelang. Kita bisa menyewa boat pancung milik nelayan. Tapi, butuh perjalanan darat lumayan lama dari Batam.
Pulau Tunjuk bukanlah pulau tak berpenghuni, di sisi timur terdapat perkampungan dengan fasilitas yang cukup memadai seperti jetti beton dan balai adat. Untuk penerangan warga di sini mengandalkan panel sel surya.
Pulau kecil ini punya luas sekitar 15 hektar. Bentuknya memanjang, seperti jari telunjuk manusia. Sejak beberapa tahun lalu, pulau kecil dengan penduduk sekitar 18 Kepala Keluarga (KK) itu, sempat ramai dikunjungi orang. Pulau Tunjuk viral di linimasa digital warganet.
โTak banyak lagi lah yang datang ke sini. Warga asli yang punya rumah di sini sebenarnya ada beberapa puluh KK, tapi yang mendiami, tak lebih belasan sajaโ, terang bang Badol lagi.
Pria asal Pulau Kubung itu, dulu kerap mengantar pengunjung ke pulau ini melalui rute Punggur Dalam di Batam. Tapi sejak wabah Covid-19 melanda, semua berubah. Bukan hanya pengunjung, tapi penduduk juga perlahan berkurang.
โYang ada sekarang tu, rata-rata masih berkeluarga besar. Dari keturunan yang samaโ, lanjutnya.
โAda satu RT di sini, nanti kita lewat depan rumahnyaโ, kata bang Badol.
Kami terus menyusuri pelantar beton yang kokoh sebagai akses menuju pulau kecil ini. Menjelang sampai di bagian darat, ada satu rumah menjorok ke laut.
โItu rumah orang kita Cine. Cuma dia satu-satunya warga sini yang tak terkait hubungan saudara. Dah lama juga mereka tinggalโ.
Misterius yang mencurigai Orang Luar
DOMU, Sania dan Yodha terlihat masih asyik memperhatikan tumpukan rengkam yang dijemur di sisi pelantar. Ada juga yang disebar begitu saja di jalur pelantar menuju pulau kecil ini, seperti menghalangi jalan.

โLewat pinggir-pinggirnya, jangan diinjakโ, kata Domu memberi tahu ke Sania dan Yodha agar tidak menginjak rengkam-rengkam milik warga yang sedang dijemur di tengah pelantar.
โIni untuk apa, bang?โ tanya Sania heran.
Ia penasaran dengan tumpukan rengkam yang sedang dijemur di beberapa bagian pelantar beton itu.
โItu nanti dijual, ada yang menampungnyaโ, kata Domu.
Rengkam adalah jenis rumput laut dari keluarga Sargassum. Sejak hampir dua dekade terakhir, telah menjadi sumber penghasilan baru bagi penduduk pesisir di Kepulauan Riau. Warga biasanya mengumpulkannya dari laut, menjemurnya hingga kering dan kemudian menjualnya ke penampung.
Selain digunakan dalam industri pangan, rengkam memiliki banyak kegunaan lain. Bahan ini dapat dijadikan pupuk organik yang ramah lingkungan, bahkan untuk dijadikan bahan dasar produk kosmetik.ย Tumbuhan laut yang dulu dianggap sampah tidak berguna saat terbawa ombak hingga ke pinggir pantai dan sering menyulitkan para nelayan jika terbelit mesin motor perahu, sekarang jadi jadi sesuatu yang diburu.
Termasuk di pulau Tunjuk ini. Selain bermata pencaharian sebagai nelayan, beberapa warga di sini sepertinya juga mengupayakan pemanfaatan rengkam sebagai sumber ekonomi keluarga.
โBang, sini!โ teriak bang Badol dari kejauhan.
Ia sudah bersama seorang pria, sepertinya warga yang mendiami pulau ini. Usianya sekitar 40 menjelang 50-an tahun. Pria itu seperti sedang membenahi alat tangkap ikannya. Ada jaring ikan besar yang sedang dibentang.
โAbang ini orang asli sini, lahir di siniโ, terang bang Badol begitu saya mendekat.
โIni lagi apa di sini, sedang ukur-ukur buat apa?โ tanyanya kaku.
Saya bingung dengan arah pertanyaannya. Tapi, kemudian bisa menduga saat melihat Domu, Yodha dan Sania di kejauhan dengan perangkat kamera mereka.
โOh, kami bukan sedang ukur-ukur lahan, bang. Kami kebetulan mampir kemari dari Subang Mas, tadiโ, kata saya sambil menunjuk pulau lain di hadapan pulau ini.
โKami sedang membuat dokumentasi cerita tentang kehidupan warga di pulau-pulau kecil di pesisir Kepri. Kami ingin bersilaturahmi dengan warga seperti abangโ, lanjut saya.
Bang Badol terlihat bingung. Ia tidak menyangka sikap kaku yang tiba-tiba ditunjukkan pria di sampingnya, begitu saya mendekat.
โAbang ni nak bikin video lah, bukan ukur-ukurโ, bang Badol berusaha ikut menjelaskan.
โNak bikin video buat ape? Pemerintah saje tak peduli, yang ade, orang datang sini ukur-ukur pulau kami. Ini tanah leluhur kami, tak nak kami lepasโ, kata pria itu gusar.
Saya perlu menjelaskan dengan baik maksud kedatangan kami ke pulau kecil ini padanya, agar tidak salah paham. Konflik lahan di wilayah Batam belakangan, menjadi isu yang sensitif. Nun di seberang pulau kecil ini, pulau Rempang, warganya sedang berseteru hebat mempertahankan tanah kelahiran mereka yang akan dikembangkan dalam program Ecocity. Mereka harus mau direlokasi demi pembangunan.
Pria itu sepertinya agak lebih mengerti setelah penjelasan saya, walau masih agak curiga. Bang Badol ikut menjelaskan tujuan kami.
โKalau sekedar nak ke pantai yang bisa berubah-ubah arah pasirnya, datang saje ke ujung pulau ni. Itu masih tanah Datuk moyang kami. Cuma perlu berhati-hati, palungnya dalamโ, katanya mengingatkan.
โKalau nak berbincang, saya pakai baju dululah. Tunggu sekejapโ, lanjutnya sambil kemudian menunjuk sebuah rumah yang persis berada di hadapan kami, sekitar 10 meter.
Ia kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, pintu depannya dibiarkan terbuka. Rombongan kecil; Domu, Sania dan Yodha juga sudah tiba.
Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu. Tidak ada tanda-tanda tuan rumah akan keluar.
โTadi bapak itu bilangnya gimana, pak?โ tanya Domu ke saya. Ia sedikit cemas karena cuaca berubah cepat. Mendung sore itu begitu bergayut. Langit yang awalnya cerah, berubah jadi lebih gelap. Awan-awan tebal juga berarak persis di atas pulau ini.
โAssalamualaikum, Assalamualaikumโ, sapa saya ke penghuni rumah. Setelah berkali-kali mengucapkan salam yang sama, seorang perempuan paruh baya akhirnya keluar dari dalam rumah.
โWalaikumsalam, cari siape yeโ, tanyanya.
Saya kembali mengulang maksud kedatangan kami padanya, termasuk menjelaskan bahwa kami sedang menunggu pria yang tadi masuk ke rumah ini. Saya menebak wanita itu adalah isterinya.
โSuami saya sedang ke laut dari tadi pagi, belum pulang. Abang-abang ini bertemu suami saya dimane?โ tanyanya yang membuat kami keheranan.
Lha, macam mane ni. Kite coba cari rumah pak RT saje kalau begitu, bangโ, ajak bang Badol, bingung bercampur kesal.
Kami perlu bergerak cepat. Mendung semakin tebal. Rumah berikut yang ingin kami tuju, hanya berjarak tiga rumah dari yang sebelumnya. Tapi karena penduduk di sini jarang, jarak antara rumah bisa mencapai 10 hingga 20 meteran satu dengan lainnya.
Kami berhasil menemui seorang pria yang lebih muda. Bang Badol menyebutnya sebagai pak RT di pulau ini, dialah pemimpin dari beberapa belas warga yang mendiami pulau Tunjuk. Orangnya lebih ramah dibanding yang pertama. Pria itu sepertinya baru kembali dari laut.
โKalau nak bincang-bincang tentang pulau ni, saya takut salah bicara, bang. Maklum umur juga masih sedikitโ, katanya.
Saya kemudian menjelaskan tentang seorang pria yang lebih tua darinya, yang kami temui sebelumnya.
โOh, itu sepupu saye. Kami yang tinggal di sini, masih bersaudara semua. Kecuali orang Cine yang di ujung sana tu dan penjaga mercusuarโ, jelasnya.
Pria itu kemudian menyarankan rombongan kami untuk menemui pria penjaga mercusuar untuk mengetahui aktifitas dan keseharian warga di sini.
โNamanya pak Ikhlas. Beliau dah tinggal lame kat sini, Abang mungkin bisa tanya lebih banyak ke beliauโ, kata sang ketua RT.
Kami kembali mempercepat langkah. Hujan gerimis sudah mulai turun di pulau ini. Komplek mercusuar yang disebutkan oleh sang ketua RT, tinggal mengikuti jalan semen satu-satunya di sini, mengarah ke bagian ujung pulau.
Tidak sulit menuju lokasinya karena bangunan itu begitu dominan terlihat di hampir seluruh sisi bagian pulau kecil ini.
Hujan kemudian turun lebih deras begitu kami tiba di komplek menara suar itu. Kami terpaksa berteduh di salah satu teras bangunan seperti mess pegawai. Ada beberapa rumah serupa lainnya. Tapi hampir seluruhnya kosong.
โPak, ada yang datang ke siniโ, kata Domu seperti berbisik. Suaranya nyaris kalah oleh suara air hujan yang deras.
Di kejauhan dan makin mendekat, seorang pria berjalan menerobos hujan, mengarah ke lokasi kami berteduh. Saat makin dekat, saya tebak usianya sudah lebih dari 70 tahun. Rambut, kumis dan jenggot, hampir semua memutih. Badannya kuyup tersiram hujan, tapi ia seperti tidak begitu peduli.
Pak Atan yang Ramah
โNak buat ape kat sini?โ sergahnya begitu tiba di tempat kami berteduh.
Pria tua itu memandangi kami satu per satu, tatapannya berhenti di Sania. Satu-satunya anggota rombongan kami yang perempuan.
โBapakโ, kata Sania berusaha menyapa. Ia risih ditatap begitu rupa.
โKalau nak tengok pasir yang berubah-ubah tu, Ade kat sebelah sane. Tapi kalau tak bisa berenang, jangan turun, tenggelam nantiโ, pandangannya tetap ke Sania, tapi kemudian ia tersenyum.
Namanya pak Atan. Pria tua ini ternyata ramah. Sesekali ia menghisap rokok kretek di tangannya.
โSaya dikabari, Ade orang nak tanye-tanye soal pulau Tunjuk ni, mereka semua tak berani bicara, takut salah, katanyeโ, kata pak Atan terkekeh.
Oh, bapak dikabari pak RT tadi ya?โ tanya saya. Pria tua itu mengangguk.
Pak Atan yang sejak lahir tinggal di pulau kecil ini, kemudian menyebut usianya, 73 tahun. Hampir sama dengan tebakan saya sebelumnya.

โHampir sepanjang hidup tak pernah meninggalkan pulau ni. Nak tanye ape?โ tanyanya.
Hanya dalam hitungan menit, kami sudah terlibat dalam perbincangan yang akrab. Suara hujan yang deras, hanya membuat kami sedikit mengeraskan suara satu sama lainnya.
Pak Atan ternyata orang yang menyenangkan, ia suka bercanda walau dengan wajah yang terlihat serius.
โPak, pulau ini, namanya pulau Tunjuk atau pulau Telunjuk?โ tanya Sania.
โPulau Telunjukโ, kata pak Atan.
Disebut begitu menurut pak Atan karena di ujung pulau ini, ada sebuah busung yang bisa berpindah-pindah pasirnya, seakan menunjuk arah mata angin Utara dan Selatan.
โPanjang dia, mungkin sampai 25 meter, kalau kita dari sini terus ke ujung satunya, penatโ, lanjutnya sambil tergelak.
Perihal berpindah-pindahnya busung di ujung pulau ini, disebabkan hempasan gelombang akibat angin yang bertiup.
โKalau sedang angin Utara, busung itu bergerak hingga menunjuk arah selatan. Begitu juga sebaliknyaโ, jelas pak Atan bersemangat.
โBapak sendiri di sini sejak lahir ya, pak? Tahun berapa lahirnya?โ, tanya Sania.
โSaya lahir di Air Raja sana, bapak saya orang asli sini, mamak orang Air Raja. Tapi saya sendiri pun tak tahu, tahun berapa lahirnya. Bapak saya bilang saya lahir tahun 50-anโ, ungkapnya.
Menurut pak Atan, orangtuanya merupakan penduduk asli pulau Telunjuk. Ia diboyong orangtuanya untuk menetap di pulau kelahiran sang ayah sejak masih bayi.
โPindah sini tahun 50-an itu lahโ, katanya.
Ia mengenang masa kecilnya di pulau ini. Menurut pak Atan, jumlah warga yang mendiami pulau Telunjuk saat ia kecil, jauh lebih ramai dari sekarang. Warganya juga lebih bervariasi karena juga dihuni kaum pendatang seperti warga dari etnis Tionghoa.
โDulu yang Cina di ujung situ (sambil menunjuk sebuah rumah di ujung pelataran masuk pulau Telunjuk, pen) ramai tinggal di sini, turun temurun. Sekarang banyak saudara mereka dah pindah ke tempat lain. Mereka usaha buat kelong-kelong juga di tempat lainโ, katanya.
Menurut pria itu, banyak juga saudara dari garis keturunannya yang memilih pindah untuk menetap di lokasi lain seperti pulau Batam dan Tanjungpinang. Minimnya fasilitas dan tuntutan ekonomi, membuat tidak banyak lagi yang tinggal di pulau ini.
Dua Menara Suar Tinggalan Belanda
MENARA suar itu terlihat sangat dominan dari kejauhan. Pun saat rombongan kami sudah persis berada di dekatnya.
Awalnya dibangun menggunakan rangka besi sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20 atau sekitar awal 1900-an silam. Merupakan prasarana navigasi tertua yang sampai hari ini masih digunakan. Fungsinya untukย memandu kapal dalam menentukan lokasi dan arah. Perairan sekitar pulau Tunjuk ini, sudah sejak lama menjadi perlintasan pelayaran yang terhubung ke selat terpadat di dunia, selat Philip hingga perairan selat Malaka.

โAda dua menara sebenarnya, yang masih asli buatan Belanda yang sebelah sana tu. Namanya menara merah. Kalau yang dah dipugar tu, namanya menara putih, begitu orang sini nyebutnyaโ, kata Bang Badol.
Menara putih yang disebut pria itu adalah sebuah bangunan tinggi menjulang dengan ketinggian 20 meter, terbuat dari beton.
Keberadaan menara suar sangat membantu kapal-kapal yang berlayar, terutama di malam hari. Cahaya terang menara suar menjadi panduan sekaligus peringatan bagi kapal jika ada kondisi yang berbahaya. Misalnya, lokasi yang berkarang, ombak kuat, perairan dangkal, dan lalu lintas kapal yang padat sehingga rawan kecelakaan.
Selain fungsi keselamatan, menara suar juga berfungsi sebagai perlindungan lingkungan maritim. Dalam hal ini, menara suar menjadi penanda batas kedaulatan NKRI, terutama menara suar yang berada di wilayah terluar dan terdepan.
Di seluruh wilayah Indonesia saat ini, masih terdapat 285 menara suar yang dikelola oleh 25 Distrik Navigasi (Disnav). Dua menara yang berada di pulau Tunjuk ini, masuk dalam pengelolaan Distrik Navigasi Tanjungpinang.
(*)
Bersambung
Selanjutnya: โPak Ikhlas yang Terasingโ โ Cerita Subang Mas dan Pulau Tunjuk (Bagian 5 โ Selesai)


Pulau telunjuk itu datuk nenek punya masih ada tanah disitu.
Pulau itu diberikan kepada bapa saya dan sekarang kepada saya ,
Sayangnya saya bukan warga Indonesia yg mana saya tiada haq untuk mengambilnya.
Soalan saya boleh tak nama dalam surat tanah tu tukar dan letak nama saya.
Sudah cukup lama saya mencoba mencari tahu sejarahnya pulau tunjuk. Saya menemukan artikel Anda dan menurut saya sangat menarik. Dulu Saya diberitahu bahwa hampir setengah dari pulau itu milik kakek buyut saya yang dibagikannya kepada 5 anaknya dan nenek saya adalah salah satunya. Saya adalah salah satu cicit perempuan & mereka yang ada di pulau yang Anda temui adalah sepupu saya. Saya tidak tahu banyak tentang sejarah kami karena saya tidak tinggal di pulau dan ramai orang tua2 sudah tiada. Yang saya hanya ingin tahu siapa kakek buyut saya dan bagaimana dia bisa memiliki setengah dari pulau itu untuk anak-anaknya? Apakah dia keturunan bangsawan atau orang kaya saat itu? Itu masih menjadi misteri tetapi membaca artikel Anda memberi saya beberapa info baru yg menarik. Terima kasih & saya akan terus mencari…
P.s. Saya sangat hargai usaha anda untuk kenali sejarah serta mencatat keunikkan tempat2 diBatam yg kalau tidak akan hilang bila Batam membangun di masa depan